Bambu: sebuah alternatif berkelanjutan untuk produksi bioenergi di Indonesia?
Selama ribuan tahun, masyarakat Indonesia memanfaatkan bambu untuk berbagai keperluan. Bambu digunakan sebagai sumber makanan, serat, kayu bakar hingga bahan bangunan. Keberlimpahan dan ketersediaannya membuatnya dijuluki “kayu orang miskin.”
Kini, para ilmuwan mengeksplorasi potensinya di kemanfaatn penting lain: produksi energi dan restorasi lahan terdegradasi.
Kebutuhan energi di Indonesia meningkat tajam pada beberapa tahun terakhir, akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan perkembangan ekonomi. Pemerintah juga berupaya memenuhi kebutuhan energi dari sumber terbarukan, sejalan dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca di bawah Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim. Sebagai negara yang kaya dengan basis biomasa, bioenergi bisa menjadi jawabannya.
Namun, membudidayakan tanaman untuk bioenergi bukannya tanpa risiko dan timbal balik. Saat ini, biofuel Indonesia terbesar dihasilkan dari kelapa sawit, yang memicu deforestasi, pengeringan lahan gambut dan banyak dampak sosial dan lingkungan yang buruk. Jadi, kata para peneliti dari RMIT University Australia dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), sangat penting untuk mulai mencari spesies lain yang mampu memasok biomassa untuk produksi energi secara berkelanjutan, tanpa mengganggu keamanan pangan atau terlalu mempengaruhi bentang alam lebih luas.
Pada tantangan inilah, menurut peneliti RMIT dan CIFOR, Roshan Sharma dalam artikel penting jurnal Sustainability, bambu hadir. Tanaman tahunan cepat tumbuh ini berkembang baik di lahan terdegradasi dengan kebutuhan air dan pupuk minimal, serta mampu tumbuh berdampingan dengan tanaman lain dalam sistem kehutanan dan wanatani. Kelebihan lain, tidak perlu memotong seluruh tegakkan dan menaman lagi dari awal saat panen. Saat pohon dewasa (setelah sekitar tiga atau empat tahun), tanaman ini dapat diambil setiap tahun secara sistematis, dan akan meningkatkan produktivitas sepanjang waktu.
Budi daya bambu, menurut para penulis, juga bisa menjadi “sekutu tangguh” dalam proses restorasi. Sistem akar yang ekstensif membantu mengendalikan erosi dan menyimpan air. Sementara banyaknya serasah daun berkontribusi penting bagi kesuburan tanah. Dengan kemampuan tumbuh yang cepat, bambu secara cepat menciptakan habitat untuk keragaman hayati, dan menyerap karbon dalam prosesnya. Kelebihan lain, menurut ilmuwan CIFOR dan kontributor artikel, Himlal Baral, adalah keunggulan finansial budi daya bambu untuk bioenergi menjadikan restorasi lebih layak secara ekonomis, dan pada gilirannya menjadi penting untuk diperluas.
ENERGI UNTUK MASYARAKAT
Keunggulan lain mengembangkan bioenergi dari bambu, adalah karena tanaman ini memungkinkan produksi energi secara terdesentralisasi. Indonesia terdiri dari ribuan pulau, yang belum terhubung pada sistem energi nasional. Menurut Wahono, salah seorang penuis dan Direktur Clean Power Indonesia (CPI), terdapat sekitara 12.500 desa di seluruh negeri yang belum teraliri listrik secara kontinu. Bahan bakar diesel dikirim dalam banyak drum pada tempat-tempat itu untuk menyalakan generator. Namun, menurut Wahono, cara ini mahal dan tidak reliabel, hingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
CPI membangun percontohan pembangkit listrik bambu di pulau Mentawai. Pembangkit ini dipandang sukses, menyalurkan listrik pada 1.200 rumah tangga di tiga desa, yang masing-masing memiliki pembangkit sendiri. Budi daya bambu membuka lapangan kerja, dan membuat petani mendiversifikasi penghasilan, mengurangi risiko kegagalan panen dan membantu adaptasi perubahan iklim.
Wahono menyatakan, kini CPI ingin mereplikasi model ini di Indonesia. Mengingat budi daya dan pemanfaatan bambu sudah familier dengan keseharian, mereka berharap masyarakat mau dan mampu berpartisipasi dalam produksi bioenergi berbasis bambu di seluruh negeri ini.
Perkebunan bambu, catat Baral, perlu dikelola dengan hati-hati karena bisa menjadi spesies invasif dan mengganti vegetasi sekitar. Perlu juga dijaga agar bambu dibudidayakan pada lahan terdegradasi dan lahan tidur, agar tidak mengganti tanaman pangan atau memicu penggundulan vegetasi alami dan mengurangi risiko invasifnya.
Menurut Sharma, langkah lanjut tim peneliti adalah “mengeksplorasi seberapa besar ketersediaan bambu lokal, mengindentifikasi lokasi untuk perkebunan bambu, dan menelaah feasibilitas ekonomi produksi bambu oleh petani dan nilai ekonomi restorasi lahan menggunakan bambu.”
Wahono akan berbagi lebih banyak temuan dari penelitian ini dalam sebuah forum diskusi mengenai bioenergi dan restorasi bentang alam di wilayah tropis, pada Forum Bentang Alam Global di Bonn, 2 Desember 2018 mendatang.
Penelitian ini merupakan bagian dari proyek Bioenergi CIFOR yang didanai oleh NIFoS National Institute of Forest Science, Korea Selatan), Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Wanatani (CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry/CRP-FTA) melalui dukungan dari donor CGIAR Fund.
Ikuti diskusi GLF Bonn. Ketahui caranya di sini.
https://www.youtube.com/watch?v=xuH_mx6JwEY
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org