Sebagai produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia, secara ekonomi dan sosial, Indonesia sangat bergantung pada komoditas ini. Pada 2017, ekspor minyak sawit mentah (CPO) menjadi sumber terbesar perdagangan luar negeri, mencapai 23 miliar dolar AS (Rp 310 triliun) –tertinggi sepanjang sejarah – dan berkontribusi sebesar 15,9% dari total nilai ekspor nasional. Sektor ini juga menyediakan lapangan kerja hulu bagi 5 juta buruh perkebunan, dan 16-20 juta orang di luar perkebunan.
Besarnya peran kelapa sawit sebagai pendorong ekonomi juga dihadapkan pada tantangan masalah lingkungan, yang menjadi perhatian baik di tingkat nasional maupun internasional. Masalah yang dihadapi terkait dengan kebun-kebun sawit rakyat yang berada di kawasan hutan, dan kurangnya dukungan bagi petani untuk melakukan praktik-praktik keberlanjutan – dan memperoleh manfaat dari – bentang alam. Dalam beberapa kasus, bentang alam kelapa sawit tidak seproduktif dari yang seharusnya, hingga beberapa petani memperluas kebunnya ke dalam hutan.
Kondisi ini bisa membuat para petani kehilangan potensi penghasilan dari produksi kelapa sawit, dan jasa lingkungan langsung dari hutan: kayu, hasil hutan bukan kayu seperti madu dan tanaman obat, pembayaran jasa lingkungan dari pemerintah dan pihak lain (organisasi masyarakat sipil, dana bilateral dll.), serta peluang bagi perusahaan swasta.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan inisiatif untuk mengatasi kondisi di atas. Pada 2015, pemerintah menerapkan pungutan dana minyak sawit dan CPO, dan mewajibkan eksportir sawit membayar 20-50 dolar AS untuk tiap ton CPO. Dana tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit untuk mengembangkan industri kelapa sawit berkelanjutan, termasuk untuk peningkatan sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, memajukan industri hilir dan promosi perdagangan ke pasar internasional, pengembangan infrastruktur perkebunan dan peremajaan kebun sawit rakyat. Sebagian lain diarahkan untuk mengembangkan industri biodiesel.
Sejak 2017, kami – penulis artikel ini – menjadi bagian dari penelitian kolaboratif antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Bersama-sama kami menganalisis kebijakan dan proses pengambilan keputusan [JM2] mengenai pungutan dan alokasi dana sawit, meneliti bagaimana persepsi para pelaku di tingkat nasional dan provinsi, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat terhadap pemanfaatan dana tersebut. Kami juga meneliti bagaimana pungutan dana tersebut dapat berperan sebagai insentif fiskal untuk mendorong pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan. Dari berbagai bentuk penggunaan alokasi dana tersebut, kami menemukan bahwa dukungan fiskal dan kapasitas bagi petani sawit untuk kegiatan peremajaan tanaman sangat krusial dalam mendorong upaya mengurangi tekanan terhadap hutan.
MASALAH MENGAKAR
Daur tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun, dan pada akhir daur menjadi tidak produktif lagi serta perlu diremajakan. Di Indonesia, saat ini terdapat 2,4 juta hektar perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah mencapai usia peremajaan. Namun, pada akhir 2017, hanya sekitar 2.942 hektar yang diremajakan di Sumatera Selatan dan Utara. Sebagai perbandingan, target peremajaan 2018 adalah 185.000 hektar. Pada 2018, sejauh ini peremajaan hanya dilakukan di Riau.
Sebanyak 41 persen lahan perkebunan kelapa sawit dikelola oleh petani, yang menghasilkan rata-rata 2-3 ton CPO per hektar per tahun – separuh dari angka produksi perkebunan swasta besar. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya dana peremajaan, dan kurangnya kemampuan untuk peremajaan dengan benih tersertifikasi, pupuk yang layak dan praktik pembersihan lahan tanpa pembakaran. Kondisi ini mengurangi produktivitas perkebunan, dan rendahnya penghasilan. Pada gilirannya, kondisi ini mendorong petani memperluas perkebunan kelapa sawit mereka ke dalam kawasan hutan untuk meningkatkan penghasilan.
Namun, untuk mengatasi masalah rendahnya produktivitas, pemerintah menetapkan program peremajaan kebun sawit menggunakan dana pungutan CPO untuk membantu petani. Petani mendapat Rp.25 juta per hektar untuk peremajaan – mis. usia tanaman telah mencapai umur 25 tahun, atau produktivitas kurang dari atau setara 10 ton tandan buah segar per hektar per tahun. Untuk menutupi sisa biaya (yang rata-ratanya sekitar Rp 50-60 juta per hektar), petani bisa mendapatkan pinjaman dari bank atau dari dana milik petani sendiri. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengatur tentang pedoman, kriteria dan indikator tantaman peremajaan kelapa sawit.
Penelitian kami menemukan, petani masih kesulitan dalam melakukan peremajaan yang layak, antara lain karena sebagian perkebunan berada di kawasan hutan. Sementara, persyaratan utama penerima bantuan dana sawit adalah bahwa perkebunan mereka harus berada di luar kawasan hutan. Kendala lain adalah ketidaklengkapan dokumen legal, kurangnya basis data dan data perkebunan petani, keengganan petani melakukan peremajaan karena berkurangnya sumber penghasilan selama periode tunggu dan terbatasnya anggaran peremajaan.
Selain itu, petani mengalami kesulitan mengakses modal dari bank ketika dibutuhkan. Bank tidak memiliki penjamin pihak ketiga ketika petani yang melakukan peremajaan tidak mampu memenuhi standar biaya peremajaan.
PERAN KEBIJAKAN
Dalam mengatasi hambatan tersebut, dan mengoptimalkan pemanfaatan dana CPO, tim penelitian dari P3SEKPI dan CIFOR mengusulkan beberapa pilihan kebijakan.
Pertama, dalam membantu petani melakukan peremajaan, beberapa hal diperlukan di lapangan: bantuan pendampingan yang terstruktur dan disertai tenaga yang kompeten, penguatan dinas perkebunan di daerah melalui fasilitasi anggaran dari dana sawit untuk mendukung operasionalisasi peremajaan, alokasi anggaran untuk subsidi bunga pinjaman petani dan penyediaan bantuan permodalan selama masa tunggu, serta penyesuaian biaya bantuan dana peremajaan menjadi sebesar 60% dari standar biaya peremajaan yang ditetapkan pemerintah.
Sementara itu, pemerintah juga perlu meregulasi sisi pasokan CPO, menyusul jatuhnya harga CPO, misalnya melalui penundaan pemberian izin perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo.
Selain itu, pengalokasian dana pungutan CPO perlu dibuat lebih transparan, dan perlu dipastikan bahwa produsen biodiesel penerima dana pungutan CPO memenuhi prinsip berkelanjutan. Syarat tertentu harus diterapkan pada perusahaan penerima insentif biodiesel dari dana CPO untuk mendorong mereka memasukkan petani dalam pasokan kelapa sawit berkelanjutan mereka, serta membantu petani memperbaiki praktiknya. Terakhir, dewan pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit seharusnya diisi oleh pemangku kepentingan yang lebih beragam.
Mengoptimalkan pemanfaatan dana CPO untuk peremajaan kebun kelapa sawit rakyat membutuhkan komitmen dari para pemangku kepentingan, sinergi dari berbagai sektor, serta sumber daya dan kemauan untuk mengatasi berbagai tantangan besar yang dihadapi. Namun, dengan kebijakan dan dukungan yang tepat, dana pungutan CPO dapat membantu petani meningkatkan produksi perkebunan, sekaligus melindungi hutan.
Untuk informasi lebih mengenai topik ini, silahkan hubungi Fitri Nurfatriani di nurfatriani@yahoo.com; Heru Komarudin di h.komarudin@cgiar.org.
Penelitian ini merupakan bagin dari proyek Tata Kelola Bentang Alam Kelapa Sawit Berkelanjutan (Governing Oil Palm Landscapes for Sustainability/GOLS), yang didukung oleh Badan Pembangungan Internasional AS (USAID).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org