Estimasi nasional emisi gas rumah kaca dari perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tropis dapat ditingkatkan secara signifikan melalui bantuan pemodelan komputer dari hasil studi terbaru di Indonesia, menurut para ilmuwan.
Negara-negara yang menyampaikan laporan ke United Nations Framework Convention on Climate Change mungkin memperkirakan emisi karbon dioksida dari kelapa sawit di lahan gambut yang dikonversi lebih banyak dari seharusnya, dan mengabaikan pelepasan nitro oksida dari gambut yang membusuk. Perkiraan yang tidak akurat ini dapat memberikan gambaran yang salah untuk tindakan iklim para pihak yang terlibat dalam Perjanjian Paris atau perjanjian internasional lainnya.
Berikut adalah temuan para ilmuwan yang tergabung di Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) serta Universitas New Hampshire.
Penulis jurnal menyampaikan temuannya berdasarkan studi simulasi emisi dari perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Tengah di Indonesia selama periode 30 tahun. Penelitian ini dimulai dengan pengukuran lapangan emisi gas rumah kaca yang dikumpulkan selama tiga tahun untuk menangkap variabilitas dari waktu ke waktu dan mengekstrapolasi hasilnya menggunakan pemodelan komputer.
“Di Indonesia, ada banyak variasi musiman dalam curah hujan, yang dapat berdampak besar pada emisi gas rumah kaca, jadi untuk mendapatkan perhitungan yang akurat, Anda benar-benar membutuhkan pengukuran lapangan yang berlangsung selama satu tahun penuh, atau beberapa tahun untuk memahami perubahan yang terjadi setiap tahunnya,” kata Erin Swails, Peneliti di CIFOR-ICRAF dan Penulis Utama studi tersebut.
Emisi gas rumah kaca
Para ilmuwan berfokus pada emisi karbon dioksida dan nitrous oksida, yang jika digabung menyumbang hampir 100 persen emisi gas rumah kaca dari perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Metana – yang merupakan gas kuat yang juga berkontribusi terhadap pemanasan global – tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini, karena emisi ini dapat diabaikan di lahan gambut yang dikeringkan.
Perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas banyaknya perubahan fungsi lahan di rawa hutan gambut di Asia Tenggara yang menyebabkan kekeringan lahan, pembakaran hutan untuk membuka lahan dan penggunaan pupuk. Proses konversi ini memberi dampak besar pada komposisi kimia gambut dan mengubah ekosistem dari penyerap karbon potensial menjadi sumber bersih emisi gas rumah kaca yang signifikan, menurut studi CIFOR-ICRAF.
Faktor-faktor emisi
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertugas untuk memberikan penilaian terhadap sains yang berkaitan dengan perubahan iklim – telah mendorong penggunaan kerangka kerja yang disepakati secara internasional untuk menghitung dan melaporkan emisi dan serapan gas rumah kaca nasional, sebagaimana diuraikan dalam Pedoman 2019. Pedoman ini juga memperhitungkan nilai default dari apa yang disebut faktor emisi, yang digunakan untuk menghubungkan pelepasan gas rumah kaca dengan aktivitas penyebabnya.
Suplemen Lahan Basah 2013 memberikan faktor emisi default untuk perkebunan kelapa sawit di tanah organik untuk membantu mengukur emisi karbon dioksida, nitrous oksida, dan metana. Pembaruan suplemen ini dibuat berdasarkan penelitian selama dekade terakhir, dan diharapkan dapat memperbaiki faktor-faktor tersebut.
Data default sering digunakan ketika angka yang lebih pasti tidak tersedia. Namun, informasi seperti ini mungkin tidak mencerminkan situasi nyata di negara tersebut, yang menyoroti pentingnya penyesuaian faktor emisi. Menurut penelitian, saat ini data tersebut hanya berdasarkan pada sejumlah kecil pengamatan dari perkebunan baru yang masih belum menghasilkan perkiraan emisi gas rumah kaca secara pasti.
“Pedoman IPCC sebagian besar dibuat berdasarkan perhitungan lapangan yang dilakukan di Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia. Tetapi, secara umum, hanya ada sedikit data dari lahan gambut di Amerika Latin dan Afrika, jadi wilayah ini lebih mengandalkan faktor emisi default,” jelas Swails.
Pemodelan
Para penulis jurnal menggunakan “pemodelan berbasis proses” yang mensimulasikan proses fisik dan biologis untuk menggambarkan perilaku ekosistem dan dikenal sebagai DNDC. Model ini sangat berguna untuk mengukur emisi gas rumah kaca di lahan gambut tropis karena dapat mereplikasi dampak dari praktik pertanian umum sambil menggabungkan hidrologi lahan basah dan proses biokimia di tanah organik, tulis mereka.
Pemodelan ini mendukung penyempurnaan faktor emisi dan sangat berguna bagi negara-negara yang tengah mengembangkan referensi tingkat emisi hutan mereka atau melaporkan inventarisasi gas rumah kaca nasional karena pemodelan ini dapat membantu mengurangi ketidakpastian saat memperkirakan pelepasan gas tersebut dari lahan gambut, menurut Swails.
“Ada banyak tantangan finansial dan logistik ketika mencoba mengumpulkan data di lapangan,” ia menjelaskan, “Kita akan selalu membutuhkan data dari lapangan, tetapi pemodelan komputer merupakan alat lain untuk membantu kita dalam memperbaiki faktor emisi.”
Meningkatkan estimasi
Penelitian menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca dari perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tropis sangat bervariasi selama periode 30 tahun terakhir. Pedoman IPCC dapat disempurnakan dengan mengurangi faktor emisi default untuk karbon dioksida sebesar 61 persen untuk dekade kedua dan 77 persen untuk dekade ketiga, para penulis merekomendasikan.
“Jika kita secara berlebihan memprediksi emisi dari perkebunan yang lebih tua berarti kita telah menaikkan baseline untuk jangka panjang,” kata Swails. “Akibatnya, kita mungkin tidak dapat mencapai pengurangan emisi melalui perubahan kebijakan dan pengelolaan lahan yang lebih baik seperti yang diperkirakan.”
Sebaliknya, faktor emisi untuk nitrous oxide dapat meningkat sebesar 34 persen dalam dua dekade terakhir karena dekomposisi gambut, dan meningkatnya ketersediaan amonium – suatu bentuk nitrogen – untuk pembentukan nitrous oksida.
Namun, perkiraan kenaikan emisi oksida nitrat dari waktu ke waktu tidak mengimbangi penurunan emisi karbon dioksida yang sesuai, menunjukkan bahwa total penurunan emisi gas rumah kaca selama rotasi 30 tahun, menurut penelitian.
“Implikasinya bukan bahwa perkebunan kelapa sawit menghasilkan lebih sedikit masalah seiring bertambahnya usia, tetapi kita membutuhkan faktor emisi yang lebih akurat karena ini penting untuk memahami dampak perubahan penggunaan lahan terhadap emisi gas rumah kaca dan iklim,” kata Swails.
*Penelitian ini mendapat dukungan dari pemerintah Amerika Serikat dan Norwegia, dan dilakukan sebagai bagian dari program penelitian CGIAR tentang Perubahan Iklim, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (CCAFS).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org