Bagikan
0

Bacaan terkait

Reformasi tenurial hutan memiliki ragam derajat pengaruh pada bagaimana pemerintah dan masyarakat mengelola sumber daya bentang alam. Beberapa perubahan berpihak pada perempuan, dan menunjukkan langkah kecil ke arah pemberdayaan.

Baru-baru ini, para peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) mendalami kondisi perempuan dan tenurial lahan di Provinsi Lampung dan Maluku. Penelitian ini dilakukan untuk lebih memahami dampak kebijakan reformasi tenurial hutan dan program kesetaraan gender.

“Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga dan masyarakat tampak meningkat, meski masih terbatas,” kata Anne Larson, ketua tim Kesetaraan Peluang, Keadilan Gender dan Tenurial CIFOR yang memimpin penelitian ini.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk memasukkan pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional dikunci pada 2000 melalui mandat yang dirancang untuk diturunkan pada semua kebijakan dan program di seluruh kementerian. Bahkan sebelum penggabungan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan telah mengarusutamakan gender, selain telah merajutnya melalui berbagai kebijakan dan program. Praktik ini terus berlanjut. Partisipasi perempuan didorong melalui berbagai program Pengarusutamaan Gender (PUG). Program ini dirancang untuk mengarusutamakan gender dalam kebijakan hutan dan lingkungan hidup, termasuk dalam tenurial hutan.

“Meski kebijakan nasional kesetaraan gender berkontribusi pada pengarusutamaan kebijakan gender pada sektor kehutanan, kebijakan dan program reformasi tenurial hutan masih sedikit mempertimbangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,” kata Mia Siscawati, ketua Program Kajian Gender di Universitas Indonesia. Kesimpulan itu diambil setelah wawancara, survei dan diskusi terpumpun di 16 desa yang memiliki aturan tenurial berbeda.

Penelitian ini melibatkan laki-laki dan perempuan di tingkat nasional, provinsi, dan lokal di dua provinsi.

TUJUAN SEJALAN

Perubahan kebijakan nasional tenurial hutan – yang menentukan hak kepemilikan dan bagaimana sumber daya hutan dimanfaatkan, jangka waktu dan kondisinya – berjalan bersamaan dengan upaya mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dan anak gadis.

Akses lebih bagi perempuan atas lahan dan sumber daya alam merupakan inti dari upaya kesetaraan gender, yang juga berlangsung di tingkat internasional, dan dinyatakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) PBB, sebuah kerangka kerja yang berisi 15 target penghapusan kemiskinan pada 2030.

Bersama dengan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Perempuan (CEDAW), Deklarasi Hak Masyarakat Adat PBB dan Panduan Tata Kelola Bertanggung Jawab, terbentuk kerangka kerja kebijakan global sebagai panduan untuk pemenuhan hak.

Meski mengisi lebih dari separuh dari 2,5 miliar penduduk yang secara adat memiliki dan memanfaatkan lahan komunitas, perempuan adat dan pedesaan seringkali absen dari pembahasan hak kepemilikan dan agenda pembangunan lebih besar lain. Kondisi ini diungkap dalam Laporan Inisiatif atas Hak dan Sumber Daya (RRI) pada bagian hak perempuan pada hutan masyarakat.

Melalui asesmen 80 kerangka legal yang mengatur hak perempuan adat dan pedesaan atas hutan masyarakat di 30 negara, serta mencakup 78 persen hutan negara berkembang, laporan RRI menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari dua negara yang tidak secara eksplisit menjamin perlindungan kesetaraan dalam konstitusinya.

Namun, banyak pihak di Indonesia menyatakan bahwa Pasal 27 UUD 1945, yang menyatakan “seluruh warga negara memiliki hak sama di depan hukum,” merupakan dasar bagi pemenuhan hak-hak perempuan. Meskipun undang-undang itu tidak secara spesifik membedakan warga negara laki-laki dan perempuan.

Sebagai salah satu penandatangan CEDAW pada 1984, negara berkomitmen menghapus diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan. Regulasi dan aturan nasional spesifik gender lain sudah tersedia untuk mendukung pengarusutamaan gender dalam sektor kehutanan.

PARAMETER KERANGKA KERJA

Para peneliti menggunakan kerangka kerja konseptual “Kotak Gender,” yang dikembangkan oleh Carol Colfer, ilmuwan senior mitra CIFOR, untuk meneliti gender dan reformasi tenurial hutan.

Kerangka ini memungkinkan analisis sistematis peran gender dalam manajemen hutan pada tiga tingkat berbeda. Colfer menamainya, makro, meso dan mikro, untuk menentukan bagaimana perempuan dan laki-laki memanfaatkan sumber daya dan memetik manfaat hutan.

Makro mencakup pertimbangan kebijakan, peraturan dan parameter kultural dan religius kurang formal pada skala global. Meso menawarkan cara menganalisis pola sosial dari bentang alam hingga tingkat nasional yang mempengaruhi perilaku terkait hutan. Sementara, mikro menyoroti kluster masalah lebih rinci, seperti demografi, ekonomi lokal dan peran keluarga.

“Saya sedikit memodifikasi pendekatan konseptual Colfer untuk mengembangkan kerangka analisis,”  kata Siscawati. “Saya mempertimbangkan irisan reformasi tenurial hutan dan dimensi gender, serta dinamika pada tiga tingkat ini.”

Sebagian besar praktik tenurial dan tata kelola hutan di Indonesia, kata Siscawati, dikembangkan di seputar kompetisi proses antara negara dan masyarakat hutan, khususnya Masyarakat Adat, komunitas tradisional dan komunitas lokal lain.

“Banyak penelitian, seperti juga kebijakan dan program memandang ‘masyarakat’ sebagai entitas homogen dan sedikit pertimbangan pada gender, kelas, etnisitas, agama, dan aspek sosio-kultural lain yang berkontribusi penting pada pembentukan sub-grup dalam sebuah ‘masyarakat’ serta ragam identitas anggota tiap sub-grup,” katanya.

“Oleh karena itu, ketidakadilan gender dalam tenurial dan tata kelola hutan, sebagaimana yang banyak dialami perempuan, belum sepenuhnya teratasi.”

PERAN GENDER

Secara umum, pada kedua provinsi, kerja ekonomi perempuan, meliputi membantu pekerjaan di sawah, kebun, panen dan pengolahan biji kopi, ubi kayu, gula kelapa, pisang, ketan, membuat kerajinan, menjual dan memasarkan produk. Peran domestiknya, antara lain memasak, mencuci, belanja serta merawat anak dan suami. Mereka sering kali dibantu anak perempuan mereka, dan bekerja lebih lama dibanding laki-laki.

Laki-laki bekerja di kebun, sawah dan mengurus ternak. Peran domestik mereka antara lain membersihkan rumah dan mencuci pakaian sendiri, serta seringkali dibantu anak laki-laki.

Di Lampung, penelitian menunjukkan, terdapat dua izin perhutanan sosial, yaitu hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat.

Penerapan reformasi di Lampung tidak berkontribusi secara signifikan pada transformasi norma gender. Meski terdapat peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga dan masyarakat, namun masih terbatas.

Peningkatan potensi penghasilan membuka peluang anak perempuan bersekolah lebih tinggi. Pernikahan dini menurun. Perempuan merasa lebih aman dan terjamin dalam mengelola lahan karena tidak lagi mengkhawatirkan otoritasnya. Hal ini berarti, mereka dapat berkontribusi pada manajemen hutan berkelanjutan dengan penanaman kembali agar terhindar dari kepunahan dan mendapatkan penghasilan dari hasil hutan bukan kayu, yang menutupi pengeluaran sehari-hari. Manfaat lain yang teramati, bahwa jumlah laki-laki yang melakukan migrasi temporer menurun karena hak tenurial yang lebih terjamin.

Di Maluku, para peneliti mengamati sejumlah besar hutan adat, dan masyarakat lokal terus mengupayakan skema reformasi tenurial hutan yang dapat melindungi hak tenurialnya atas lahan dan sumber daya hutan.

Reformasi tenurial hutan di Lampung dan Maluku tidak mengubah peran domestik dan sosial perempuan, kata Siscawati.

“Namun, peningkatan pendidikan anak perempuan, sejalan dengan peningkatan penghasilan bisa berkontribusi pada perubahan norma gender di masa depan, dan memungkinkan perempuan berpartisipasi aktif dalam aktivitas mengelola hutan.

Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Kebijakan, Lembaga, dan Pasar (PIM) yang dipimpin oleh Lembaga Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI), dan Hutan, Pohon dan Agroforestri (FTA) yang dipimpin oleh CIFOR. ‘Studi Komparatif Global CIFOR tentang Reformasi Penguasaan Hutan’ didanai oleh Komisi Eropa dan Fasilitas Lingkungan Global (GEF) dengan dukungan teknis dari Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Anne Larson di a.larson@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org