Opini

Ada Pelangi di Tengah Perubahan Iklim – Asalkan Kita Bertindak Sekarang

Hal-hal yang diperlukan dalam menjadikan 2024 sebagai tahun perubahan transformatif
Bagikan
0
Pelangi di atas hutan di Kalimantan Timur, Indonesia. Foto oleh: Aris Sanjaya/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Tahun baru, rekor baru. Judul-judul berita saat ini seperti mendukung asumsi bahwa rekor ada untuk dipecahkan.

Berita mengenai rekor biasanya bernada positif di dunia olahraga mau pun bisnis, namun, dalam konteks perubahan iklim, rekor menjadi pengingat mengenai hal yang sebaiknya dihindari dan juga dapat dihindari.

Bulan ini, Copernicus Climate Change Service (C3S) mengonfirmasi bahwa 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah, dengan selisih yang besar, dan mungkin terpanas dalam 100.000 tahun terakhir. Rata-rata suhu harian global bahkan sempat melampaui suhu pra-industri sebesar lebih dari 2 derajat Celcius, batas atas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.

Pada 2023, konsentrasi karbon dioksida dan metana di atmosfer juga mencapai titik tertinggi dalam sejarah, bersamaan dengan meningkatnya suhu permukaan laut rata-rata global. Sementara tingkat es laut di Antartika mencapai titik terendah baru, menurut C3S, yang merupakan bagian dari program observasi Bumi Uni Eropa.

Rekor-rekor ini merupakan sinyal lain bahwa umat manusia kini hidup di luar batas lingkungan dan perlunya tindakan untuk mengurangi proses pemanasan ini.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu mengupayakan solusi jangka panjang untuk isu ini, dibandingkan melakukan perbaikan jangka pendek yang hanya berfokus pada dampaknya saja. Atau seperti pepatah Nigeria mengatakan, “Di saat krisis, orang bijak membangun jembatan, orang bodoh membangun bendungan.”

Hutan dan pepohonan merupakan salah satu ‘jembatan’ untuk iklim stabil di planet layak huni di masa depan. Hutan dan pepohonan memainkan pernah penting dalam mitigasi perubahan iklim, melalui penyerapan karbon sekaligus sebagai penyedia makanan, obat-obatan dan mata pencaharian masyarakat. Di perkotaan, pepohonan bahkan ditemukan dapat mendinginkan suhu permukaan tanah hingga 12 derajat Celcius, yang merupakan dorongan besar bagi adaptasi perubahan iklim.

Ekosistem darat menawarkan alat penting yang dapat membantu atau menghambat upaya manusia untuk mengakhiri rekor panas tahunan yang terus muncul akhir-akhir ini. Hutan, lahan gambut, padang rumput, dan bentang alam terestrial lainnya mampu memitigasi perubahan iklim jika dikelola – namun akan memperburuk keadaan jika terdegradasi.

Pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya menyumbang 23 persen emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia, sementara proses alami di lahan menyerap karbon dioksida yang setara dengan hampir sepertiga emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil dan industri, menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.

Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) menggunakan penelitian mutakhir untuk menunjukkan bagaimana pengelolaan hutan dan lahan basah berkelanjutan, agroforestri, restorasi bentang alam, dan solusi berbasis alam lainnya membantu mitigasi perubahan iklim dan mendukung adaptasi terhadap dampaknya, seiring dengan upaya negara-negara untuk memenuhi komitmen mereka berdasarkan Perjanjian Paris.

Di tahun baru ini, CIFOR-ICRAF berharap dapat meningkatkan upayanya membangun lebih banyak jembatan melalui kolaborasi global pada acara-acara penting yang dijadwalkan pada 2024.

Di Januari, kami telah berhasil menyelenggarakan workshop di Indonesia mengenai minyak sawit berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dan mitigasi perubahan iklim melalui riset CIFOR-ICRAF.

Bulan ini, CIFOR-ICRAF hadir dalam Annual Meeting World Economic Forum (WEF), di Davos, Swiss, di mana saya menjadi moderator untuk sesi intensifikasi produksi pertanian berkelanjutan di Afrika, yang menghadirkan panel pembicara terkemuka. Saya juga berkontribusi pada pertemuan tentang alam dan keanekaragaman hayati bersama dengan para pemimpin lain di bidang pendanaan alam dan pertanian regeneratif, dan mengambil bagian dalam sesi makan siang bertajuk “Dari Potensi Afrika ke Kemakmuran Afrika” tentang menyiapkan benua ini menuju jalur yang kuat dan berkelanjutan, dan pertumbuhan inklusif.

Pada malam pertama WEF di Davos, saya menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Lombard Odier Group, yang mempertemukan para pemimpin industri, akademisi, finansial, sains, dan iklim untuk meninjau peluang dan tantangan terkait transformasi dan penskalaan investasi ke dalam solusi berbasis alam.

Selain berpartisipasi dalam acara-acara tersebut, saya berkesempatan bertemu dengan pemangku kepentingan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil, serta mendengarkan beberapa pidato inspiratif.

Sungguh menggembirakan mendengar Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS menyoroti pentingnya lahan bagi ketahanan pangan dan penyelesaian tantangan keamanan nasional. “Tanpa lahan yang baik, panen akan gagal, harga-harga naik, masyarakat akan kelaparan,” katanya dalam pidatonya, mengangkat topik yang sebelumnya kurang mendapat perhatian pada pertemuan global para pemimpin dunia.

Pada salah satu sesi di Tent SDG di Davos, Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif UN Convention to Combat Desertification menyoroti bagaimana satu dolar yang diinvestasikan dalam restorasi lahan dapat menghasilkan hingga USD 30, menghilangkan persepsi risiko yang terkait dengan investasi dalam praktik regeneratif.

Pada jamuan makan malam tahunan Nature Positive, Maria Susana Muhamad, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolombia, memberikan pidato luar biasa yang mendesak dunia untuk berdamai dengan alam. “Artinya [kita perlu] membangun peradaban, masyarakat, dan ekonomi di bawah batasan lingkungan. Berdamai dengan alam berarti memahami bahwa kita adalah bagian dari proses ekologis tersebut,” ujarnya.

Davos tahun ini telah berakhir, namun masih banyak hal yang bisa kita nantikan di 2024.

CIFOR-ICRAF sangat antusias untuk berpartisipasi dalam sesi keenam United Nations Environment Assembly (UNEA-6) di Nairobi yang akan berlangsung  akhir Februari. Sesi ini akan memberikan kesempatan besar untuk berinteraksi dengan banyak menteri lingkungan hidup yang berperan penting – sebagai penyandang dana dan mitra lokal – terhadap pekerjaan yang kita lakukan di seluruh dunia.

Sebagai mitra dan penyandang dana berbasis proyek dari International Union of Forest Research Organizations (IUFRO), kami menantikan serangkaian acara mengenai penggunaan lahan berkelanjutan, yang disoroti oleh IUFRO World Congress ke-26 di Stockholm, di mana para delegasi akan membahas tema  “Hutan dan Masyarakat Menuju Tahun 2050.”

Kami juga akan membantu membangun 10 tahun pertukaran pengetahuan dan jaringan yang dikembangkan oleh Global Landscapes Forum (GLF) – yang dipimpin oleh CIFOR-ICRAF bersama dengan UNEP, Bank Dunia dan lebih dari 30 anggota lainnya. GLF telah merencanakan agenda ambisius untuk satu tahun yang meliputi konferensi, workshop, dan pelatihan yang akan diselenggarakan di seluruh dunia dan secara online, membawa Masyarakat Adat, perempuan, dan pemuda ke panggung global dalam upaya memulihkan lanskap bumi.

Karena CIFOR-ICRAF menangani bidang-bidang yang saling terkait di mana pepohonan dapat membawa perubahan, para ilmuwan kami juga bersemangat untuk mengintensifkan kontribusi mereka terhadap tiga Konvensi Rio yang memerangi perubahan iklim, penggurunan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

CIFOR-ICRAF akan memainkan perannya dalam memenuhi tujuan United Nations Framework Convention mengenai Perubahan Iklim untuk meningkatkan implementasi Perjanjian Paris dan meningkatkan ambisi pada COP 29 di Azerbaijan. Kami akan membantu memperingati  Hari Penggurunan dan Kekeringan yang diselenggarakan oleh Jerman, menjelang COP 16 di Arab Saudi di Desember. Dan CIFOR-ICRAF akan meningkatkan upaya untuk melawan hilangnya keanekaragaman hayati pada UN Biodiversity Conference (COP 16) yang dimulai di Kolombia pada bulan Oktober.

Mari kita menyambut 2024 dengan harapan bahwa ini adalah tahun di mana kita akhirnya mulai membangun jembatan, bukan bendungan, dalam upaya melawan perubahan iklim dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan. Rekor tidak selalu perlu dipecahkan, jadi dengan bantuan hutan dan pepohonan, kita dapat membantu mengakhiri tonggak sejarah iklim yang sudah biasa kita lihat selama satu dekade terakhir.

Éliane Ubalijoro adalah CEO CIFOR-ICRAF dan Direktur Jenderal ICRAF.

(Visited 1 times, 1 visits today)
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org