Berita

Meningkatkan Pengetahuan Lahan Basah: Kunci Menghadapi Perubahan Iklim

Sebagian besar lahan hutan bakau Indonesia terancam pengeringan, pembakaran dan konversi lahan berskala besar.
Bagikan
0
Hutan-hutan mangrove di Indonesia berperan penting dalam menghadapi perubahan iklim. Foto oleh Franck Vervial/flickr

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (6 Agustus, 2012) _ Pemahaman ilmiah yang lebih mendalam mengenai lahan basah Indonesia yang kaya karbon dan menyusut dengan cepat sangat diperlukan untuk membantu mengurangi sumber dan dampak perubahan iklim, menurut studi Center for International Forestry (CIFOR).

Daniel Murdiyarso, salah satu penulis “Lahan Basah untuk  Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia”, mengatakan bahwa walaupun lahan basah tropis, khususnya mangrove dan mengandung cadangan karbon tertinggi di antara semua tipe hutan, banyak negara dan pembuat kebijakan kurang atau tidak memiliki data dasar tentang ekosistem-ekosistem yang rapuh ini.

Seharusnya lebih banyak tenaga dan dana dialokasikan untuk meningkatkan penelitian ilmiah yang bersifat kolaboratif dan lintas-disiplin, kata ilmuwan CIFOR tersebut, sambil mengakui adanya tantangan-tantangan untuk mencapai hal ini, terutama di saat ada dana yang terbatas harus digunakan untuk berbagai prioritas yang bersaing.

Kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai lahan basah juga terjadi di Indonesia. Padahal cadangan karbon teresterial terbesar di sini termasuk salah satu yang terbesar di dunia, ungkap Murdiyarso.

Negara kepulauan ini memiliki setengah lahan gambut tropis, yang mengandung lebih dari 30 miliar ton karbon, dan hampir seperempat hutan bakau di dunia, ungkap Murdiyarso lagi.

“Pengelolaan cadangan karbon sebesar ini melalui pengelolaan lahan yang berkelanjutan akan berdampak pada upaya memperlambat perubahan iklim secara signifikan,” kata Murdiyarso, termasuk untuk mekanisme seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, atau REDD +.

Sayangnya, sebagian besar lahan basah Indonesia yang sangat berharga ini terancam oleh pengeringan, pembakaran dan konversi lahan berskala besar, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan kayu pulp yang tidak lestari, katanya. Gangguan-gangguan tersebut dapat menyebabkan ekosistem lahan basah melepaskan gas rumah kaca yang “signifikan”, masyarakat lokal menghadapi risiko-risiko seperti cuaca ekstrim, banjir dan kekeringan, bahaya naiknya permukaan laut, serta mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan mereka.

“Ekosistem lahan basah yang rusak dapat meningkatkan kerentanan masyarakat, yang dapat terdorong untuk terlibat lebih jauh lagi dalam strategi untuk bertahan yang bersifat mengeksploitasi dan berpandangan jangka pendek,” menurut penelitian CIFOR. Sebagian komunitas bahkan bisa melakukan akuakultur yang bahkan lebih intensif lagi, menurut studi tersebut lebih lanjut.

Untuk membalikkan tren yang terjadi sekarang, Murdiyarso berpendapat bahwa sains perlu mendorong pemahanan akan lahan basah yang lebih dalam dan luas serta mendorong dialog dengan pembuat kebijakan guna menemukan keseimbangan antara agenda konservasi dan pembangunan ekonomi.

Secara nasional dan lokal perhatian lebih perlu diberikan dalam kebijakan penggunaan lahan di hutan mangrove, yang melindungi daerah pesisir yang berada di dataran rendah dari badai, gelombang tinggi, dan intrusi garam.

Secara global, langkah-langkah seperti meninjau ulang definisi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tentang lahan basah yang saat ini “tidak memadai” dan analisa jangka panjang untuk tutupan lahan juga perlu dilakukan, kata Murdiyarso. Di Indonesia, penyesuaian dapat dilakukan dengan membentuk badan penasihat dalam kelembagaan perubahan iklim yang ada dengan tugas khusus menangani lahan basah yang memastikan terkumpulnya informasi dan pengetahuan yang mutakhir.

Penginderaan jarak jauh, pertukaran data dan transparansi juga sangat direkomendasikan. Sementara itu, masyarakat juga bisa berperan dalam memantau perubahan, membangun pengetahuan, dan ikut serta dalam pengelolaan yang berkelanjutan.

Selain menyimpan karbon, lahan basah, seperti hutan bakau, memberikan energi dan nutrisi bagi terumbu karang, menyangga wilayah pesisir terhadap badai tropis dan merupakan tempat pengembangbiakan ikan dan satwa liar – semua faktor yang dapat membantu melindungi masyarakat menghadapi variabilitas dan perubahan iklim.

Namun, lemahnya penegakan hukum untuk mencegah penebangan hutan ilegal berarti kehancuran dan deforestasi lahan basah tropis terus berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Perubahan Iklim Lahan Gambut

Lebih lanjut Perubahan Iklim or Lahan Gambut

Lihat semua