Di daerah kering kronis Kenya, di luar Nairobi, perempuan menjadi petani ilmuwan, bekerja dengan peneliti CIFOR-ICRAF untuk mencari cara agar tanah kering menghasilkan makanan untuk keluarga dan pasar.
Perempuan desa menguji berbagai jenis mulsa untuk mendapatkan yang terbaik dalam kondisi sulit mereka. Target berikutnya adalah bekerja dengan para ilmuwan untuk mengidentifikasi racikan aktif dari tanaman untuk mengendalikan hama.
“Pengetahuan adat kami masih sangat bernilai, karena sangat terdiversifikasi, terutama di wilayah desa yang tidak tersedia cukup teknologi,” kata Esther Kiruthi Kagai, Pendiri Komunitas Pertanian Berkelanjutan dan Program Lingkungan Sehat (CSHEP), organisasi berbasis komunitas yang melatih petani kecil, khususnya perempuan.
Diselingi mengurus keluarga dan merawat tanaman, “Perempuan melakukan banyak kerja yang tidak diakui – ketidaksetaraan ini diperburuk dengan tidak dimilikinya hak properti,” kata Kagai. “Namun ketika pengetahuan tradisional digabung dengan pengetahuan ilmiah, bisa lahir ide bagus untuk inovasi yang memudahkan perempuan.”
Kemitraan antara ilmuwan dan komunitas lokal menjadi prinsip fundamental kerja CIFOR-ICRAF, khususnya dengan perempuan, kata Elisabeth Garner, Pimpinan dan Ilmuwan organisasi Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI).
“Dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian, masyarakat lah yang memimpin dalam mengekspresikan apa yang ingin dicapai,” kata Garner. “Ilmuwan ada untuk kerja bersama, mengembangkan pengetahuan dan kekuatan masyarakat untuk membantu mereka mencapai tujuan.” Dalam beberapa dekade ini, ilmuwan CIFOR-ICRAF telah bekerja secara kolaboratif dengan masyarakat dan terus mengadaptasi pendekatannya pada situasi baru, tambahnya.
Idealnya, ilmuwan menjadi ‘ko-kreator’ bersama masyarakat, kata Lisa Fuchs, Ilmuwan Sistem Sosial dan Pelibatan CIFOR-ICRAF dan Ketua Tim Pengembangan Aset Berbasis Kebutuhan Masyarakat (ABCD).
“Masyarakat melakukan apa yang mereka pedulikan dan percayai, jadi penting untuk memahami apa yang memotivasi, apa yang mereka peduli dan apa yang ingin mereka atasi,” kata Fuchs, yang bekerja dengan Kagai dan CSHEP di Kenya, sebagai bagian dari Initiatif Agroekologi CGIAR. Implikasinya adalah bekerja secara erat dengan masyarakat lokal, tambahnya, karena “Kita tidak bisa menilai orang dari jauh. Apa yang bisa dilakukan, sebagai peneliti, adalah membuat kontribusi bermakna bagi hidup orang lain.”
“Tak seorang pun ingin diidentifikasi dari kebutuhannya,” katanya, ia mulai membantu masyarakat mengidentifikasi kelebihan bukan kekurangan. “Ini membantu membangun rasa bahwa mereka dapat mempengaruhi hidup secara positif, hingga mengarah pada perubahan pola pikir yang memotivasi mereka bergerak ke depan.”
Small acacia plants ready to be planted in Yangambi – DRC. Photo by Axel Fassio/CIFOR
Photo by PIM/FTA
Farmer Esther Ruto and friend picking coffee from her farm. Photo by World Agroforestry Centre/ Joseph Gachoka.
Ketika pengetahuan tradisional digabung dengan pengetahuan ilmiah, bisa lahir ide bagus untuk inovasi yang memudahkan perempuan. – Esther Kiruthi Kagai, Pendiri Komunitas Pertanian Berkelanjutan dan Program Lingkungan Sehat
“Jika benar-benar ingin menolong masyarakat menyelesaikan masalah, kita harus mulai dengan apa yang mereka nyatakan soal masalahnya,” kata Anne Larson, Ketua Tim tata kelola, kesetaraan dan kesejahteraan. “Sebagai ilmuwan, bisa saja kita datang dengan teknologi dan benih, tapi kita perlu benar-benar mendengar masyarakat.”
Hal ini berarti memberi waktu untuk membangun relasi, mengenali komunitas dan anggotanya serta membangun kepercayaan. “Sebelum kita mendapat kepercayaan,” ujarnya, “Keterlibatan kita dengan masyarakat hanya akan jadi superfisial.”
Memberikan waktu di masyarakat, mendengar mereka, khususnya perempuan, juga membantu peneliti memahami dinamika kuasa dalam masyarakat, serta antara masyarakat dan pejabat pemerintah atau otoritas lain. “Seringkali masalah tidak berasal dari masyarakat,” kata Larson. “Bisa dipicu dari tempat lain. Jadi untuk mengatasinya, kita perlu bekerja di berbagai tingkat.”
Bekerja dengan perempuan dalam meningkatkan manajemen lahan atau hutan bisa membentur tembok, misalnya, jika perempuan tidak memiliki hak atas lahannya, kata Larson, yang fokus kerjanya pada manajemen hutan dan bentang alam serta hak properti, khususnya untuk perempuan dan masyarakat adat.
Mendengarkan perempuan di negara seperti Nikaragua, Peru, dan Ethiopia mengajarkan Larson bahwa perempuan menghadapi hambatan dan peluang.
“Mereka punya satu lapis tantangan dan peluang di rumah, dengan pasangannya,” kata Larson. “Ada selapis lagi di tingkat desa – apakah mereka punya suara atau memilih dalam keputusan masyarakat?”
Pemerintah lokal dan nasional juga memberi dampak pada kehidupan dan hak perempuan, “dan di setiap langkahnya, perempuan menghadapi hambatan yang tidak dihadapi laki-laki dengan kelebihan kekuatannya,” katanya. “Bagian kerja paling menarik adalah memikirkan bagaimana interaksi antar-tingkat itu.”
Larson telah meneliti interaksi tersebut dalam sejumlah program reduksi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Ia juga telah meneliti proses diskusi dan pengambilan keputusan masyarakat lokal, pejabat pemerintah dan lainnya dalam hal manajemen lahan dan hutan dalam bentang alam tertentu.
Sebuah penelitian forum multi-pihak di Brasil, Peru, Ethiopia dan Indonesia menemukan bahwa upaya ini harus bergerak lebih dari sekadar menghadirkan orang dalam satu meja, tetapi jika ingin efektif, harus mengatasi ketidaksetaraan kuasa.
Bahkan jika perempuan memiliki peran pengambilan keputusan di rumah atau desa, “makin tinggi posisi dalam struktur kuasa politik, di sebagian besar tempat kita meneliti, sedikit dan makin sedikit perempuan yang ada,” kata Mitra Senior CIFOR-ICRAF, Carol Colfer.
Ia dan mitranya mengembangkan metode Manajemen Adaptif Kolaboratif. Metode ini terbukti efektif khususnya untuk melibatkan perempuan sebagai anggota masyarakat dalam seluruh tahap pengambilan keputusan soal manajemen hutan.
“Dalam proses ini, pertama orang berbicara tujuan jangka panjang,” jelasnya. “Mereka mengutarakan hal-hal yang disepakati untuk masyarakat, lantas membahas langkah yang diperlukan. Mereka merencanakan, melakukan dan memantau apa yang terjadi. Jika masalah muncul, kita bisa mengubah jalur dan menemukan jalan baru ke depan. Dalam proses ini kita belajar banyak mengenai situasi lokal – dan begitu pula penduduk desa.”
Proses ini juga membangun kepercayaan diri, “Saat kepercayaan diri meningkat, mereka berani mencoba hal baru dan itu akan benar-benar kuat.”
Di kawasan desa ia dan mitranya bekerja, “kami menemukan ketika perempuan lebih berkehendak untuk mengekspresikan diri, lebih mampu menganalisis situasi dan dinamika kuasa di wilayahnya, maka resolusi konflik akan lebih baik,” kata Colfer. “Hal-hal itu kemudian terjaga – kita tidak kehilangan kemampuan yang kita dapat.”
Alto Mayo Protected Forest MSF. Photo by Marlon del Aguila/CIFOR
Alto Mayo Protected Forest MSF (Shampiyacu Community)- Monitoring tool development. Photo by Juan Pablo Sarmiento/CIFOR
Ibu Rosalina Impung in Kapuas Hulu, Kalimantan, Indonesia. Photo by Icaro Cooke Vieira/CIFOR
Salah satu pelajaran yang diperoleh, kata Tamara Lasheras de la Riva, Mitra Senior Penelitian Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial berbasis di Peru, bahwa gender dan inklusi sosial tidak boleh dipandang sebagai topik tersendiri atau “boks untuk dicentang.” Sebagaimana gender meresap di seluruh relasi manusia, gender harus mentransformasi cara peneliti mendekati pekerjaannya.
“Ini berimplikasi pada perubahan paradigma penelitian, dekolonisasi penelitian, perempuan tidak sekadar dipandang sebagai sumber informasi, tetapi pemangku kepentingan dan partisipan,” kata Lasheras de la Riva.
Dalam penelitian mengenai isu gender, “perempuanlah yang merefleksi, peneliti mendengar, menganalisis dan membuka ruang untuk saling belajar.”
Ia telah melakukan hal itu bersama perempuan adat di Peru melalui permainan peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, jam demi jam, sepanjang hari dan kemudian mendiskusikan daftar aktivitas. Berlangsung interaktif dan gembira, permainan peran membawa perempuan pada kesadaran lebih dalam mengenai ketidaksetaraan dan gagasan untuk mengatasinya.
Silas Matoke dan istrinya Yordana Yawate, berpose untuk foto saat memanen sago yang disebut ‘pangkur’ di cekungan Sungai Tuba di Maluku, Indonesia. Foto oleh Ulet Ifansasti/CIFOR
Bekerja dalam isu gender juga harus melibatkan laki-laki, lanjutnya, karena gender bukan ‘isu perempuan’ – tetapi bagaimana mentranformasi relasi kuasa di rumah tangga, komunitas dan sistem politik.
Meskipun begitu, di Kenya, Kagai menemukan bahwa bekerja dengan perempuan, khususnya, memberi efek berantai. “Di masyarakat Ndeiya, perempuan lah yang bekerja di ladang. Ia mengangkut benih. Mewariskan pengetahuan pada generasi berikutnya,” kata Kagai. “Kami melatih perempuan, kemudian mereka melatih yang lain yang tidak bisa menghadiri lokakarya. Efek berantai ini memberi banyak perubahan di masyarakat.”
Informasi lebih mengenai penelitian CIFOR-ICRAF mengenai kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI), silakan menghubungi Elisabeth Leigh Perkins Garner (e.garner@cifor-icraf.org) ata Anne Larson (a.larson@cifor-icraf.org).
Penyusun naskah: Barbara Fraser | Produksi video: Aris Sanjaya | Desainer web: Gusdiyanto | Koordinasi publikasi: Erin O’Connell
Copyright policy: We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.