Bagikan
0

Bacaan terkait

“Saya bisa menjaga lahan tetap subur dan terus bekerja tanpa bergantung musim, tetapi tetangga yang menggunakan metode pembakaran mengalami kesulitan saat hujan karena lahan mereka menjadi rawa,” kata Akhmad (Taman) Tamanuruddin, saat berpidato pada peluncuran sebuah pusat penelitian lahan gambut baru di Indonesia.

Taman adalah petani di Palangka Raya, ibu kota provinsi Kalimantan Tengah di pulau Kalimantan. Ia menolak praktik lama pembakaran dalam membersihkan sisa-sisa pohon dari lahan gambut subur sebelum bercocok tanam.

Ia menggunakan herbisida dan membiarkan vegetasi lama mati dan membusuk, menjadi pupuk alami.

Praktik pembakaran lahan tengah disorot karena lahan gambut merupakan serapan karbon yang efektif. Lahan gambut terdiri dari lapisan material organik membusuk dan bertumpuk selama ribuan tahun. Saat terbakar, gas rumah kaca terlepas ke atmosfer dan memperparah perubahan iklim. Kebakaran sering terjadi di luar kendali, merusak wilayah luas dan mengeringkan lahan, hingga tidak berguna untuk perkebunan.

Pada 2015, dampak kebakaran meluas. Bank Dunia menyatakan, kebakaran merusak lebih dari 2,6 juta hektare lahan – 4,5 kali luas pulau Bali di Indonesia. Nilai kerugian akibat kerusakan tersebut, menurut Bank Dunia, lebih dari 16 miliar dolar AS.

Sejak itu, Indonesia memperluas larangan pembakaran saat membersihkan hutan lahan gambut untuk menanam kelapa sawit, jagung atau padi dengan membentuk Badan Restorasi Gambut pada 2016.

Peraturan pelarangan pembakaran saat membersihkan lahan ditetapkan pada 2009 dan 2014.

Berbagai penelitian di provinsi Riau oleh Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menunjukkan, lahan yang dipersiapkan dengan membakar vegetasi ternyata lebih produktif. Lahan gambut yang diteliti dibudidayakan untuk kelapa sawit, karet, jagung, padi, dan tanaman pangan lain.

Produksi kelapa sawit di lahan gambut terbakar ditemukan hampir 30 persen lebih tinggi dibanding yang tidak. Budi daya kelapa sawit di lahan terbakar sekitar 13,3 ton per hektare. Di lahan tidak dibakar, panen hanya sekitar 9,4 ton per hektare per tahun. Produksi karet ditemukan menurun pada rata-rata 46 persen jika lahan tidak dibakar. Produksi jagung memiliki disparitas lebih ekstrem.

Pembakaran lebih menyuburkan tanah di lahan gambut. Ia juga menurunkan keasaman, berkontribusi pada produksi lebih tinggi.

Menyadari manfaat tersebut, banyak petani yang terlibat dalam penelitian mengabaikan larangan dan membakar lahan. Dari para peserta penelitian, hanya 49,3 persen menghentikan praktik tersebut, sementara 45,2 persen responden terus membakar, dan 5,5 persen mengaku akan menyerah karena tidak melihat ada alternatif bagi pembakaran.

“Sebagian petani tidak mau menanam jagung tanpa membakar, karena panen akan turun tajam, hanya sepertiga atau seperempat,” kata Murniati, ilmuwan BLI.

“Mereka memang takut menerapkan teknik pembakaran, namun tidak punya cukup uang untuk membiayai teknik non-api,” tambah Murniati, menjelaskan bahwa petani takut hukuman atas pelanggaran aturan pelarangan pembakaran, namun merasa tidak memiliki pilihan kecuali menghadapi risiko tersebut.

MENCARI ALTERNATIF

Mengingat keterlibatannya dalam pertanian berkelanjutan, Taman melatih ratusan petani. Taman menambahkan tanah subur, dolomite dan pupuk pada lahannya, serta menanam beragam tanaman, antara lain jagung, cabai dan sayuran.

Awalnya biaya bertani dengan cara ini tampak lebih mahal, namun dalam jangka panjang malah menghemat uang, kata Taman menjelaskan manfaat lingkungan.

Meski membakar vegetasi resisten lebih murah dan mudah, cara ini menurunkan level nutrisi tanah dan dalam jangka panjang akan merusak lahan gambut.

Sebagai petani, kata Taman, mereka perlu dukungan infrastruktur lebih untuk menurunkan harga.

“Setidaknya, kami memerlukan jalan dan jembatan yang layak di desa, untuk menurunkan biaya distribusi,” tambah Taman. “Ini sangat membantu.”

Saat ini, buruknya infrastruktur mendorong biaya untuk herbisida dan hasil panen. Petani terpaksa menyewa mobil untuk menempuh jarak 250 meter, karena truk tidak bisa masuk jalan kecil.

Mencari opsi penghidupan lain bisa menjadi kunci dalam membantu keseharian masyarakat lokal seraya menjaga lahan gambut. Demikian dikatakan Dede Rohadi dan Herry Purnomo, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang saat ini bekerja sama dengan KLHK dan mitra lain.

Proyek Penghidupan Berkelanjutan Bebas Asap dipimpin oleh CIFOR, MOEF dan Universitas Lancang Kuning di Riau bertujuan mencari alternatif bagi petani di lahan gambut.

“Kami coba memberdayakan masyarakat agar mampu memaksimalkan potensi penghidupan yang ada di desa mereka,” kata Rohadi, pimpinan proyek tersebut.

Beberapa desa sudah melakukan budi daya madu, mengembangkan perikanan dan menanam tanaman pangan seperti cabai dan nenas.

Memperkuat proyek Penghidupan Berkelanjutan Bebas Asap, kini CIFOR mengkoordinasikan proyek Pencegahan Kebakaran dan Restorasi Lahan Gambut  Berbasis Masyarakat dengan Universitas Riau, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor swasta.

Komitmen terbaru dari pemerintah Indonesia, Republik Demokratik Kongo dan Republik Kongo, untuk membentuk International Tropical Peatland Center (ITPC) merupakan langkah menjanjikan bagi upaya perlindungan lahan gambut. Saat ini, ITPC berbasis di CIFOR Bogor, dekat ibu kota Indonesia, Jakarta.

Lembaga ini membuka peluang berharga untuk kerjasama di belahan selatan untuk menjamin agar pengambil kebijakan, praktis dan masyarakat memiliki akses informasi, analisis terpercaya dan perangkat yang diperlukan untuk konservasi dan pengelolaan lahan gambut tropis secara berkelanjutan.

Meski hanya menutupi 3 persen lahan bumi, lahan gambut menyimpan karbon setara dengan seluruh biomassa permukaan an sua kali biomasssa hutan.

Sekitar 15 persen lahan gambut yang telah teridentifikasi mengalami kerusakan atau terdegradasi.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Lahan Gambut

Lebih lanjut Lahan Gambut

Lihat semua