BOGOR, Indonesia (20 November, 2012)_Ketika orang bertanya tentang penelitian kami, kami menjawab : kami bekerja merencanakan tata guna lahan. Jarang kami jarang mendapat pertanyaan lain. Biasanya, setelah terdiam sesaat karena malu, orang beralih dengan cepat ke topik lain.
Perencanaan tata guna lahan (LUP) memang tampaknya merupakan topik penelitian yang paling menjemukan : kering, birokratis dan administratif, mungkin semacam penelitian di atas kertas yang mengerikan. Namun, bila Anda pergi ke Mamberamo, di Papua, segala sesuatunya berbeda. LUP sama sekali bukan “konsep yang menjemukan”, tetapi justru membantu kita memahami penghidupan penduduk, apa yang membuat mereka bereaksi dan beradaptasi, dan bagaimana mereka dapat memengaruhi masa depan mereka.
Di Mamberamo, sekalipun banyak orang tidak banyak mengerti tentang perencanaan tata guna lahan, semua orang – penduduk desa, pendatang, pegawai pemerintah setempat, anggota LSM dan pegawai sektor swasta – mengetahui bagaimana memetakan wilayah, melakukan zonasi, melakukan negosiasi atas hak dan kegiatan, menetapkan limit, batas tanah dan akses. Tidak diperlukan waktu lama untuk menemukan bahwa perencanaan tata guna lahan ditemukan di mana-mana dan bahwa setiap orang sedang membicarakannya, dengan satu cara atau lainnya.
Mamberamo merupakan sebuah daerah aliran sungai yang sangat besar, ditutupi oleh kurang lebih 8 juta hektar hutan alam berbagai tipe ekosistem: gunung, bukit, hutan bakau dan dataran rendah. Dua sungai di Mamberamo, dengan panjang kurang-lebih 800 kilometer, yaitu sungai Tariku dan Taritatu, mengalir dari Pegunungan Jayawijaya ke pantai Utara Papua dan Samudera Pasifik.
Di daerah yang sedemikian terisolasi, akses merupakan kunci untuk manajemen lahan dan LUP. Sungai Mamberamo adalah akses utama ke wilayah tersebut. Sungai juga merupakan sumber penghidupan penduduk setempat, selain juga merupakan jalan raya dan transportasi dilakukan dengan perahu motor kecil yang dibuat dari batang kayu.
Ketika Anda melakukan perjalanan dari hulu ke samudra, Anda melintasi keragaman bentang alam dan ekosistem, serta berbagai macam kelompok-kelompok etnis karena banyak desa-desa menetap di sepanjang tepian sungai. LUP perlu memasukkan kompleksitas tata guna lahan setempat dan keanekaragaman bentang alam, agar sesuai dengan keadaan setempat.
Di hulu, sungai berliku-liku dalam sebuah rawa, karena tidak ada tanah padat untuk mengarahkan alirannya: semuanya lumpur. Di sinilah terdapat hutan sagu terbesar, dan merupakan lokasi dari desa Papasena. Penduduk desa menangkap ikan untuk dikonsumsi dan dijual, dan menyadap sagu dari pohon enau yang tumbuh alamiah maupun yang sengaja ditanam. Inilah sebabnya mengapa mereka ingin mempertahankan wilayah ini sebagai area cadangan untuk penyadapan.
Dari Papasena, Sungai Mamberamo memasuki koridor yang berbukit dan bergunung yang berubah menjadi garis lurus sepanjang 130 kilometer. Anda perlu melintasi sedikitnya tiga buah jeram untuk mencapai aliran yang lebih tenang dan desa-desa yang terletak tidak jauh dari jalan air utama.
Di daerah yang lebih tinggi di pegunungan, di antara Mamberamo dan sungai yang sejajar dengan Mamberamo, Apawer, beberapa desa seperti Metaweja, berada jauh dari arus air utama. Untuk dapat mencapainya, Anda harus berjalan mengikuti badan sungai yang berbatu-batu selama berhari-hari.
Bila Anda terus berjalan ke arah hilir ke Utara, Anda akan mencapai ujung koridor berbukit tersebut dan dapat kembali mengikuti liku-liku sungai Mamberamo, melintasi danau Rombebai di dekatnya, dan melintasi hutan bakau di Yoke di pantai utara. Di hutan bakau, desa-desa dibangun di atas tiang-tiang di atas air dan penduduk desa mencari garam dan ikan air tawar, kepiting, udang dan kerang.
Permintaan utama dari semua penduduk desa di Mamberamo yaitu sarana yang lebih baik untuk keluar dari desa. Semua desa kecuali Burmeso, yang baru saja menjadi ibu kota kabupaten, berjuang menempuh perjalanan jauh dan mahal untuk mencapai ibu kota kabupaten. Penduduk desa meminta kemudahan sarana jalan raya, bandar udara dan jalur-jalur lain, untuk menciptakan jalan pintas menembus lika-liku sungai Mamberamo.
Selama bertahun-tahun, sebuah bendungan pembangkit listrik direncanakan untuk memotong garis lurus yang dibentuk oleh sungai tersebut. Bila secara resmi menjadi bagian dari LUP baru tersebut, bendungan tersebut secara langsung akan mempengaruhi Kwerba dan Burmeso di antara desa-desa lainnya. Perusahaan pertambangan juga mendesak pemerintah setempat agar diizinkan untuk membuka tambang batu bara. Salah satu dari konsesi penebangan kayu terbesar di Indonesia (660.000 hektar) sudah mulai beroperasi di Burmeso dan sekitarnya.
Sungai ini membelah daerah aliran sungai menjadi dua bagian. Bagian barat merupakan hutan produksi, di mana kegiatan pembangunan diizinkan. Tetapi semua desa yang terletak di bagian timur merupakan bagian dari wilayah luas yang dilindungi (2 juta hektar).
Suaka margasatwa Mamberamo Foja menjadi terkenal setelah penemuan sebuah “surga yang hilang”- sebuah cagar alam untuk banyak spesies hewan dan tumbuhan baru. Lembaga-lembaga konservasi, melalui LUP, berusaha menjaga agar wilayah tetap tak tersentuh. Namun, penduduk desa yang tinggal di kawasan lindung, jauh sebelum batas-batasnya ditetapkan, tidak menyetujuinya. Mereka merasa situasinya tidak adil, ketika akses ke infrastruktur dan pembangunan tergantung dengan lokasi desa di daerah aliran sungai.
LUP adalah pemahaman tentang masalah-masalah akses, tentang zonasi, tentang pengelolaan sumber daya, dan harus memperhitungkan, salah satunya, kebutuhan dan keprihatinan penduduk setempat. Namun kami juga perlu mengembangkan perangkat-perangkat yang jelas guna memperjelas isu-isu dan bernegosiasi.
Kami telah mengembangkan peta terpadu dengan penduduk setempat untuk memvisualisasikan harapan mereka dalam segi pengelolaan dan pengembangan lahan. Peta-peta tersebut dibuat pada skala yang memungkinkan perbandingan dengan peta-peta resmi yang tersedia.
Kami terkejut dengan antusias, bukan hanya dari pejabat pemerintah, yang memang memerlukan peta-peta ini untuk pengembangan strategi pengelolaan lahan, tetapi juga dari penduduk setempat, yang melihat peta-peta tersebut sebagai sarana kuat untuk bernegoisasi.
Penduduk setempat cepat memahami potensi dari peta-peta ini sebagai pengantar pesan jelas akan kebutuhan dan harapan mereka kepada pemerintah setempat dan para pengambil keputusan. Dengan yakin dan terampil mereka menggambar batas-batas teritori mereka dan menunjukkan tempat-tempat penting pada lanskap mereka seperti tempat-tempat sakral, sumber air garam, danau yang kaya akan buaya dan tempat-tempat berburu; tempat-tempat yang semula direncanakan untuk pembangunan jalan raya dan konstruksi bandara.
Jadi, apakah LUP menjemukan? Menurut kami tidak demikian.
Penelitian ini melibatkan tiga lembaga – Center for International Forestry Research, Centre de coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement dan Conservation International Indonesia – dan mendapat dukungan dana dari Agence Française pour de Développement.
Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Conversation. Baca artikel asli di sini.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org