
KABAR HUTAN
Karangan Khas / 8 Mar 2019
Perempuan adat belum masuk peta kesetaraan jender
Bagaimana sebaiknya menempatkan kesetaraan hak masuk dalam peta
Kehidupan perempuan sehari-hari di komunitas adat La Roya, Peru. JuaCarlos Huayllapuma/CIFOR
Setiap peta memiliki kisahnya sendiri – cerita mengenai hubungan kita dengan lahan.
Tahun 2015, tim peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Universidad Nacional Agraria La Molina bertanya pada penduduk asli di wilayah Sungai Napo di Peru saat menyusun peta lahan masyarakat dan bagaimana pemanfaatannya. Mereka menggelar sekali loka karya dengan para lelaki, dan sekali dengan perempuan secara terpisah – dan ternyata hasil peta tidak sama.
Kedua kelompok itu menandai desa, hutan sekunder sekitar, dan tanaman di peta yang sama.
Hasil peta kelompok perempuan lebih rinci dan memiliki informasi tepat mengenai lokasi hasil hutan bukan kayu – tiga jenis pohon sawit yang menjadi sumber para perempuan memetik buah untuk pasar lokal, dan jaringan jalan setapak menuju ke dalam hutan.
“Dari hasil peta kelompok lelaki, kita bisa mengatakan bahwa mereka bukan yang memetik buah-buahan, perempuanlah yang melakukannya,” kata Iliana Monterroso, peneliti CIFOR yang menjadi koordinator lapangan. “Perempuan memiliki perbedaan pengetahuan di banding lelaki, bukan lebih baik, hanya saja berbeda.”
Saat ini, Peru tengah melakukan pengalokasian lahan untuk masyarakat asli – proses pengakuan dan formalisasi lahan tradisional menjadi tenurial lahan yang legal. Dari proses inilah muncul urgensi keberadaan peta. Mengingat proses ini membutuhkan demarkasi batas lahan, masyarakat dan pemerintah memetakan wilayah mereka.