
Bogor, Indonesia (22 April 2013)_Pemerintah Indonesia akan melakukan kegiatan demonstrasi REDD+ model taman nasional dengan menggunakan metode pengelolaan lahan tradisional Jepang “Satoyama”, demikian menurut sumber tertulis Kementerian Kehutanan di Jakarta, Februari 2013.
“Pengelolaan holistik kawasan konservasi adalah misi utama dari model ini,“ kata Shigeru Takahara, misi JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk persiapan Indonesia-Japan Project for Development of REDD+ Implementation Mechanism atau IJ-REDD+, salah satu proyek kerjasama yang baru antara Indonesia dan Jepang.
Model Satoyama ini akan dipraktekkan di kawasan konservasi taman nasional Gunung Palung dan kawasan konsesi Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya dan Pontianak di provinsi Kalimantan Barat selama 3 tahun, sampai tahun 2016.
“Kami akan memberikan contoh bagaimana memberi kepercayaan dan ruang bagi masyarakat untuk merawat, memperbaiki lahan rusak dan mengelolanya sesuai kearifan lokal masing-masing komunitas,” lanjut Shigeru.
Pelibatan masyarakat dilakukan antara lain dengan mengatur sendiri penggunaan sawah, ladang, aliran sungai, tampungan air di wilayah masing-masing komunitas agar kawasan mereka tetap lestari dan mampu meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi adalah salah satu kunci keberhasilan program pelestarian kawasan hutan. Penelitian dari Center for International Forestry Research (CIFOR) tentang pengelolaan hutan oleh komunitas menunjukkan bahwa hutan yang dikelola bersama masyarakat kondisinya lebih baik dibandingkan hutan lindung yang sepenuhnya dikelola pemerintah.
Ari Wibowo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) Kementerian Kehutanan yang juga kordinator kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri mengatakan, pengelolaan lahan turun temurun sudah lama dipraktekkan di Indonesia, seperti sistem pertanian Subak di Bali atau Suku Badui di Banten.
Kemitraan dengan masyarakat sebagai pelaku potensial dalam mekanisme REDD+ dalam mengelola zona khusus dan pengamanan kawasan konservasi harus diakomodasi. Hal ini untuk mendukung keberhasilan mekanisme REDD+, sebagai sebuah skema global Negara maju memberikan kompensasi finansial kepada negara berkembang yang melindungi hutannya dari deforestasi dan degradasi hutan.
“Artinya, kegiatan demonstrasi REDD+ di kawasan konservasi merupakan upaya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam kerangka pengelolaan hutan lestari guna kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya, dan kelestarian hutan,“ katanya.
Ari memberi contoh nyata yaitu pemberian ijin pelibatan komunitas setempat dalam mengelola lahan di zona rehabilitasi, kawasan konservasi di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perambahan kawasan taman nasional guna memenuhi kebutuhan ekonomi.
“Sehingga perlu diperhitungkan, bagaimana kerangka implementasi REDD+ di kawasan konservasi taman nasional dibangun dan memberikan kepastian jaminan akan keberlanjutan penghidupan komunitas sekitar taman nasional,” imbau Ari.
“Peran taman nasional dalam konsep REDD+ bukan sekedar mengurangi emisi karbon,” ujar Ari lagi seraya mengingatkan tanggungjawab besar taman nasional menghindari konflik dengan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Sementara itu, Edy Sutrisno, staff Persiapan Kantor IJ-REDD+ mengatakan, “Capaian utama projek ini yaitu pengembangan metode pembagian manfaat kegiatan guna meningkatkan mata pencaharian masyarakat di kawasan konservasi.”
Tugas lain dari projek ini termasuk memfasilitasi kepentingan semua pihak untuk sepakat tentang aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian akan dilakukan salah satunya melalui survey baseline mata pencaharian masyarakat, penyediaan jasa lingkungan dan indikator kerja.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cgiar.org
My six years of studies in Natural Resource management and case studies in Developing countries reveals unsustainable Man-Nature relationship binging about its deterioration and depletion due to lack of management/monitoring at grass-root levels and lack of awareness.
Since the inception of Kyoto-protocol there has been a growing interest in carbon trading and Climate change mitigation but due to its high implementation costs and issues related to national communication, REDD+ has always been winning the carbon market Vs. Kyoto based market.
As the key objective of REDD+ has been to address poverty alleviation and bringing about socio-ecological harmony, like any other intervention, so far it also requires updated methodologies and case specific studies. To achieve the goal of REDD+ it is indispensable to have cradle to grave analysis for long term implementation i.e. a complete picture of socioeconomic conditions.
The challenging target in carbon marketing is the exact accountability and validity in global context since it’s the only commodity we deal in and this is the most debatable issue among environmental scientist/economists and research groups working in different parts of the world. So far no rule of thumb exist regarding the methodology of carbon verification and monitoring however the already proposed tool/software/models can be used with greater accuracy and with little but appropriate amendments.
Out of so many issues in developing countries one is lack of data i.e. for county like Indonesia which is one of the biggest archipelago in the world it is hard to generate data specially very difficult to update it. Secondly the social institutions and drivers that bring about resource depletion is complex and require ample time to go through.
Wahid Ullah
MS Scholar, Department of Natural Resource and Environmental Management, Bogor Agriculture University, Indonesia.