Berita

Peran krusial tanaman penghasil biofuel dalam restorasi bentang alam

Sebuah penelitian menunjukkan nyamplung bisa menjadi pohon bioenergi yang paling adaptif untuk lahan gambut terdegradasi
Bagikan
0
Pohon nyamplung, bagian dari penelitian bioenergi di Kalimantan Tengah, Indonesia. Foto CIFOR/ Catriona Croft-Cusworth

Bacaan terkait

Perkebunan tanaman biofuel dapat menjadi kunci sukses upaya restorasi bentang alam termasuk membantu memenuhi kebutuhan akan energi terbarukan.

Tim peneliti gabungan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Korean National Institute of Forest Science (NIFOS) dan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMP) saat ini tengah melakukan suatu penelitian kolaboratif yaitu mengidentifikasi potensi dan produktivitas jenis-jenis tanaman bioenergi di lahan terdegradasi dan kurang dimanfaatkan.

Riset dilakukan untuk mencari tahu metode-metode produksi bioenergi terbaik, yang tidak perlu bersaing dengan produksi pangan dan konservasi lingkungan, namun tetap dapat menghasilkan energi terbarukan.

Dengan luas wilayah penelitian 7,2 juta hektar lahan di provinsi Kalimantan Tengah, lokasi riset sebagian besar merupakan lahan terdegradasi, hancur akibat kebakaran hutan dan kegiatan konversi menjadi lahan pertanian dan pertambangan. Lebih dari 40 persen penduduk di provinsi ini tidak memiliki akses listrik dan bergantung pada biomassa kayu untuk bahan bakar memasak.

Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama pemerintah tingkat regional dan lokal tengah melaksanakan program Bioenergi Lestari dan membangun perkebunan bioenergi di kurang lebih 62.500 hektar lahan.

“Secara keseluruhan program ini untuk memenuhi 23 persen dari permintaan energi yang terus meningkat. Diharapkan sumber energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 dapat memberi kontribusi 10 persen,” kata Himlal Baral, peneliti perubahan iklim, energi dan karbon rendah CIFOR. “Hasil awal riset kami berhasil memberi informasi tentang klasifikasi pohon dan tanaman tertentu yang dapat menghasilkan energi, ketahanan pangan sekaligus memulihkan lahan.”

Penelitian dilaksanakan di Desa Buntoi, kabupaten Pulang Pisau, dengan populasi sekitar 2.700 jiwa, masyarakat sangat bergantung pada perkebunan karet dan pertanian swasembada hingga tahun 2015 saat kebakaran hutan dan lahan gambut menghancurkan wilayah ini.

“Plot penelitian ini merupakan daerah banjir di musim hujan dan sangat kering di musim kemarau sehingga rentan dengan kebakaran hutan,” kata Siti Maimunah, dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Muhammadiyah Palangkaraya (UMP).

Setelah melakukan uji coba penanaman pohon, para peneliti secara tentatif mengidentifikasi nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai spesies pohon bioenergi yang paling adaptif untuk lahan gambut terdegradasi di daerah tersebut. Tanaman nyamplung tumbuh paling baik ketika ditanam dalam pengaturan agroforestri campuran, bukan monokultur.

“Hal ini merupakan solusi terbaik dalam mengembangkan biofuel menggunakan sistem agroforestri agar menjadi strategi penggunaan lahan yang lebih baik, mengingat potensinya untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan, keanekaragaman hayati dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” kata Himlal. “Menanam biofuel di lahan terdegradasi membantu perluasan lahan hutan menjadi lahan produksi pertanian dan menghindari konsekuensi-konsekuensi lingkungan yang buruk.”

Menanam pohon untuk biofuel juga dapat membantu mengimbangi emisi gas rumah kaca. Dalam kasus nyamplung hanya benih yang dikumpulkan untuk menghasilkan biodiesel dan menggantikan bahan bakar fosil, yang berarti pohon tetap ada di bentang alam yang menyediakan jasa lingkungan lainnya.

“Tujuan kami tidak hanya dimaksudkan untuk memulihkan lahan gambut yang terbakar dengan pendekatan produksi biofuel tetapi juga untuk memberikan pandangan kebijakan yang tepat untuk sinergi kelestarian lingkungan dan tujuan pembangunan,” kata Syed Rahman, peneliti CIFOR.

Produksi biofuel dapat membantu mengimbangi biaya tinggi yang digunakan dalam memenuhi tujuan restorasi lahan, seperti aksi Bonn Challenge yaitu suatu komitmen restorasi 150 juta hektar lahan terdegradasi dan terdeforestasi di dunia pada tahun 2020 dan 350 juta hektar pada tahun 2030 yang dideklarasikan pada konferensi tingkat tinggi perubahan iklim PBB tahun 2014.

Restorasi bentang alam berada di garis terdepan agenda nasional ketika negara-negara menerapkan upaya untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) poin 15, Kehidupan di Darat pada 2030.

This research was supported by the National Institute of Forest Science (NIFOS) and the Republic of Korea.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Himlal Baral di h.baral@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Pertanian ramah hutan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Lahan Gambut

Lebih lanjut Pertanian ramah hutan or Tujuan Pembangunan Berkelanjutan or Lahan Gambut

Lihat semua