Mengumpulkan beragam orang — dengan berbagai kepentingan — dalam mendiskusikan cara terbaik mengelola bentang alam makin menarik sebagai cara utama untuk memastikan suara didengar dan masalah ditangani secara adil.
Tapi, seberapa adil dan efektifkah forum multipihak ini?
Hal inilah yang ingin ditemukan oleh kelompok peneliti yang dipimpin ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF). Temuan dari program yang mereka pimpin di Brasil, Ethiopia, Indonesia dan Peru sejak 2018 hingga 2020 baru-baru ini diterbitkan dalam rangkaian tujuh artikel jurnal dalam International Forestry Review.
“Kami ingin menentukan apakah forum multipihak benar-benar dirancang — atau dimaksudkan — untuk mendorong kesetaraan, atau hanya sekadar mencentang kotak ‘partisipasi’ tanpa benar-benar mengatasi kesenjangan kuasa dan suara bagi orang yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan,” kata Anne Larson, yang memimpin tim. “Mengingat banyak pengalaman masa lalu soal ini, apakah sekarang orang melakukan hal-hal yang lebih baik? Adakah yang berubah?”.
Forum yang diteliti merupakan forum yang dirancang sebagai “ruang undangan” bagi beragam orang dan kepentingan berbeda ke dalam satu meja, meski menurut satu makalah penelitian, forum sering gagal mendapatkan cara terbaik mengatasi ketidaksetaraan yang dihadapi. Selain juga sering kurang berperan dalam pembangunan lokal yang tidak berkelanjutan dan prioritas politik.
Terlepas dari masalah ini, partisipan biasanya menganggap forum bermanfaat. Kumpulan studi dalam International Forestry Review ini menawarkan ragam wawasan yang dipengaruhi sejarah dan konteks, dan bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil multipihak.
Di Ethiopia, para peneliti menelaah dari dua studi kasus, hambatan ketidaksetaraan gender dalam efektivitas hasil dan akibat kuota yang tidak seimbang. Kasus-kasus tersebut menunjukkan pentingnya strategi bawah-ke-atas dan dari atas-ke-bawah, dengan kehati-hatian keterlibatan pemerintah sebagai hal penting untuk memastikan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat.
Sebuah survey terhadap tiga forum multi-pihak di Indonesia menemukan, hubungan historis antar partisipan sangat mempengaruhi kebutuhan kepemimpinan. Meskipun konflik kepentingan para pihak dapat menghambat terbangunnya kepercayaan, strategi kepemimpinan berdasarkan pemahaman dan dibangun dari hubungan masa lalu dapat membantu meningkatkan kolaborasi.
Di Peru, sebuah studi menelaah forum multipihak – meja bundar — yang dirancang untuk mengatasi lamanya penundaan penetapan kontribusi lima cagar alam yang berkontribusi pada “Perlindungan Masyarakat Adat Terisolasi dan Kontak Awal.” Penelitian mendapati pelajaran penting bagi forum multi-pihak yang ingin secara bertanggung jawab terlibat dengan hak-hak penduduk rentan, mengakui bahwa hak tidak dapat dinegosiasikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa forum harus dirancang agar partisipan berkolaborasi untuk mengidentifikasi tantangan atas hak di berbagai level, pemangku kepentingan dan wacana, serta belajar dari berbagai tantangan tersebut dalam merancang solusi dan rekomendasi untuk mengatasinya.
Makalah lain mengeksplorasi Kawasan Lindung Komunal Amarakeri Peru, kawasan lindung di Amazon yang dimenangkan oleh forum multipihak dalam struktur pengelolaannya, merepresentasikan hak yang didapat masyarakat asli. Namun, forum yang saat ini terdiri dari masyarakat adat, negara, dan aliansi LSM, mengecualikan migran Andes. Hal ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran tentang peran forum multipihak dalam kaitannya dengan kawasan lindung, tetapi juga menunjukkan tantangan seputar akses untuk partisipasi.
Di negara bagian Pará, timur Amazon Brasil, forum multipihak – yang dirancang untuk memerangi deforestasi – ternyata tidak mencapai tujuannya. Para peneliti mendapati forum tersebut lebih cenderung pada partisipan yang lebih berkuasa, sehingga ketidakadilan sosial yang mendorong deforestasi diabaikan. Alih-alih memprioritaskan pemicu deforestasi, para peserta berfokus pada dampak, sehingga institusi sosio-politik yang mendorong deforestasi dan ketidakadilan sosial tidak teratasi.
Penelitian mengenai perencanaan wilayah di negara bagian Acre dan Mato Grosso di Brasil menelaah proses zonasi ekologis yang menunjukkan bagaimana jejaring, relasi, serta konteks historis dan sosial dapat mempegaruhi forum multipihak. Hal ini menunjukkan bahwa forum multipihak dan perencanaan tata guna lahan harus diakui dalam teori dan praktik sebagai proses politik yang perlu menegosiasikan konteks, relasi kuasa, dan keragaman masyarakat, lebih dari sekadar perangkat teknis untuk implementasi.
“Kami menyadari bahwa forum multipihak akan tetap ada dan akan terus dipromosikan dalam tingkat berbeda,” kata Juan Pablo Sarmiento Barletti, yang mengkoordinasikan studi global tersebut. “Kumpulan artikel ini menjadi bukti, agar makin mendekati perubahan trasformasional, kita membutuhkan forum yang lebih dari sekadar membawa orang ke meja.”
Merespon tantangan ini, ketujuh artikel tersebut memberikan pelajaran penting bagi forum untuk lebih adil dan efektif. Dalam mendukung pembelajaran ini, tim peneliti dan mitra lokal menyusun sebuah perangkat untuk mendukung manajemen bentang alam multipihak.
Penelitian dalam program ini merupakan bagian dari Program Penelitian Kebijakan, Kelembagaan, dan Pasar (PIM) CGIAR yang dipimpin oleh Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI), serta Hutan, Pohon, dan Agfroforestri (FTA) yang dipimpin oleh CIFOR. Keduanya didukung oleh Dana Donor CGIAR. Penelitian dilangsungkan sebagai bagian dari studi komparatif MSF subnasional di Brasil, Ethiopia, Indonesia dan Peru, serta bagian dari Studi Komparatif Global tentang REDD+ CIFOR.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org