Bagikan
0

Bacaan terkait

Perwakilan dari Indonesia, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo (DRC) bergabung dengan organisasi internasional untuk mendorong upaya perlindungan lahan gambut berkelanjutan pada acara peluncuran Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) di Jakarta, 29 Oktober 2018 lalu.

Ketiga negara ini berharap  – pemilik lahan gambut tropis yang luas di dunia –  merupakan negara anggota pendiri,  ITPC dapat menjadi platform holistik bagi ilmu pengetahuan dan praktik lahan gambut. Hal ini juga menandai untuk pertama kalinya negara-negara dari bagian selatan dunia bersatu dalam upaya melindungi ekosistem penting yang belum menjadi perhatian internasional. Padahal bila dikelola dengan lestari, lahan gambut tropis tidak hanya menawarkan keuntungan lingkungan besar, namun juga manfaat penghidupan potensial bagi masyarakat sekitarnya.

Dalam acara tersebut, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Arlette Soudan-Nonault, Menteri Pariwisata dan Lingkungan Republik Kongo dan Direktur Jenderal Sumber Daya Hutan untuk Kementerian Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan DRC, Jose Ilanga Lofonga, meluncurkan sekretariat interim ITPC – adapun pembentukan struktur organisasi dan lain-lain direncanakan bertahap dalam satu tahun.

BERJUANG MELAWAN PERUBAHAN IKLIM

Lahan gambut merupakan daerah alami yang terbentuk dari akumulasi bahan tanaman yang membusuk. Lahan ini memiliki manfaat sangat besar sebagai penyerap karbon, dan diyakini menyimpan 30 hingga 40 persen karbon global meskipun hanya mencakup 3 persen dari luas daratan dunia – sehingga lahan gambut merupakan salah satu kunci menekan pemanasan global.

“Jika kita gagal melestarikan lahan gambut, tidak ada upaya lain untuk mengatasi […] menghadapi perubahan iklim,” kata Erik Solheim, Eksekutif Direktur UNEP.

Melakukan upaya konservasi  tentu memerlukan kerja sama antara ekonomi dan lingkungan lahan gambut, katanya seraya memberi contoh pariwisata dan peningkatan pertanian sebagai kemungkinan penciptaan peluang ekonomi. Secara efektif melindungi lahan gambut akan mewakili “kemenangan tiga kali lipat” bagi umat manusia, ia menjelaskan – menguntungkan masyarakat dan kesehatan mereka, lingkungan, dan ekonomi.

Robert Nasi, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) juga menyoroti pentingnya mengikutsertakan ekonomi dalam pelestarian dan restorasi lahan gambut. Menurutnya, “Kita harus benar-benar melindungi lahan gambut yang selama ini dilestarikan […] karena jauh lebih mahal untuk melakukan restorasi ketimbang konservasi.”

Sektor swasta dapat dilibatkan dalam restorasi, lanjutnya, sementara restorasi juga dapat diubah menjadi kegiatan yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan penghidupan.

BELAJAR DARI MASA LALU

Indonesia telah mendapatkan pengakuan internasional atas upaya menerapkan tata kelola lahan gambut berkelanjutan  dalam beberapa tahun terakhir. Pengalaman Indonesia mengelola lebih dari 15 juta hektar lahan gambut, menurut Menteri Siti, dimulai pada awal abad lalu, ketika masyarakat adat seperti masyarakat adat di Kalimantan mengelola lahan gambut secara berkelanjutan.

Setelah itu memasuki periode pemanfaatan lahan gambut yang luas dimulai pada tahun 1970-an, yang melibatkan perkebunan kayu, pertanian skala besar dan pengeringan yang berdampak terjadinya degradasi signifikan.

Periode saat ini merupakan “era perbaikan”, lanjut Menteri Siti. Sejak kebakaran yang parah tahun 2015, Indonesia telah membentuk badan restorasi lahan gambut, memperkuat moratorium pada lisensi baru, meningkatkan hutan primer, dan mengawasi penegakan kebijakan yang ketat. Upaya Indonesia berlanjut pada pembentukan ITPC ini.

Menurut Dianna Kopansky dari Global Peatlands Initiative, sejarah pengeringan gambut telah membuat negara-negara menghadapi “kenyataan pahit” karena saat ini karena harus berinvestasi secara intensif membasahi dan merestorasi lahan gambut.

Lain halnya di negara Kongo, tidak ada drainase lahan gambut di Lembah Kongo, kata Simon Simon dari Universitas Leeds, yang memimpin suatu tim riset memetakan lahan gambut di Lembah Kongo untuk pertama kalinya.

“Lahan gambut ini sangat berharga – secara lokal digunakan sebagai mata pencaharian, secara regional untuk curah hujan, dan secara global untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” jelasnya, sebelum mengajukan pertanyaan tentang bagaimana Lembah Kongo dapat mengelola lahan gambut yang baru ditemukan tanpa mengalami masalah seperti di Indonesia, dan bagaimana pengembangan dapat dilakukan di kawasan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang seperti di negara-negara lain.

KERJASAMA SELATAN-SELATAN

Sepanjang diskusi hari itu, beberapa pembicara dari pemerintah, organisasi internasional dan lembaga penelitian – termasuk mitra koordinasi ITPC, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, CIFOR, UN Environment, dan UN FAO – berdiskusi berbagai topik mencakup pentingnya kolaborasi internasional dan saling belajar, terutama antar negara-negara Selatan.

Para pembicara juga mendorong untuk meningkatkan kerjasama dan penguatan kapasitas di semua tingkatan, serta keterlibatan masyarakat dan penciptaan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat yang saat ini hidup di sekitar lahan gambut. Menanam pinang dan padi, mengumpulkan tanaman obat, memancing dan berburu disebutkan sebagai peluang-peluang ekonomi di lahan gambut di ketiga negara.

Pengelolaan lahan yang sebelumnya dilihat oleh sebagian orang hanya sebagai masalah yang sebagian besar bersifat nasional, lahan gambut kini telah mengambil tempat di panggung dunia. Dalam konteks era perbaikan, Indonesia, misalnya, “ingin membagikan pengalaman kami sehingga negara-negara lain tidak perlu menemukan kembali penyebab masalah,” kata Menteri Siti, mengutip tanggapan positif dari masyarakat internasional terhadap pembentukan ITPC.

“Lahan gambut tropis ditemukan di lebih dari 80 negara, namun lahan itu tetap berada di antara ekosistem yang paling sedikit dipahami dan dipantau dunia,” tambahnya, menggambarkan bahwa gambut sebagai komponen kunci untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Dengan pusat gambut yang ditetapkan untuk menjadi pusat informasi, yang dibangun di atas kerjasama internasional dan lintas sektoral, para pembicara sependapat hal ini akan memungkinkan negara-negara membuat keputusan yang lebih tepat tentang lahan gambut tropis mereka, yang mengarah ke manfaat global dalam pencapaian target iklim.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org