Pelajaran dari Pendekatan Yurisdiksi untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Memilih pendekatan yurisdiksi untuk manajemen hutan dan bentang alam berkelanjutan di wilayah tropis, menurut para peneliti, makin dipandang sebagai metode paling efektif dalam konservasi ekosistem produktif dan mendukung penghidupan.
Memperkuat upaya pengelolaan bentang alam terintegrasi, pendekatan yurisdiksi menyatukan berbagai tingkat pemerintahan, pusat hingga daerah, untuk tujuan menyempurnakan dan mengembangkan kelindan erat jasa ekosistem, lingkungan, pertanian dan pembangunan desa.
Satu seri makalah yang terdiri dari sembilan penelitian dikurasi oleh para ilmuwan Tim Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Institut Inovasi Bumi dan kolaborator lain untuk Frontiers, merinci beragam perspektif pendekatan yurisdiksi di tingkat sub-nasional, memberikan wawasan seberapa besar kapasitasnya mendorong perubahan, dan tingkat pengaruhnya.
“Kami menemukan beberapa pola yang muncul, khususnya menggambarkan diskusi dalam konteks literatur tata kelola lingkungan melalui pendekatan yurisdiksi sub-nasional,” kata Amy Duchelle, yang saat dipublikasikan memimpin tim CIFOR. “Ini mengisi kesenjangan kebutuhan asesmen mandiri dan kritis terkait kemajuan dan tantangan aktual pendekatan ini di wilayah tropis.”
Ringkasan makalah-makalah tersebut, bisa dibaca berikut ini:
Dalam “Desentralisasi Kehutanan dalam Konteks Prioritas Karbon Global: Tantangan Baru bagi Pemerintahan Subnasional,” para peneliti menilai relasi antar-level tata kelola dan pemerintah untuk memahami bagaimana karbon kehutanan terkait-iklim berkaitan dengan desentralisasi sebagai akibat dari meningkatnya tekanan kebutuhan pemanfaatan lahan dan pertanyaan siapa yang menentukan mandat bagi peran pemerintah subnasional untuk menyusun solusi praktis pemanfaatan lahan. Dengan menelaah proyek karbon-hutan dan proses desentralisasi kehutanan di Indonesia, Meksiko, Peru, Tanzania dan Vietnam, yang seluruhnya memiliki inisiatif karbon hutan, para ilmuwan menelaah batasan dan potensi yang ada.
Dalam “Kewenangan Pemerintah Level-Kedua dalam Menurunkan Deforestasi di 30 Negara Tropis,” para ilmuwan mengklasifikasikan pemerintahan level-kedua di 30 negara tropis yang diproyeksikan memiliki tingkat emisi tinggi dari deforestasi, untuk menentukan lingkup kewenangan umum dan terkait hutan. Kewenangan pemerintah tingkat negara bagian dan provinsi – “pemerintahan level-kedua” – dalam membuat keputusan terkait penurunan deforestasi secara independen dari pemerintah nasional sangat berbeda di tiap negara. Para peneliti menunjukkan di negara mana yang level-kedua pemerintahan memiliki kewenangan luas untuk menurunkan deforestasi dengan yang memiliki kewenangan lebih kecil, merinci berbagai portofolio level ini dalam pengendalian, menggambarkan implikasi dan potensi terkait pola deforestasi.
Dalam “Teori Perubahan Tentatif untuk Mengevaluasi Pendekatan Yurisdiksi pada Penurunan Deforestasi,” para penulis mengeksplorasi bagaimana yurisdiksi sub-nasional dipromosikan sebagai level strategis tata kelola untuk mencapai tujuan menurunkan deforestasi. Meski makin populer, kurangnya data empirik tidak mendokumentasikan efektivitas pencapaian hasil lingkungan, sosial dan ekonomi. Para penulis menyatakan, klarifikasi lebih besar atas konsep pendekatan yurisdiksi akan bermanfaat, khususnya jika berbasis pada teori perubahan dalam menjelaskan kaitan antara intervsi terkait pendekatan yang dilakukan dan dampaknya.
Dalam “Pembelajaran untuk Pendekatan Yurisdiksi dari Inisiatif Tingkat-Kabupaten dalam Menurunkan Deforestasi di Amazon Brasil,” para peneliti menyatakan, meski pendekatan yurisdiksi makin populer dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, belum ada konsensus pendekatan mana yang diambil. Para peneliti menelaah dua studi kasus di tingkat-kabupaten yang sangat berbeda di wilayah timur negara bagian Amazon, Para. Di sini upaya yurisdiksional skala besar dilakukan untuk menurunkan deforestasi. Menggunakan kerangka waktu intervensi tata kelola hutan dan metode lain, para peneliti memutuskan proses yang diterapkan di tiap kabupaten. Melalui proses ini, para peneliti memberi jawaban mengenai bagaimana implementasi dan penyempurnaan pendekatan yurisdiksional yang ditujukan untuk meredam deforestasi di wilayah tropis.
Dalam “REDD+ dalam Teori dan Praktik: Bagaimana Belajar dari Proyek Lokal dapat Menginformasi Pendekatan Yurisdiksional,” para ilmuwan mengeksplorasi bagaimana proyek lokal REDD+ seringkali dirancang sebagai aksi percontohan, dengan menganalisis dua basis data. Mereka menemukan, pada 226 proyek REDD+ berorientasi konservasi, hanya 88 yang merencanakan insentif bersyarat bagi pemilik lahan—fitur kunci pembayaran jasa lingkungan (PES). Secara lebih dalam menelaah portofolio 23 proyek lokal REDD+ yang terimplementasi, para ilmuwan mencatat bahwa insentif bersyarat merupakan intervensi paling menjanjikan dan efektif. Ketidakamanan tenurial lahan dan ketidakpastian aliran finansial REDD+ menjadi penghambat utama dalam insentif bersyarat, yang menunjukkan ketidaksesuaian teori dan praktik REDD+. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa yurisdiksi perlu dipertimbangkan matang dalam perencanaan insentif bersyarat bagi pemilik lahan hanya pada skenario di mana prakondisi PES dipenuhi.
Dalam “Dekralasi Rio Branco: Mengukur Langkah Menuju Target Penurunan Deforestasi Sukarela Jangka-Pendek dalam Yurisdiksi Subnasional di Wilayah Tropis,” para ilmuwan mengeksplorasi 30 yurisdiksi subnasional peringkat pertama di Brasil, Indonesia, Meksiko dan Peru yang secara sukarela menandatangani perjanjian Rio Branco, berkomitmen untuk menurunkan deforestasi sebesar 80 persen pada 2020 jika mendapat dukungan cukup dari masyarakat internasional. Para ilmuwan mengevaluasi kemajuan dalam pencapaian komitmen deforestasinya, menelaah sejumlah faktor pendukung potensial atau perlambatan, menemukan bahwa pencapaian target berlangsung lamat dan sulit tercapai di sebagian besar yurisdiksi di luar Brasil.
Dalam “Dapatkah Pendekatan Yurisdiksi pada Berkelanjutan Melindungi dan Meningkatkan Hak dan Penghidupan Masyarakat Adat dan Lokal? ” para ilmuwan mengeksplorasi hipotesis bahwa hutan tropis memberi sepertiga solusi memperlambat perubahan iklim. Mengingat estimasi terdapat 200 juta “masyarakat hutan”—termasuk masyarakat adat dan lokal—hidup dan bergantung pada hutan tropis, mewujudkan seluruh potensi mitigasi perubahan iklim berarti mencari jalan baru berkolaborasi. Pada 2018, 34 pemerintah subnasional dan 18 organisasi masyarakat adat dan lokal menyatakan dukungan pada “Prinsip-Prinsip Panduan Kolaborasi antara Pemerintah Subnasional, Masyarakat Adat, dan Komunitas Lokal.” Setelah dianalisis, para ilmuwan menyatakan bahwa implementasi dan keamanan hak yang tidak merata di yurisdiksi subnasional, menghambat potensi untuk menginformasi hasil kebijakan dan mekanisme bagi-manfaat.
Dalam “Pendekatan Yurisdiksi di Indonesia: Insentif, Aksi, dan Fasilitasi Koneksi,” para peneliti mendiskusikan bagaimana pendekatan yurisdiksi awalnya dipandang sebagai cara untuk mengelola hambatan pada langkah awal implementasi komitmen korporasi pada rantai pasok bebas-deforestasi. Meski dampak umum pendekatan ini pada rantai pasok masih belum jelas, insentif material untuk perubahan masih sangat terbatas dibanding faktor-faktor yang mendorong deforestasi umum. Hal ini terjadi akibat terbatasnya ketersediaan data spasial dalam perencanaan pemanfaatan lahan, rendahnya kapasitas pejabat tingkat kabupaten, dan kurang selarasnya kebijakan antara entitas pemerintah subnasional dan nasional, serta lintas kementerian. Untuk secara tepat menguji teori perubahan yang dikembangkan pada pendekatan yurisdiksi, penekanan lebih pada penciptaan insentif eksternal dan pengkaitan inisiatif lebih luas lintas yurisdiksi dibutuhkan untuk menegaskan jalan bagi berbagai aktivitas di tiap provinsi dan kabupaten.
Dalam “Participatory Use of a Tool to Assess Governance for Sustainable Landscapes,” para ilmuwan menunjukkan bahwa manajemen sumber daya berkelanjutan menjadi krusial untuk menyeimbangkan tuntutan penghidupan, ekonomi, dan tujuan lingkungan serta pendekatan yurisdiksi komprehensif untuk menjamin tata kelola hutan dan pemanfaatan lahan bisa membantu mendorong keberlanjutan. Menerapkan alat pemeringkatan pada 19 negara bagian dan provinsi di Brasil, Ekuador, Indonesia, Pantai Gading, Meksiko dan Peru melalui informasi publik, wawancara dengan para pemangku kepentingan dalam yurisdiksi dan lokakarya multi-pihak untuk memvalidasi indikator pemeringkatan, para ilmuwan mengeksplorasi efek pelibatan pemangku kepentingan. Secara umum, alat tersebut dipandang berhasil untuk penilaian mandiri yurisdiksi dan mengatasi kesenjangan koordinasi, serta menunjukkan bahwa pendekatan partisipatoris dalam mengumpulkan dan memvalidasi data dapat digunakan untuk menginformasi penelitian mengenai tata kelola lingkungan dan keberlanjutan.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org