Bagikan
0

Bacaan terkait

Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, nyatanya produksi bioenergi berbasis minyak sawit masih tergolong rendah. Menurut hasil penelitian terbaru pertumbuhan sektor bioenergi terkendala oleh berbagai kebijakan dan masalah teknis.

Penelitian tentang peluang dan tantangan dampak kebijakan terkait pengembangan biodiesel berbasis minyak sawit ini merupakan hasil kolaborasi Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dalam penelitian, kedua tim mewawancarai berbagai informan kunci mewakili pemerintahan daerah, pemerintah pusat dan sektor bisnis. “Kami menemukan sejumlah kebijakan dan tantangan teknis yang masih menghambat pertumbuhan produksi biodiesel,” kata Ahmad Dermawan, peneliti CIFOR.

Salah satu kendala yang berhasil diidentifikasi yaitu dalam pelaksanaannya produksi biodiesel tidak dapat tumbuh secara konsisten karena antar kebijakan tidak mendukung satu sama lain.

“Kerangka kebijakan yang ada saat ini memberi mandat kepada calon sasaran untuk mengunakan biodiesel. Namun, dalam praktiknya, ini belum optimal. Pertama, kebijakan saat ini terfokus pada sektor transportasi, dan kedua, mereka masih menekankan kewajiban pelayanan publik (PSO),” kata Dermawan.

Ia menambahkan, ada keyakinan di sektor pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia bahwa pengembangan biodiesel masih terletak di tangan pemerintah pusat, menyebabkan kurangnya pemahaman tentang peran pemerintah daerah. Meskipun kecil, namun peran yang dimainkan pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel masih luput dari perhatian.

“Dalam Kebijakan Energi Nasional, pemerintah pusat diharuskan menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan pemerintah provinsi diharuskan memiliki Rencana Energi Umum Daerah (RUED) . Hingga saat ini banyak provinsi belum mengembangkan RUED mereka. ”

POTENSI MINYAK SAWIT

Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia, memproduksi lebih dari 38 juta ton minyak sawit mentah (CPO) di tahun 2017. Dengan porsi 75% total produksi ekspor, komoditas minyak sawit menyumbangkan kontribusi pendapatan ekspor sebesar 23 miliar dolar Amerika di tahun 2017.

Terlepas dari perseteruan global seputar minyak sawit (awal tahun 2018, Parlemen Eropa memutuskan mengakhiri penggunaan minyak sawit dalam biofuel pada tahun 2030), minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling efisien bila dibandingkan dengan tanaman komoditas penghasil minyak lainnya – pohon sawit membutuhkan relatif lebih sedikit lahan untuk menghasilkan jumlah produk yang sama.

Kelapa sawit juga tetap menjadi salah satu komoditas pertanian terpenting di Indonesia untuk produksi bioenergi, setidaknya ada dua bentuk energi potensial yang dihasilkan dari tanaman ini: biodiesel dan biopower. Yang pertama diproduksi melalui penyulingan minyak sawit, dan yang kedua dari hasil panen tandan buah segar yang melalui proses lebih detil untuk menghasilkan listrik.

Bioenergi untuk listrik juga sedang dikembangkan dari biomassa kayu, namun kelapa sawit tetap digunakan. “Sumber produksi biodiesel sangat bervariasi,” kata Dermawan. “Secara bersamaan tanaman Jarak (Jatropha curcas L.) dan tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) juga dikembangkan sebagai bahan baku untuk biodiesel. Namun karena besarnya produksi minyak sawit menjadikan minyak sawit yang paling siap secara komersial untuk dikembangkan. ”

BERBAGAI KESEMPATAN DAN BIAYA

Riset ini juga mempelajari perbandingan komponen pembiayaan produksi antara biodiesel dan minyak solar – yang masih menerima subsidi pemerintah.

“Biaya produksi untuk biodiesel lebih tinggi karena ada tambahan proses produksi yang harus dilakukan sebelum pembeli – dalam hal ini, Pertamina dan perusahaan PSO lainnya – menerima biodiesel,” terang Dermawan.

Pada pertengahan 2015, pemerintah membentuk unit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di bawah Kementerian Keuangan bertugas mengelola kumpulan dana dari pungutan yang dibayar oleh para eksportir CPO dan turunannya. Unit ini menggunakan dana tersebut untuk peningkatan sumber daya manusia serta melakukan promosi, penelitian dan pengembangan kelapa sawit sebagai komoditas.

“BPDPKS memberi insentif yaitu dengan menutup kesenjangan harga antara solar bersubsidi dan biaya produksi biodiesel,” kata Dermawan.

Selain karena besarnya ongkos produksi, biodiesel mempunyai kerumitan di bagian-bagian tertentu. Dari sisi manajemen, produksi masih bergantung pada pasokan dan kontrol kualitas yang fluktuatif.

“Beberapa perusahaan biodiesel mendapatkan bahan baku dari pabrik kelapa sawit yang menerima biji kelapa sawit dari petani,” kata Dermawan. “Pabrik tidak selalu menerima tandan buah segar secara konsisten dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas buah yang rendah akan berdampak pada kualitas minyak sawit dan, pada akhirnya, berdampak pada kualitas biodiesel yang dihasilkan. ”

Melihat lebih dalam sisi teknis produksi, Spent Bleaching Earth (SBE), residu dari produksi biodiesel, merupakan sebagai bahan berbahaya dan beracun, di Indonesia dikenal sebagai B3. Dengan demikian, harus ditangani secara hati-hati, yang berimbas pada biaya tambahan untuk produsen biodiesel.

Penelitian ini menunjukkan sisi baik SBE yaitu mengandung minyak yang dapat diproses lebih lanjut menjadi sesuatu yang bermanfaat, meski diperlukan lebih banyak riset untuk menggali potensinya. Menurut Dermawan, tetap ada peluang untuk mengoptimalkan produksi biodiesel.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Ahmad Dermawan di a.dermawan@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org