Apa yang bisa kita harapkan dari COP16 UNCCD di Arab Saudi?

Konferensi UNCCD bisa menjadi momen penting dalam upaya melawan degradasi lahan
Bagikan
0
Sands of Al-Dahnā desert, eastern Saudi Arabia. Photo by Richard Mortel/flickr.com

Bacaan terkait

Bayangkan sebuah planet di mana hujan tak pernah turun dan cakrawala terbentang dalam hamparan debu dan pasir yang tak berujung.

Kedengarannya seperti planet yang jauh. Mungkin bentang alam Mars yang tandus, atau medan Arrakis yang tak kenal ampun, gurun ekologis yang digambarkan dalam novel fiksi ilmiah klasik karya Frank Herbert dan film laris terbaru “Dune.”

Namun benarkah bayangan mengerikan itu cuma skenario tak masuk akal atau justru kenyataan di depan mata?

Pertumbuhan penduduk, penggundulan hutan, penggembalaan berlebihan, erosi tanah dan perubahan iklim memberi tekanan besar pada ekosistem lahan kering, merusak keanekaragaman hayati dan mengurangi produktivitas pertanian, sehingga mengancam penghidupan miliaran orang.

Tahun lalu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD) melaporkan bahwa sejak 2015 hingga 2019, dunia kehilangan sedikitnya 100 juta hektare lahan yang sehat dan produktif setiap tahunnya – angka yang mengejutkan yang setara dengan dua kali luas Greenland.

Untuk membantu mengatasi tren yang mengkhawatirkan ini, Pertemuan ke-16 Konferensi Para Pihak (COP16) UNCCD akan diadakan di Riyadh, Arab Saudi, dari tanggal 2 hingga 13 Desember 2024.

Pertemuan tahun ini di Riyadh menandai sebuah tonggak sejarah: peringatan 30 tahun UNCCD, salah satu dari tiga Konvensi Rio—bersama perjanjian tentang perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Dibuat pada 1994, perjanjian ini berupaya melindungi dan merestorasi lahan seraya memastikan masa depan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan.

Negara tuan rumah

UNCCD COP16 di Riyadh, Arab Saudi akan berlangsung dari 2 hingga 13 Desember 2024.

Arab Saudi, yang 95 persen wilayahnya berupa gurun, memimpin upaya ini dengan rencananya sendiri untuk restorasi lahan.

Diluncurkan pada 2021, Inisiatif Hijau Saudi bertujuan untuk mengubah 30 persen lahan Arab Saudi menjadi cagar alam; menanam 10 miliar pohon; dan merestorasi 40 juta hektare lahan yang terdegradasi.

Negara ini juga memimpin upaya penanaman 40 miliar pohon tambahan di seluruh wilayah melalui Inisiatif Hijau Timur Tengah.

Target gabungan 50 miliar pohon antara kedua inisiatif tersebut mewakili 5 persen dari target penghijauan global – setara dengan memulihkan 200 juta hektare lahan yang terdegradasi, menurut Program Lingkungan PBB (UNEP).

Arab Saudi juga bermitra dengan negara-negara G20 dan UNCCD untuk meluncurkan Inisiatif Lahan Global G20, yang bertujuan untuk mengurangi degradasi hingga 50 persen pada 2040.

Dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah membuktikan bahwa restorasi lahan di gurun bisa berhasil. Proyek Al Baydha, sebuah inisiatif pertanian regeneratif di Arab Saudi bagian barat, telah mengubah kehidupan suku Badui melalui pertanian terasering dan pengelolaan air yang jauh lebih baik. Dengan menampung air hujan musim dingin untuk digunakan dalam meregenerasi gurun, proyek ini merangsang ekonomi lokal dan menjadi contoh bagi wilayah lain di negara kerajaan tersebut.

“Kita tidak bisa memiliki pembangunan berkelanjutan tanpa perlindungan lingkungan, dan lahan merupakan inti dari perlindungan lingkungan,” kata Osama Ibrahim Faqeeha, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Arab Saudi, dalam sebuah wawancara dengan UNEP awal tahun ini.

Apa sebenarnya desertifikasi itu?

Desertifikasi merupakan suatu bentuk degradasi lahan yang terjadi ketika lahan subur menjadi tak layak digunakan akibat aktivitas manusia atau proses alam, seperti kekeringan

Menurut PBB, desertifikasi memengaruhi hampir seperenam penduduk dunia dan 70 persen dari semua lahan kering, sehingga mengakibatkan kemiskinan yang meluas di sana.

Bentang alam yang kering mengakibatkan berkurangnya produksi tanaman pangan dan ternak karena sumber air menjadi langka, sehingga memaksa banyak penduduk untuk bermigrasi ke tempat lain untuk mencari tanah yang subur.

Gurun tidak selalu berupa hamparan pasir dan bebatuan yang terbakar matahari di Sahara atau dataran yang disapu angin seperti Gurun Gobi di Cina. Gurun terluas di bumi terletak di bawah suhu di bawah nol di Antarktika dan Arktik, tempat lumut, tanaman keras, dan mikroorganisme berevolusi untuk bertahan hidup di tengah es kutub.

Namun, gurun kutub ini memanas hingga empat kali lebih cepat daripada bagian lain planet ini. Kondisi tersebut menyoroti kebutuhan mendesak untuk memitigasi dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Hutan dan pepohonan

Strategi paling efektif untuk memerangi desertifikasi adalah melalui konservasi hutan dan pepohonan. Penahan alami ini mencegah erosi tanah, melindungi daerah aliran sungai, mengurangi salinitas, menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati, dan menyerap sebagian emisi karbon dioksida yang memperburuk perubahan iklim.

Hutan dan pepohonan juga menopang kehidupan masyarakat lokal dan masyarakat adat, yang telah menjadi aktor kunci pengelolaan lahan berkelanjutan selama berabad-abad, dengan menyediakan makanan dan hasil hutan bernilai tinggi.

Hutan punya peran khusus dalam melawan degradasi lahan. Hal ini karena desertifikasi terkonsentrasi terutama di lahan kering dunia, yang dihuni 2 miliar orang dan merupakan 25 persen hutan global, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Mungkin simbol restorasi lahan yang paling terkenal di lahan kering adalah Tembok Hijau Besar. Melibatkan 22 negara Afrika dan membentang sepanjang 8.000 kilometer dari timur ke barat, inisiatif ambisius ini bertujuan untuk merestorasi 100 juta hektare lahan yang terdegradasi, menyerap 250 juta ton karbon, dan menciptakan 10 juta lapangan kerja hijau pada 2030.

Lanskap di wilayah Sahel, Burkina Faso. Foto oleh Daniel Tiveau/CIFOR-ICRAF

Capaian UNCCD

Meskipun berbagai upaya global untuk mengatasi desertifikasi sejauh ini belum cukup untuk menyelesaikan masalah tersebut, UNCCD telah membuat beberapa kemajuan dalam beberapa waktu terakhir dan menyusun kerangka kerja internasional untuk restorasi lahan masa depan.

Selama Dekade PBB untuk Gurun dan Perjuangan Melawan Desertifikasi sejak 2010 hingga 2020, UNCCD meningkatkan kesadaran global tentang desertifikasi, memperluas pemahaman ilmiah tentang masalah tersebut dan mendorong banyak pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang memberi insentif kepada pengguna lahan untuk menghindari, mengurangi atau membalikkan degradasi.

UNCCD juga telah memperjuangkan konsep netralitas degradasi lahan (LDN), yang menyerukan hierarki tindakan: penghindaran, minimalisasi, dan penyeimbangan. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan degradasi lahan baru dengan merestorasi dan merehabilitasi area terdegradasi lainnya.

Pada 2022, sekitar 78 negara telah menetapkan 484 target untuk menghindari, mengurangi, dan membalikkan degradasi lahan pada 2030, menurut Dasbor Data UNCCD.

Secara global, negara-negara telah berjanji untuk memulihkan 1 miliar hektare lahan – wilayah yang lebih luas dari Tiongkok – selama Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem (2021‒2030).

Kesehatan tanah

Pada akhirnya, desertifikasi tergantung pada kondisi tanah itu sendiri.

“Kita tahu bahwa sekitar 65 persen tanah di Afrika terdegradasi, seperti halnya sepertiga tanah di seluruh dunia,” kata Éliane Ubalijoro, CEO Pusat Penelitian Kehutanan Dunia dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), dalam sebuah wawancara tahun lalu. “Kesehatan tanah kita akan menentukan kesehatan sistem pangan kita, yang akan menentukan kesehatan populasi global kita.”

Pemantauan kesehatan tanah dan lahan sangatlah penting dalam mencapai LDN. Sebuah alat penilaian baru, Kerangka Kerja Pengawasan Degradasi Lahan (LDSF), kini menjadi yang terdepan dalam upaya ini. Alat ini menyediakan sistem yang fleksibel untuk mengumpulkan data tentang berbagai indikator kesehatan lahan guna melacak perubahan dalam kesehatan tanah, degradasi lahan, dan keanekaragaman vegetasi.

Diimplementasikan di lebih dari 45 negara di seluruh daerah tropis global, LDSF telah digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah, LSM, dan peneliti, untuk mencakup berbagai ekosistem dan penggunaan lahan.

Lebih lanjut, CIFOR-ICRAF sedang membangun salah satu perpustakaan indikator kesehatan tanah terbesar, termasuk perpustakaan spektral tanah dengan lebih dari 200.000 sampel tanah yang memiliki referensi geografis. Basis data yang terus berkembang ini penting untuk menilai perubahan karbon organik tanah — metrik penting dalam mengevaluasi kesehatan lahan dan mencapai target keberlanjutan global.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org