Analisis

Aksi iklim global takkan berarti tanpa dukungan daerah

Partisipasi subnasional dalam pengambilan keputusan memang tidak mudah, namun akan memberikan hasil yang lebih adil bagi masyarakat.
Bagikan
0
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus mempertimbangkan seluruh level, dari global hingga tingkat lokal. Ulet Ifansasti/CIFOR

Bacaan terkait

Perundingan iklim global yang tengah berlangsung di panggung internasional, makin diperkuat oleh kebijakan nasional. Namun, mencegah emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan perubahan pemanfaatan lain memerlukan upaya di tingkat lokal.

Salah satu ilmuwan CIFOR yang mempresentasikan hasil penelitian mengenai tata kelola multitingkat pada Global Landscapes Forum di Bonn, Jerman menyatakan pentingnya memahami aktor yang terlibat di setiap tingkat dan sektor. Interaksi di antara mereka juga perlu dipahami agar upaya ini berjalan efektif.

“Pemanfaatan lahan dan perubahan pemanfaatan lahan terjadi dalam ruang geografis yang dipengaruhi oleh beragam tingkat pengambilan keputusan,” ujar ilmuwan senior Anne Larson, ketua Tim Kesetaraan Kesempatan, Gender, Keadilan dan Tenurial CIFOR. “Kita tidak bisa membicarakan perubahan pemanfaatan lahan atau adaptasi dan mitigasi perubahan iklim jika tidak mempertimbangkan seluruh level, dari global hingga tingkat lokal.”

Dengan begitu pemerintah lokal dan regional, serta masyarakat berperan penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (melalui inisiatif REDD+ atau upaya lainnya).

“Banyak perbincangan dalam perundingan iklim mengenai pentingnya perencanaan dari bawah, dan hal ini harus dilakukan di tingkat daerah,” kata Larson. “Kita tidak bisa berharap keputusan global berdampak jika pemerintah daerah tidak mampu mengimplementasikan dan mengelola perencanaan di wilayahnya.”

Hal ini memerlukan koordinasi berbagai kelompok dengan beragam kepentingan. Bergantung pada lokasinya, kerja sama dapat melibatkan badan pemerintah (dengan beragam prioritas sektoral), perusahaan swasta, komunitas lokal dan lembaga swadaya masyarakat.

Namun, menurut peneliti yang melakukan studi komparatif global mengenai REDD+, koordinasi di tingkat subnasional ternyata lebih mudah didiskusikan daripada diimplementasikan.

“Lembaga yang mendanai inisiatif iklim cenderung berpikir bahwa koordinasi beragam pemangku kepentingan ini seperti permainan menyusun gambar, padahal lebih mirip poker.”

Anne Larson

Risiko dan Peluang

Salah satu kendala muncul pada pemerintah yang bersifat desentralisasi sebagian, di mana pemerintah daerah memiliki “otoritas” namun tidak dibekali sumber daya untuk melaksanakan mandatnya. Pada beberapa kasus, pemerintah pusat enggan memberikan kendali pada pemerintah lokal atau regional, bahkan saat pembagian kekuasaan sudah ditetapkan undang-undang.

Di Meksiko, pemerintah federal memiliki kekuasaan besar dalam mengambil keputusan atas hutan — yang harus dipertimbangkan saat melakukan implementasi program di tingkat lokal.

Risiko lain adalah kemungkinan bahwa pemerintah lokal dan regional akan lebih mendukung kepentingan perusahaan swasta besar dibandingkan masyarakat lokal yang penghidupannya bergantung pada hutan. Namun, pemerintah lokal juga dapat lebih responsif dan melindungi kepentingan warganya.

Apabila terdapat friksi antar pemangku kepentingan, perencanaan dengan model top-down yang berfokus pada solusi teknis dan hasil memang tampak lebih mudah dilakukan. Namun, masyarakat Kalimantan Tengah yang menjadi salah satu provinsi percontohan REDD+ menyatakan metode ini membuat mereka merasa tidak menjadi partisipan aktif, melainkan menjadi bahan studi saja.

Selain itu, penelitian di Vietnam menunjukkan proses yang menjamin keterlibatan masyarakat lokal dan melindungi hak masyarakat hutan memang berlangsung lebih lama dan rumit dibandingkan dengan pendekatan yang melihat masyarakat lokal sekadar sebagai “penerima keuntungan”. Namun pendekatan ini membuahkan hasil yang lebih adil untuk masyarakat.

Di banyak tempat, masyarakat lokal – khususnya perempuan, pemuda dan masyarakat adat – masih terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Para peneliti menyatakan, memberi mereka tempat utama dalam pengambilan keputusan akan membangun kemampuan negosiasi dan dapat menciptakan ruang baru untuk mendiskusikan masalah lokal.

Transparansi and akuntabilitas merupakan kunci, dalam pengambilan keputusan di tingkat sub-nasional. Hal ini membutuhkan pemantauan, “namun pemantuan yang dilakukan bergantung dengan tujuan Anda,” kata Larson.

Perangkat Berbeda untuk Kebutuhan Berbeda

Mitra post-doktor pada studi komparatif global REDD+ di CIFOR, Juan Pablo Sarmiento mengatakan pelibatan pemangku kepentingan lokal dalam mengembangkan proses pemantauan akan membuka peluang partisipasi aktor dari berbagai sektor dalam mendiskusikan prioritas lokal.

Ia dan peneliti lain menelaah tata kelola bentang alam subnasional yang menerapkan tiga jenis perangkat pemantauan berbeda di Peru, Meksiko dan Nikaragua.

Perangkat Penilaian Bentang Alam Berkelanjutan (Sustainable Landscape Rating Tool/SLRT) menggunakan indikator evaluasi kondisi berbasis-bukti untuk mendorong keberlanjutan, termasuk perencanaan dan manajemen pemanfaatan lahan, tenurial lahan dan sumber daya, keragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya, koordinasi dan partisipasi pemangku kepentingan, serta sistem produksi masyarakat.

SLRT dikembangkan oleh Climate, Community & Biodiversity Alliance dan digunakan dalam wilayah yurisdiksi anggota Governors’ Climate and Forests Task Force. Alat ini didesain untuk menganalisis kondisi pendorong yang diperlukan untuk  memperkuat kebijakan tata kelola berkelanjutan. Keberhasilannya bergantung pada ketersediaan informasi yang diperlukan tiap indikator, sehingga kekurangan data dapat menjadi kendala dalam melakukan pemantauan.

Proses Pemantauan Tata Kelola Multi-tingkat  (Governance Monitoring Process/MLGMP) dikembangkan dari proses pengembangan skenario yang menganalisis emisi karbon di delapan bentang alam di empat negara. Prototipenya didesain di wilayah Madre de Dios, Amazon, Peru, di mana perencanaan dan tata kelola pemanfaatan lahan berlangsung cukup rumit karena konflik sosial akibat tumpang tindih klaim lahan oleh penebang, penambang, petani, operator wisata dan lainnya.

Dalam prosesnya, metode ini mempertemukan masyarakat untuk mengembangkan visi bersama dan langkah untuk mencapainya. Perwakilan tujuh badan pemerintah di Madre de Dios berpartisipasi dalam lokakarya  untuk mengidentifikasi potensi indikator dan strategi pemantauan. Namun, proses ini terhambat oleh kurangnya komitmen dari pejabat kunci pemerintahan regional.

Proses serupa di Meksiko melibatkan badan pemerintah pusat dan daerah, kelompok masyarakat sipil, donor, perwakilan masyarakat, dan peneliti. Pada lokakarya di Yucatán dan Chiapas, para peserta mengidentifikasi dan menyusun prioritas tantangan tata kelola yang baik, menetapkan tujuan dan menyepakati indikator untuk mengukur kemajuan.

Perangkat ini dapat diadaptasi untuk kebutuhan dan prioritas lokal, namun peserta menyatakan, lokakarya sehari tidak cukup untuk membuat perencanaan yang rinci. Termasuk cara melakukan pemantauan dan siapa yang melaksanakannya. Menurut para peneliti, lokakarya juga mengungkap perbedaan tingkat partisipasi perempuan, yang seharusnya diatasi dalam pemantauan.

Perangkat ketiga, Proses Pemantauan Tata Kelola Partisipatoris (Participatory Governance Monitoring Process/PGMP), didesain untuk lebih melibatkan masyarakat lokal dalam tata kelola hutan dan memperkuat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan komunitasnya. Perangkat ini dikembangkan sebagai bagian dari proyek penelitian masyarakat dan wilayah adat di Wilayah Otonomi Pesisir Karibia Utara di Nikaragua.

Secara bersama, para peserta menentukan arti “tata kelola yang baik” – termasuk karakteristik seperti penguatan masyarakat, pemimpin yang baik, memperkuat partisipasi perempuan dan tata kelola hutan yang baik – dan disepakati melalui pertanyaan ya-atau-tidak dalam menentukan apakah persyaratannya telah dipenuhi. Berbagai pertanyaan tersebut menjadi indikator, meski untuk menghindari jargon teknis, kata “indikator” tidak digunakan.

Hasilnya, menurut Sarmiento, adalah perangkat yang mampu membangun partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pemantauan, selain juga dapat digunakan untuk menentukan derajat partisipasi lokal, khususnya perempuan.

Ketiga perangkat ini, lanjut Sarmiento dan Larson, memiliki kegunaan berbeda. Dengan begitu pemanfaatan terbaiknya bergantung pada situasi lokal dan tujuan spesifik pemantauan.

Komitmen Global memerlukan Implementasi Lokal

Pada COP 21 di Paris, 2015, berbagai negara berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut, dikenal sebagai Komitmen Kontribusi Nasional (Nationally Determined Commitments/NDCs), yang akan digunakan untuk mengukur langkah mencapai target mereka.

Menurut Sarmiento, pemerintah sub-nasional harus memainkan peran kunci di negara-negara dengan NDC yang mencantumkan reduksi emisi dengan mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan.

Meskipun demikian, menurut penelitian CIFOR, negara dengan komitmen REDD+ tidak selalu mengangkat pentingnya tata kelola sub-nasional dalam NDC-nya. Dari 60 negara yang memiliki program atau strategi REDD+, hanya 39 yang menyebut pemerintah subnasional dalam NDC. Dari jumlah itu, 21 merinci peran spesifiknya, namun hanya tujuh negara yang memberi peran pengambilan keputusan pada pemerintah sub-nasionalnya, menurut studi CIFOR.

“Hal ini bisa menjadi peluang yang hilang,” kata Larson.

“Para negosiator iklim memuji perjanjian Paris sebagai kesepakatan dengan pendekatan ‘bottom-up’, namun apa yang mereka pertimbangkan sebagai bawah, biasanya adalah tingkat nasional,” kata Sarmiento. “Padahal implementasi tidak dapat berjalan tanpa perhatian pemerintah sub-nasional.”

Penelitian yang dilakukan CIFOR mengungkap kendala dalam menyatukan para pemangku kepentingan dari beragam sektor dan tingkat pemerintah. Namun penelitian tersebut juga menunjukkan peluang dari pendekatan partisipatoris yang mendorong masyarakat lokal mengambil keputusan bersama pemerintahan sub-nasional, dengan tujuan menjamin solusi berkeadilan bagi masyarakat hutan.

“Tata kelola selalu dipengaruhi kondisi lokal, ” kata Sarmiento. “Itulah sebabnya pemantauan tata kelola perlu mempertimbangkan praktik masyarakat lokal dan persepsi mereka mengenai tata kelola yang baik.”

 

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Anne Larson di a.larson@cgiar.org atau Pablo Sarmiento Barletti di J.Sarmiento@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad), the International Climate Initiative (IKI) of the German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU), and FTA
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org