Kembali ke masa depan: Merancang skenario kelapa sawit hingga 2035
Kita mungkin belum bisa melakukan perjalanan waktu, namun pemodelan data bisa membantu kita menyusun prediksi terukur mengenai masa depan, dan diharapkan membantu melakukan perencanaan yang lebih baik pada saat ini. Demikian dikatakan ilmuwan dan pakar mitigasi perubahan iklim Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Sunil Sharma.
Sharma memimpin sebuah penelitian terbaru yang memproyeksikan skenario potensial masa depan budi daya kelapa sawit di provinsi Kalimantan Barat dan Tengah Indonesia dari 2017 hingga 2035, dan memetakan dampak jasa ekosistem (ES) pada setiap skenario.
Dengan memetakan skenario yang dapat terjadi (berbeda dengan apa yang akan terjadi), kita bisa belajar dari masa depan dalam menentukan apa yang dapat kita lakukan saat ini, kata Herry Purnomo, mitra Ilmuwan CIFOR dan contributor penelitian.
Provinsi-provinsi tersebut merupakan salah satu dari ‘hotspots,’ keragaman hayati dunia, yang secara global diidentifikasi sebagai kawasan konservasi prioritas atas tegakkan hutan hujannya yang menyangga sejumlah besar spesies endemik, selain penghidupan jutaan orang. Namun, wilayah ini juga dipandang sebagai hotspots ekspansi kelapa sawit, dengan laju pertumbuhan sektoral tertinggi di seluruh Indonesia. Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar komoditas aneka guna ini, ditambah estimasi permintaan global dua kali lipat pada 2050, ekspansi perkebunan akan berlanjut jika tidak diawasi.
Perencanaan cermat yang mempertimbangkan timbal balik perubahan pemanfaatan lahan bagi masyarakat, ekonomi dan lingkungan, menurut Sharma, menjadi sangat penting.
MEMILIH JALUR UNTUK MASA DEPAN KELAPA SAWIT
Tiga skenario potensial ekspansi kelapa sawit di dua provinsi tersebut terdiri dari skenario biasa business-as-usual, intensifikasi berkelanjutan dan konservasi. “Kami ingin mendapat ide apa yang akan terjadi jika memilih salah satu jalur itu: dari sudut pandang ES, apa yang hilang dan apa yang diraih?” papar Sharma. ES mempertimbangkan kondisi air, simpanan karbon, habitat, dan produksi kayu dan kelapa sawit.
Dalam skenario biasa, para peneliti berasumsi bahwa pemegang lisensi kelapa sawit akan mengembangkan perkebunan mereka ke seluruh area konsesi, untuk memaksimalkan potensi ekonomi. Penelitian menunjukkan, jika ini terjadi, seluruh ES akan terdampak negatif, karena perkebunan akan merambah hutan tua dan hutan regenerasi.
Dalam skenario konservasi, kriteria ketat diterapkan untuk menjaga integritas dan keberlanjutan lingkungan hidup, termasuk pemantauan ketat untuk menghindari penggundulan tegakkan hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu.
Bukan hal mengejutkan, para peneliti menemukan bahwa nilai ES tertinggi dihasilkan dari situasi ini. Stok karbon akan meningkat, kualitas habitat relatif stabil terhadap perubahan pemanfaatan lahan aktual.
Skenario intensifikasi berkelanjutan menggunakan asumsi bahwa ekspansi masa depan akan terjadi pada lahan yang paling cocok untuk perkebunan kelapa sawit dan menerapkan teknologi panen. Dalam kasus ini, stok karbon akan terdampak positif, karena intensifikasi perkebunan sawit mampu menyerap dan menyimpan lebih banyak karbon dari pada lahan terdegradasi atau lahan pertanian. Tingkat air juga mendapat manfaat, meski kualitas habitat akan sedikit terganggu.
Para peneliti menemukan bahwa intensifikasi berkelanjutan menawarkan semacam ‘solusi kompromi,’ karena pasokan ES masih dapat dibandingkan dengan skenario konservasi, sementara produksi kelapa sawit tidak terlalu jauh berbeda dengan skenario biasa. Namun, menurut catatan para peneliti, skenario ini berdampak pada keamanan pangan, karena membutuhkan konversi besar-besaran area pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit.
Mengkomunikasikan dan meyakinkan bahwa intensifikasi berkelanjutan adalah alternatif terbaik merupakan tantangan besar di wilayah kebijakan
MEMANDANG LEBIH JAUH
Mana yang cenderung terjadi? Setiap skenarionya sangat mungkin, kata Himlal Baral, salah seorang penulis dan ilmuwan CIFOR. Dari sudut pandang reduksi emisi dan perlindungan keragaman hayati, skenario konservasi tak perlu diragukan lagi. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa melindungi hutan lebih bernilai, dalam nilai ekonomi total dan ES yang diberikan, dibanding menggundulinya. “Namun sangat sulit membuktikan hal itu pada pemerintah atau perusahaan atau masyarakat lokal yang memerlukan sumber daya yang dapat mereka beli dan jual di pasar sebagai sumber penghasilan langsung,” katanya.
Mempertimbangkan hal tersebut, Baral menyimpulkan bahwa skenario intensifikasi berkelanjutan sangat berpotensi menjawab meningkatnya permintan kelapa sawit dan menyangga penghidupan, seraya melindungi alam. Ia berharap penelitian ini akan membantu pengambil keputusan untuk mempertimbangkan alternatif lebih jelas, dan secara ideal memilih jalur tengah yang seimbang antara kebutuhan manusia dan lingkungan.
“Saya pikir ini langkah tepat untuk ditempuh, kita bisa mewujudkan konservasi sambil tetap memenuhi permintaan pasar dan masyarakat,” kata Baral.
“Mengkomunikasikan dan meyakinkan bahwa intensifikasi berkelanjutan adalah alternatif terbaik merupakan tantangan besar di wilayah kebijakan,” kata Purnomo. “Proses kebijakan dipengaruhi oleh aktor politik yang memiliki perbedaan kepentingan dan seringkali bersilangan. Setidaknya penelitian ini dapat menjadi landasan informasi bagi mereka mengenai timbal balik antara pembangunan dan konservasi dalam konteks pengembangan kelapa sawit.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org