BOGOR, Indonesia (13 Desember, 2012)_Para peneliti yang bekerja dengan masyarakat di bagian utara Provinsi Papua telah mengembangkan serangkaian peta yang menunjukkan dengan tepat lokasi sumber daya alam, yang sedang digunakan untuk menjembatani kesenjangan informasi antara kebutuhan masyarakat setempat dengan kebutuhan sumber daya pemerintah.
“Peta merupakan alat yang ampuh – daripada harus menggali berbagai laporan, orang dapat dengan cepat memahami apa yang merupakan sumber daya, di mana lokasinya, dan bagaimana masyarakat memanfaatkan wilayah-wilayah tertentu–dimana mereka menanam sagu, berburu, menangkap ikan dan keberadaan tempat-tempat sakral,” ujar Michael Padmanaba, peneliti di Center for International Forestry Research(CIFOR) dan salah seorang penulis pendamping penelitian tersebut.
Peta-peta tersebut, yang dikembangkan pada skala 1:50.000 (serupa dengan skala yang diperlukan untuk perencanaan tata ruang resmi), akan digunakan guna membantu perencanaan tata guna lahan oleh pemerintah kabupaten Mamberamo Raya dengan memasukkan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat setempat, kata Padmanaba.
Dengan luas wilayah 7,8 juta hektar (90% berhutan), hutan-hutan di Mamberamo dianggap penting bagi penghidupan masyarakat-masyarakat lokal yang tinggal di wilayah tersebut. Setiap kabupaten terikat pada tekadnya untuk mematuhi Kebijakan Hijau Papua (70% dari keseluruhan wilayah dipertahankan sebagai hutan), dengan masih memberi ruang untuk kegiatan desa.
Semua orang senang berbicara tentang pendekatan bersama, kenyataan di lapangan, hal itu sulit diterapkan.
Namun rencana pemanfaatan lahan di masa mendatang, misalnya untuk pembangunan infrastruktur, ekstraksi pertambangan, pembangunan modal baru, atau urbanisasi, selama ini jarang mendapat informasi mengenai pengetahuan lokal tentang kepemilikan lahan dan kebutuhan sumber daya hutan.
“Penduduk desa mengetahui wilayah tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat, wilayah mana yang baik untuk bercocok tanam. Informasi ini akan berguna bagi pemerintah sebagai pertimbangan ketika memutuskan wilayah mana yang akan dilindungi dan wilayah mana yang digunakan untuk pembangunan,” terang Padmanaba.
Namun, pemerintah setempat jarang memiliki dana atau sumber daya manusia untuk mengumpulkan informasi, terutama karena biaya yang tinggi yang diperlukan untuk mengutus petugas pemetaan ke desa-desa terpencil. Sebagai akibatnya, persepsi lokal sering kali diabaikan oleh pemerintah.
“Semua orang senang berbicara mengenai pendekatan bersama, tetapi di lapangan hal tersebut sulit untuk diterapkan,” katanya lagi.
Padmanaba, rekan kerja dari Manuel Boissière di CIFOR-CIRAD, dan Ermayanti, seorang peneliti pada Conservation Internasional (CI) Indonesia telah bekerja di enam desa di kabupaten tersebut selama dua tahun terakhir: satu di hutan produksi kayu (Burmeso), dan yang lainnya di kawasan lindung.
Mereka telah membuat seperangkat panduan yang memaparkan kebutuhan minimum guna pelibatan masyarakat lokal di dalam perencanaan tata guna lahan di wilayah tersebut.
“Panduan tersebut memberikan metode langkah-demi-langkah seperti wawancara, kelompok diskusi terarah, pemetaan bersama untuk pejabat pemerintah untuk juga mengumpulkan data yang diperlukan dalam perencanaan tata guna lahan,” jelas Padmanaba.
Para peneliti tersebut juga mendokumentasikan bagaimana pemanfaatan lahan oleh penduduk setempat mungkin berubah dalam proyek-proyek pembangunan di masa depan. Mereka menemukan di Burmeso, kebun-kebun dan sebagian lahan perburuan penduduk desa akan digunakan untuk pembangunan ibu kota kabupaten yang baru. Sebagai konsekuensinya, kebun-kebun akan dipindahkan ke beberapa tempat di wilayah suku, dan sebagian dari penduduk tersebut harus mengubah mata pencaharian mereka untuk menjadi pegawai kabupaten atau pekerja perusahaan.
Namun, di banyak desa yang terletak di wilayah konservasi, penduduknya tidak menginginkan perubahan ekstrem dalam tata guna lahan, tetapi dengan kuat menyatakan harapan mereka untuk mempertahankan agar hutan dan lahan mereka dilindungi.
“Menurut penduduk di desa-desa tersebut, masih ada ruang yang tersedia di wilayah kebun-kebun mereka untuk mengakomodasi kebutuhan lokal untuk jangka sepuluh, bahkan dua puluh tahun mendatang dan juga untuk rencana pembangunan,” ujar Padmanaba.
Informasi ini telah dimasukkan ke dalam peta tata guna lahan untuk saat ini dan peta lain yang memperlihatkan harapan penduduk setempat di masa depan.
“Kami ingin mendokumentasikan semua pengetahuan lokal di wilayah ini untuk membuat peta tentang bagaimana penduduk menggunakan lahan mereka pada saat ini dan apa yang mereka rencanakan di masa depan,” ujarnya.
Setelah mempresentasikan peta ini kepada pemerintah Mamberamo pada permulaan tahun ini, Bupati, Bapak Demianus Kyew-kyew menyatakan keinginan kuatnya untuk bekerja dengan para peneliti untuk melatih staf pemerintahan dalam perencanaan bersama tata guna lahan.
“Pelatihan dimulai pada bulan Oktober dan kami akan melanjutkan dengan kerja lapangan dan pelatihan analisis data selama sisa waktu tahun ini,” ujar Padmanaba.
“Hal ini merupakan pendekatan kolaboratif yang nyata terhadap perencanaan tata guna lahan.”
Penelitian ini merupakan bagian dari program CGIAR yaitu Forest, Trees and Agroforestry dan didukung oleh l’Agence Française pour le Développement (AFD).
Bacaan lebih lanjut
//www.cifor.org/mla/download/publication/Mamberamo_en_web.pdf
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org