Berita

Indonesia: Hutan Mangrove, “Lumbung Pangan” untuk Masyarakat Pesisir

Studi baru menunjukkan manfaat pangan + nutrisi dalam melindungi dan memulihkan ekosistem mangrove
Bagikan
0
Nelayan kepiting tengah memasang perangkap di hutan mangrove di Teluk Pangpang, Indonesia. Foto oleh: Rifky/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Ketika air pasang, lapisan tanah di dasar hutan mangrove dipenuhi kilauan kehidupan. Ikan melesat melewati sistem akar labirin dan menemukan tempat aman untuk berkembangbiak dan bertelur; kepiting dan siput mencari makanan di antara dedaunan yang berguguran; kerang menempel pada akar udara pohon.

Mangrove akhirnya berhasil menarik perhatian para pengambil keputusan sebagai bagian penting dalam mitigasi iklim dan perlindungan pesisir. Namun, peranan mangrove dalam pola makan masyarakat setempat – terutama sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan hewan air lainnya – masih belum sepenuhnya dieksplorasi.

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, studi baru yang dilakukan oleh para ilmuwan di Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) University of Kent (Inggris), dan Charles Darwin University (Australia) menemukan bahwa hutan mangrove “berkontribusi besar terhadap  keamanan pangan dan gizi masyarakat pesisir di Indonesia.”

Ketika menyusun penelitian ini, Amy Ickowitz, Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF sekaligus Penulis Utama, menyadari mengapa saat ini topik ini masih jarang dieksplorasi.

“Tampaknya sangat sulit untuk melihat spesies ikan mana yang memanfaatkan mangrove dan menghitungnya – ikan memiliki mobilitas yang tinggi, beberapa ikan menggunakan hutan mangrove pada berbagai tahap siklus hidupnya, dan beberapa ikan mungkin tidak memanfaatkan hutan mangrove secara langsung, namun mungkin memangsa spesies ikan yang memanfaatkan mangrove,” katanya.

“Dan, meskipun ikan memanfaatkan hutan mangrove, mereka bisa dengan mudah tergantikan oleh sistem ekologi lain jika hutan mangrove tidak ada. Ini hanyalah sebagian dari kompleksitas isu ini.”

Jadi, alih-alih mengarungi rawa-rawa, secara harfiah dan kiasan, dengan harapan dapat menghitung ikan yang memanfaatkan hutan mangrove dan kemudian dikonsumsi oleh masyarakat lokal, Ickowitz dan rekannya menemukan cara untuk menghindari masalah ini, menjaga kaki mereka tetap kering dan menemukan apa yang benar-benar mereka ingin ketahui.

“Karena tujuan utama kami adalah ‘apa pengaruh semua ini terhadap pola makan masyarakat’,” ujarnya, “Kami berpikir bahwa kita bisa melihat apakah masyarakat yang tinggal di dekat hutan mangrove mengonsumsi lebih banyak ikan dibandingkan dengan masyarakat di pesisir pantai yang tidak memiliki mangrove.”

Tim ini kemudian menelusuri data sosio-ekonomi dan konsumsi – termasuk konsumsi rumah tangga terhadap ikan dan spesies air – dari survei yang mewakili tingkat nasional di Indonesia. Kemudian, dengan menggunakan peta desa dan tutupan lahan, mereka mengidentifikasi desa mana saja yang berada di pesisir pantai, menentukan kedekatannya dengan mangrove dan kolam budidaya, serta menganalisis data untuk mencari korelasinya.

Hasilnya sangat jelas. “Kami telah memperkirakan bahwa mangrove memiliki pengaruh terhadap konsumsi ikan, namun kami tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini,” kata Ickowitz.

Data menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di dekat hutan mangrove mengonsumsi 19–28 persen lebih banyak ikan segar dibandingkan rumah tangga pesisir lainnya, dan secara total 13–22 persen lebih banyak mengonsumsi protein hewani. “Karena makanan yang bersumber dari protein hewani termasuk kategori rendah di pola makan masyarakat Indonesia, hal ini mungkin memiliki dampak gizi yang signifikan bagi rumah tangga yang tinggal di dekat hutan mangrove,” kata para peneliti.

Sementara itu, dampak budi daya perikanan terhadap konsumsi ikan lokal tidak terlalu besar – dan bahkan negatif dalam beberapa kasus. Hal ini menyoroti fakta bahwa “Budidaya perikanan tampaknya tidak memberikan dampak positif terhadap konsumsi protein hewani,” kata Ickowitz – “Temuan ini memperkuat pesan bahwa menghancurkan hutan mangrove untuk budidaya perikanan adalah ide yang buruk, tidak hanya secara ekologis, namun juga bagi ketahanan pangan. ”

Di Indonesia, selama satu dekade terakhir, ada peningkatan minat terhadap konservasi dan restorasi hutan mangrove, namun sebagian besar diskusi dan tindakan yang dihasilkan berfokus pada kontribusi besar hutan mangrove terhadap mitigasi iklim dengan banyaknya karbon yang diserap dan disimpan di bawah tanah.

“Meskipun karbon merupakan alasan penting untuk melakukan konservasi dan restorasi, para ahli kehutanan, ahli ekologi, dan aktivis konservasi sering dihadapkan pada argumen: ‘Bagaimana dengan potensi memberi makan dunia yang dijanjikan oleh pertanian dan akuakultur melalui pembukaan lahan secara massal di bentang alam?’” kata Mulia Nurhasan, Ilmuwan Pangan dan Gizi di CIFOR-ICRAF dan salah satu penulis penelitian ini. “Penelitian ini menunjukkan bahwa hutan mangrove menghasilkan pangan yang lebih baik kepada masyarakat lokal dibandingkan ketika mangrove diubah menjadi budidaya perikanan.”

Mengakui kontribusi hutan terhadap ketahanan pangan dan gizi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, dan membuat hal tersebut terlihat oleh semua pemangku kepentingan, “Dapat memberikan masyarakat lokal dan pemerintah daerah alasan lain untuk melindungi hutan,” demikian kesimpulan para peneliti.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org