Bagikan
0

Bacaan terkait

Dalam sepekan terakhir, foto api yang mencabik hutan dan asap yang mengepung kota mendominasi berita dan menarik kesadaran publik. Ketika kebakaran tidak hanya terjadi di Brasil, tetapi juga di Asia, Artik, Afrika dan Eropa, sepertinya tidak ada wilayah di dunia yang terbebas dari jilatan api.

Dari perspektif mitigasi perubahan iklim dan konservasi, kebakaran hutan di Indonesia dan Basin Amazon tahun ini khususnya, yang terjadi di daerah yang juga merupakan kawasan serapan karbon dan keragaman hayati penting, jadi sangat mengkhawatirkan. Namun, sebagian pendapat berargumen bahwa kebakaran ini bersifat musiman dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Apa kata ilmu pengetahuan?

Jelas sekali bahwa kebakaran tidak muncul tanpa preseden. Para petani telah melakukan pembakaran dalam membersihkan lahan untuk pertanian di kedua wilayah ini selama berabad, jika tidak beribu tahun. “Tiap tahun, Basin Amazon terbakar,” kata Manuel Guariguata, ilmuwan utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). “Setiap musim kering – masyarakat membakar robohan kayu tebangan hutan untuk lahan pertanian.”

   Ladang terbakar di dekat Yangambi, Republik Kongo pada tahun 2018. Axel Fasio/CIFOR

Di seluruh dunia, para pengelola lahan – mulai dari petani kecil, menengah hingga perusahaan besar – juga menggunakan pembakaran sebagai metode pembersihan lahan. Pembakaran bisa meningkatkan kesuburan tanah, menurunkan salinitas, mencegah hama, dan meningkatkan nilai lahan di pasar lahan lokal karena telah siap tanam.

Meski demikian, alasan utama popularitas api adalah biaya yang relatif efektif dibanding cara lain penyiapan lahan. Menurut ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo, dalam konteks Indonesia, pembakaran hanya menelan biaya sekitar 20 dolar AS per hektare, sementara metode lain menelan biaya sekitar 400 dolar AS per hektare. Apalagi dalam konteks ketidakpastian tenurial, “investasi untuk persiapan lahan berisiko tinggi,” kata Purnomo, pengelolaan lahan yang cepat dan murah jadi alasan finansial. “Ringkasnya,” katanya, “ada alasan ekonomi yang kuat untuk melakukan pembakaran.”

Metode ini, kata Guariguata, sejatinya tidak selalu bermasalah. “Selama pembakaran dalam kondisi terkontrol dan api terus diperiksa, tidak apa-apa.” Namun ketika tidak dijaga secara hati-hati dan dalam kondisi kering, api sering kali menjalar dan menyulut hutan sekitar.

Waktu yang akan menjawab apakah kebakaran tahun ini akan memecahkan rekor. Pada 24 Agustus, data Badan Antariksa Brasil (INPE) mencatatkan 41.858 titik api di Basin Amazon wilayah Brasil pada 2019. Badan Antariksa AS NASA melaporkan tahun ini menjadi tahun kebakaran paling aktif di wilayah ini sejak 2010. Sebelumnya, jumlah titik api secara reguler melampaui 60.000 pada periode serupa, dan mencapai rekor sebanyak 94.780 paa Agustus 2005.

Di Indonesia, menurut angka dari pemerintah, area terbakar hingga akhir Juli (138.000 hektare) masih lebih rendah dibanding luas total tahun lalu (sekitar 511.000 hektare) dan jauh lebih rendah dibanding luas total 2015 (2,6 juta hektare). Meski masih ada kebakaran di Sumatera, Kalimantan dan bagian lain Indonesia, “Saya yakin jumlah kebakaran tahun ini tidak akan melampaui angka tahun lalu,” kata Purnomo.

Seberapa berbahaya angka itu?

Menempatkan angka-angka tersebut dalam konteksnya, kata Guariguata, kebakaran Amazon 2005 relatif lebih buruk, meskipun saat itu musimnya sangat kering. Tahun ini, “jadi mengkhawatirkan karena bukan tahun kering,” kata Louis Verchot, direktur Pusat Penelitian Pertanian Internasional (CIAT). “INPE menunjukkan bahwa curah hujan hanya sedikit di bawah rata-rata.”

Hal tersebut memicu dugaan tren mengkhawatirkan terjadinya deforestasi di wilayah tersebut. Sejak akhir 2000-an hingga akhir tahun lalu, laju deforestasi Brasil terendah selama beberapa dekade. Hal ini berkat dukungan kebijakan dan makin sempurnyanya pemantauan dan penegakkan hukum.

Ketika Jair Bolsonaro menjadi Presiden Brasil, Januari tahun ini, ia merombak kementerian lingkungan hidup, melemahkan regulasi lingkungan hidup dan memberi “keleluasaan pada bisnis pertanian”. Hal ini, menurut Guariguata, memicu konsekuensi negatif bagi hutan atas nama perluasan perkebunan tanaman komersial dan peternakan.

Pada akhir Juli, laju deforestasi tercatat 57 persen lebih besar dari tahun lalu. Sejak saat itu, gambaran yang ada makin tidak jelas karena INPE berhenti mengeluarkan data kepada masyarakat setelah Bolsonaro memecat pimpinan INPE.

Akan tetapi, sebagian narasi yang terbangun di seputar kebakaran Brasil, digambarkan sebagai salah langkah sejak sebelum Bolsonaro menjadi presiden. Mantan presiden Michel Temer melakukan pemangkasan anggaran besar-besaran sejak 2017. Ia menurunkan dana ilmu pengetahuan federal serta dana untuk badan perlindungan lingkungan federal IBAMA. Anggaran yang terpangkas pada kedua lembaga itu, masing-masing 44 dan 43 persen.

“Lokasi kebakaran hutan tertinggi saat ini, merupakan negara bagian yang memiliki pemangku kepentingan terbesar dalam ekspansi agribisnis,” kata Guariguata. “Jadi sangat mungkin bahwa apa yang terjadi di Brasil saat ini terkait dengan deforestasi aktual.”

   Api terlihat ketika lahan gambut terbakar di Tumbang Nusa, di luar Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Aulia Erlangga/CIFOR

Di Indonesia, pemerintah pusat mengambil langkah mitigasi sejak 2015, seperti restorasi dan melindungi hutan gambut, yang rentan terhadap kebakaran dan melepas sejumlah besar karbon jika tersulut; memperluas moratorium deforestasi, menetapkan badan pemerintah khusus untuk lahan gambut; memberi insentif ekonomi untuk tidak membakar; mendukung komunitas pemadam kebakaran dan kapabilitas pemantauan; meningkatkan penegakkan hukum; membangun infrastruktur hidrologis dan mendorong kapasitas respon dini.

Namun, menurut Purnomo, tidak lantas selalu ada tindak lanjutnya di daerah. Dalam sebuah makalah penelitian yang akan dipublikasikan di International Forestry Review, Purnomo dan rekan-rekannya menemukan bahwa kebakaran cenderung meningkat setahun sebelum pemilihan lokal. “Berdekatan dengan tahun pemilihan, penegakan hukum atas pembakaran lahan lebih lemah,” katanya. “Deforestasi, perebutan dan pembakaran lahan terjadi jauh sebelum dan selama tahun pemilihan.”

Kebakaran tahun ini juga menunjukkan beberapa infrastruktur mitigasi dan pencegahan tidak bekerja sebagaimana mestinya, akibat kurang atau tidak terurus. Meski pemerintah mengerahkan tentara dan polisi untuk membantu meredam kebakaran di kawasan terdampak (dan menangkap mereka yang bertanggung jawab menyulut api secara ilegal), “secara umum kapasitas para aktor tersebut, dalam hal sumber daya manusia, pengetahuan dan anggaran, masih kurang untuk mencegah, mengidentifikasi dan melawan kebakaran,” kata Purnomo.

Apa yang bisa membantu memitigasi pembakaran tak terkendali di masa depan?

“Apa yang saya ingin lihat adalah komitmen terhadap tata kelola yang baik di wilayah Amazon,” kata Verchot. “Keberhasilan sebelumnya dalam menurunkan laju deforestasi memberi bukti besar bahwa jika sumber daya dialokasikan dengan tepat, deforestasi dan kebakaran bisa dikurangi.”

“Saya mengerti, ada timbal balik saat sumber daya negara harus dialokasikan,” tambahnya. “Namun, aktivitas ilegal menyebabkan kehilangan pemasukan bagi negara, jadi seharusnya ada jalan membangun keseimbangan dari apa yang kita saksikan hari ini.”

Dalam kasus Indonesia, Purnomo menyatakan, instruksi presiden terakhir untuk moratorium permanen izin kelapa sawit, kayu pulp atau aktivitas penebangan di hutan primer dan lahan gambut “merupakan langkah besar mengurangi kebakaran di masa depan.”

Ia ingin melihat strategi pemerintah dalam Rencana Induk Pencegahan Kebakaran 2017-2019, yang ia turut susun, diimplementasikan dan dievaluasi sepenuhnya. “Saat ini, baru sebagian yang diimplementasikan; Saya ingin melihat ada aliran uang yang cukup untuk mengurangi kebakaran hingga separuh dari kondisi biasa. Biaya tersebut tidak perlu hanya dari pemerintah, tetapi juga dari sektor swasta, masyarakat dan donor.”

   Pandangan udara dari Amazon Brazil di negara bagian Amazonas, diambil pada tahun 2011. Amazonas adalah salah satu negara yang paling banyak terkena dampak kebakaran tahun ini. Neil Palmer/CIAT

Meski bantuan asing dapat dan seharusnya pula berperan, kontribusi pada kebakaran Brasil, khususnya dari negara yang ekonomi paling maju pada pertemuan G7, “sedikit terlambat,” kata Direktur Jenderal CIFOR, Robert Nasi, terlepas apakah Bolsonaro mau menerima atau tidak bantuan tersebut.

“Pencegahan dan manajemen kebakaran aktif yang lebih kuat harus dikedepankan,” kata Nasi.

Nasi berulang kali menyatakan bahwa media harus memberi perhatian lebih pada kejadian kebakaran di luar Brasil, untuk membangun lapangan permainan kesadaran yang rata dengan wilayah atau ekosistem lain.

Meskipun hal ini merupakan tindakan penyeimbang, karena urgensi Amazon juga tidak bisa dikecilkan. “Semua orang bilang ini ‘paru-paru dunia,’ malah lebih dari itu,” kata Guariguata. “Peran Basin Amazon dalam memompa dan mengirim air ke tempat yang jauh sudah terbukti.”

“Juga ada masyarakat bergantung hutan yang hidup di sana, dan ia merupakan harta karun keragaman hayati. Ada nilai sosial. Ada nilai keragaman hayati, yang penting bagi pertanian. Apa yang terjadi di Amazon dapat dirasakan dari ribuan kilometer jauhnya.”

Artikel asli dengan judul ‘What should we make of the fires in the Amazon and Indonesia?’ tersedia di Landscape News.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org