Bagikan
0

Bacaan terkait

Suatu analisa yang baru-baru ini dilakukan oleh satu tim ilmuwan menemukan bahwa pengalaman positif Indonesia dengan pengelolaan lahan terdesentralisasi dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan pentingnya tata-kelola yang mendukung dalam menyelesaikan kepentingan-kepentingan yang bersaing yang menghambat kelestarian bentang alam.

Keanekaragaman hayati, jasa-jasa ekosistem dan kesejahteraan manusia di bentang alam berhutan bergantung pada keberhasilan pendekatan-pendekatan bentang alam terpadu. Para praktisi harus menyesuaikan strategi mereka dengan prioritas-prioritas lokal dan menyelaraskan aksi-aksi penggunaan lahan mereka dengan kebijakan yang berlaku.

Hal-hal ini termasuk di antara temuan-temuan studi terbaru oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Universitas British Columbia (UBC) Kanada.

Pendekatan-pendekatan bentang alam terpadu sangat penting untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan sosial, lingkungan dan politik di antara para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan lahan di seluruh dunia. Pendekatan strategis bertujuan untuk membawa perbaikan tata-kelola agar dapat mendukung realisasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) PBB.

Menurut penelitian tersebut, seiring dengan semakin ketatnya persaingan atas lahan di Indonesia, teknik-teknik untuk mencapai keberlanjutan juga harus meningkat, yang mana hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat sipil yang lebih besar dan pengakuan atas hak dan tanggung-jawab pengelolaan adat telah memberikan dampak positif terhadap prospek keberhasilan.

Tujuh dari delapan kasus yang ditinjau oleh para peneliti menunjukkan adanya perbaikan-perbaikan tata-kelola sebagai hasil dari inisiatif pendekatan bentang alam.

Menurut para penulis, pengambilan keputusan yang mempengaruhi bentang-bentang alam jarang dimotivasi semata-mata oleh pertimbangan ekologis, tetapi lebih cenderung menjadi produk kepentingan-kepentingan politik dan pasar serta kebutuhan-kebutuhan budaya dan pembangunan.

Di Indonesia, pendekatan bentang alam kolaboratif – yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, aktor, dan tingkat tata-kelola – mengikuti sejarah panjang pendekatan-pendekatan konservasi yang mencapai berbagai tingkat keberhasilan. Selama tahun 1970-an dan 1980-an, sekitar 22 persen dari permukaan lahan negara dialokasikan untuk taman nasional dan kawasan lindung lainnya. Pada tahun 1990-an, fokus konservasi Indonesia meluas ke kawasan-kawasan lainnya.

Akan tetapi, ketika Indonesia mendesentralisasikan sistem pemerintahannya sejak tahun 1998, institusi-institusi pada level yang lebih rendah tidak memiliki kapasitas untuk menghadapi kelompok-kelompok kepentingan khusus dan pengaruh mereka terhadap pengambilan keputusan lokal. Dengan penggunaan lahan yang bersaing dan undang-undang yang tumpang-tindih, semakin luas kawasan hutan yang dikonversi menjadi kelapa sawit, sementara kebakaran lahan gambut terjadi, polusi udara memburuk dan keanekaragaman hayati hilang.

“Seperti yang kita lihat di Indonesia, masalah-masalah ini dapat diatasi dengan pendekatan bentang alam terpadu yang melibatkan pihak pemerintah, non-pemerintah dan swasta pada skala yang berbeda,” kata Ani Adiwinata, ilmuwan CIFOR yang berkontribusi dalam penelitian ini. “Dengan kapasitas kelembagaan yang lebih kuat, pemetaan penggunaan lahan yang terstandarisasi, dan pengembangan skema perhutanan sosial, tata-kelola yang baik adalah kunci untuk membuat kemajuan menuju hasil konservasi yang lebih baik.”

Melalui kuesioner dan diskusi lanjutan dalam periode tiga tahun, para peserta inisiatif bentang alam terpadu yang ditinjau oleh para ilmuwan memberikan wawasan tentang kekuatan dan tantangan program tersebut pada bentang alam mulai dari pinggiran kota (Gunung Kidul, Jawa) dan perkebunan (Semenanjung Kampar, Sumatera bagian timur) hingga mosaik (Kelola Sendang, Sumatera Selatan) dan hutan alam pegunungan (Mbeliling, Nusa Tenggara Timur).

Salah satu program di Gunung Kidul adalah bagian dari Proyek Kanoppi dan melibatkan bentang lahan karst yang unik yang dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang penting serta sistem mata air dan akuifer bawah tanah. Menurut Adiwinata, mengelola keajaiban alam ini harus mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, industri dan pemerintah.

Semua inisiatif yang dievaluasi oleh para peneliti mengidentifikasikan kebutuhan untuk beroperasi di luar batasan program konservasi yang biasa, dan berusaha untuk melibatkan berbagai lembaga pemerintah sektoral, masyarakat, pemimpin adat, perusahaan swasta, dan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini biasanya dilakukan dengan membentuk badan-badan kepemimpinan yang mencerminkan keragaman peserta. Inisiatif-inisiatif yang berhasil berusaha untuk membentuk suatu visi bersama dan menggabungkan pilihan-pilihan lokal untuk mencapai tujuan.

“Ketika suatu visi bersama dapat membantu menyatukan para pemangku kepentingan, mencari cara untuk mengatasi tantangan-tantangan dan membuat kemajuan adalah yang paling penting – dan juga yang paling sulit,” kata Rebecca Riggs, seorang peneliti di Fakultas Kehutanan di UBC yang menjadi penulis utama studi tersebut. “Para pemangku kepentingan mungkin memiliki tujuan-tujuan mereka sendiri yang mengesampingkan kepentingan orang lain. Membangun konsensus adalah bagaimana menyelesaikan trade-off ini.”

Ada juga tantangan-tantangan lain yang dilaporkan di antara delapan inisiatif tersebut. Di daerah dengan persaingan yang ketat untuk lahan – di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Ketapang (Kalimantan Barat) dan Kelola Sendang – tidak ada perantara untuk memandu pengambilan keputusan-keputusan pada skala bentang alam. Hal ini membuat degradasi lingkungan cenderung terjadi karena tidak ada satupun lembaga pemerintah di Indonesia yang memutuskan alokasi dan perencanaan penggunaan lahan, sehingga memungkinkan aliansi-aliansi yang kuat untuk mendikte perilaku, seperti pembukaan lahan ilegal.

“Ada dua hal utama yang mempengaruhi perbaikan-perbaikan tata-kelola – apa yang terjadi di bentang alam tersebut, serta kondisi pendukung yang lebih luas yang ada di tingkat regional, nasional atau internasional,” kata Riggs. “Kebijakan yang kondusif sangat penting untuk mempertahankan tata-kelola bentang alam. Ini termasuk legislasi dan pendanaan yang mendorong kolaborasi lintas-sektor.”

Menurut Riggs, pelajaran yang dipetik dalam studi ini mungkin juga relevan untuk negara-negara lain yang ingin menerapkan pendekatan bentang alam terpadu. Terdapat peluang-peluang bagi bisnis untuk memainkan peran utama dalam memenuhi tujuan-tujuan produksi dan konservasi di bentang alam tempat mereka beroperasi.

“Cara inisiatif-inisiatif tersebut terlibat dalam kemitraan-kemitraan internasional menunjukkan pembelajaran di seluruh negara sudah terjadi,” kata Riggs. “Praktisi-praktisi bentang alam di Indonesia berkontribusi pada pemahaman yang semakin baik atas pendekatan bentang alam terintegrasi secara global.”

Studi ini sebagian didanai oleh Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (Social Sciences and Humanities Research Council of Canada /SSHRC). Proyek Kanoppi didukung oleh Pusat Penelitian Pertanian Internasional Australia (the Australian Center for International Agricultural Research /ACIAR) dan merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri, yang didukung oleh Donor Dana CGIAR.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Ani Adiwinata di a.nawir@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org