Nita Irawati Murjani, Regional Communications for Asia – CIFOR
Setelah Bali Action Plan yang dirumuskan dalam UNFCCC COP 13 di Bali tahun 2007, pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, yang sekarang lebih dikenal dengan REDD+ karena mencakup juga peningkatan cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan, mulai masuk dalam skema internasional untuk mitigasi perubahan Iklim. Profil emisi karbon Indonesia adalah 70-80% berasal dari hutan dan lahan gambut. Target penurunan emisi Indonesia sendiri 50% nya diharapkan berasal dari sektor kehutanan. Hal ini membuat implementasi REDD+ menjadi sangat penting. Skema implementasi REDD+ saat ini sedang dipersiapkan oleh berbagai pihak terkait seperti REDD+ Agency, Kementerian Kehutanan dan UN-REDD.
Diperlukan banyak informasi untuk dapat menunjang pembuatan skema implementasi REDD+ yang tepat untuk Indonesia dan kerangka kebijakan yang cukup luas dan spesifik untuk Indonesia, skema dan kerangka ini selain sebagai panduan umum, tetapi juga dapat memberikan kerangka yang cukup detil untuk selanjutnya dapat diterjemahkan untuk implementasinya di tingkat lokal.
Telah banyak penelitian tentang emisi karbon, seperti yang diungkapkan oleh FORDA pada Seminar “Komunikasi Publik hasil Riset Perubahan Iklim: Riset Menjawab Tantangan Perubahan Iklim untuk Implementasi REDD+ di Indonesia”. Seminar tersebut diselenggarakan oleh FORDA dan UN-REDD di Ruang Sonokeling, Gedung manggala Wanabakti pada tanggal 1 Februari 2011. “Persoalannya adalah bagaimana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian tersebut kepada publik dan pihak-pihak terkait dan menjadikan hasil penelitian dapat dimanfaatkan pembuatan kebijakan dan dalam pembuatan skema implementasi yang tepat untuk dapat mengurangi tekanan terhadap hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, demikian penjelasan Dr. Tachrir Fathoni, Direktur Jenderal FORDA dalam kata sambutannya.
Hasil penelitian yang disajikan pada seminar tersebut memberikan pelajaran berharga tentang kesempatan dan tantangan implementasi REDD+ di tingkat lokal. Salah satu studi kasus yang diangkat adalah implementasi REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Konservasi hutan di daerah ini bertujuan untuk melestarikan ekosistemnya yang bervariasi pada satu wilayah yang berupa hutan, rawa, laut dan sungai, yang tentunya kaya mineral dan keanekaragaman hayati. Penurunan cadangan karbon di daerah ini banyak disebabkan oleh kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan oleh masyarakat. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memberikan pemahaman pada masyarakat tentang arti penting hutan bagi kelangsungan hidup mereka, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi menjaga kelestarian hutan dan ekosistem lainnya di Taman Nasional, yang juga berarti menjaga kelangsungan mata pencarian mereka.
Yang tidak kalah menarik adalah hasil penelitian yang menghasilkan pedoman pengukuran karbon untuk mendukung penerapan REDD+ di Indonesia. Pedoman ini bertujuan untuk membantu pelaksanaan penerapan REDD+ yang MRV (dapat diukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi) sesuai standar internasional tetapi tetap cost-effective. Panduan ini tetap menggunakan IPCC (Inter-governmental Panel on Climate Change) Guideline terbaru (2006) dengan menggunakan perhitungan 5 carbon pools (biomas di atas tanah, biomas di bawah tanah, pohon yang mati, seresah, tanah) dan ditambah pool keenam yaitu kayu yang dipanen, selain itu juga menggunakan kombinasi remote-sensing (penginderaan jarak jauh) dan ground-based inventory.
Hasil-hasil penelitian tersebut merupakan materi dasar untuk membuat kebijakan dan sistem yang tepat dan dapat membantu meminimalisir leakage (berpindahnya deforestasi atau perusakan hutan ke daerah di sekitar area pelaksanaan REDD+) atau bahkan konflik dengan masyarakat lokal.
Selain kepada para pembuat kebijakan dan perancang mekanisme REDD+, hasil-hasil penelitian ini juga harus dikomunikasikan kepada para pelaksana REDD+ dan pihak-pihak terkait di lapangan. Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan keprihatinannya karena dalam berbagai kesempatan kunjungannya ke daerah, dia mendapati bahwa masih banyak Bupati yang tidak paham apa arti perubahan Iklim. Bila untuk definisi yang mendasar tentang sebuah fenomena yang sedang terjadi dan berdampak bagi daerahnya saja mereka tidak paham lalu bagaimana mereka dapat memahami dan melaksanakan REDD+ yang terminologi-nya saja masih belum dipahami dengan sepenuhnya oleh semua pihak. Untuk itulah dia berpesan “mengkomunikasikan tentang hasil-hasil penelitian terkait REDD+ ini harus dilakukan sampai ke tingkat lokal dan harus dapat membantu memberi keyakinan pada masyarakat bahwa REDD+ bermanfaat bagi semua”.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana agar dapat menyampaikan hasil penelitian tersebut dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kelompok sasaran dan menggunakan media yang tepat yang dapat diakses dengan mudah oleh kelompok sasaran.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org