Masih berkutat dengan siklus air
Terdapat perbedaan tingkat pemahaman mengenai siklus air. Diagram yang tergantung di dinding sekolah dasar, menunjukkan air menguap dari laut menjadi awan, kemudian jatuh ke tanah. Satu tingkat di atasnya, ada pengetahuan umum yang memasukkan uap dari pohon, pola angin dan sejenisnya dalam proses tersebut.
Kemudian, ada lagi pendekatan sangat teknis yang menempatkan serangkaian detil dan kontingensi: aliran getah tumbuhan pada malam hari, emisi isoprene, pelepasan partikel inti-es dari daun yang membusuk, hingga pada fase bulan.
Meski dengan seluruh detail penelitian, catatan dan menyelami beragam model dan algoritma, tetap saja sulit untuk mempercayai prediksi cuaca di pagi hari. Perilaku awan dan curah hujan masih tetap menjadi sebuah misteri – apalagi bagaimana mereka akan bereaksi terhadap perubahan iklim.
“Model-model yang ada tidak menjelaskan ini,” kata Mitra Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) Douglas Sheil, yang juga berkhidmat pada fakultas ilmu lingkungan dan manajemen sumber daya alam Norwegian University of Life Sciences. “Dan masalahnya adalah kita menggunakan berbagai model itu untuk memprediksi perubahan iklim. Padahal model itu tidak mampu memprediksi pola curah hujan dengan benar.”
Mengambil langkah maju, baru-baru ini Sheil mempublikasikan sebuah makalah yang mencoba menunjukakan mengapa misteri ini masih ada dan wilayah kebutuhan penelitian untuk menjawabnya. Dalam bahasa sederhana dan mudah dibaca, ia merangkum teori siklus air yang ada dan menawarkan hipotesis perubahan besar yang bisa dilakukan, dan seharusnya bisa disepakati – termasuk oleh dirinya sendiri.
POMPA
Seperti menghitung probabilitas numerik lemparan dadu berulang kali dan menduga nilai lemparan tunggal, pola iklim dapat lebih diprediksi secara konsisten dibanding cuaca. Kurang lebih kita tahu, setelah musim dingin akan datang musim semi. Kita tidak tahu secara tepat berapa panas akhir pekan mendatang. Namun, mengenai hujan, Sheil percaya, tidak ada kesepakatan teori siklus air yang dapat membantu prediksi peristiwa ini dalam jangka pendek atau panjang. Dan ia tidak sendiri.
Siklus air merupakan topik penelitian populer pada awal 1900-an. Para ilmuwan sudah mengetahui bagaimana deforestasi mempengaruhi curah hujan dan cuaca. Pada paruh abad lalu, sempat muncul minat, yang dipicu peristiwa cuaca aneh yang dialami penduduk pesisir.
Namun, dalam kondisi cuaca yang makin tak terduga dan makin kerasnya masalah sosial global, pada 10-15 tahun terakhir, para ilmuwan melongok kembali siklus air, seraya mengakui bahwa ada sesuatu yang harus bisa kita pahami. Antara 1992 dan 2015, misalnya, sumber daya air dunia dibagi populasi global menurun sebesar 25%. Akses reliabel juga menurun – tampak nyata pada peristiwa bencana seperti kekeringan Ethiopia pada 2015.
Kali ini kembalinya siklus air ke dalam fokus, membawa serta hutan. “Semua tahu hutan penting bagi curah hujan. Ini bukan berita,” kata Sheil. “Saya pikir beritanya adalah seberapa besar pengaruhnya. Ini mempertajam dan memperjelas kaitan yang makin dipahami – hanya dalam beberapa tahun terakhir ini.”
Sebanyak 117.600 kilometer kubik hujan jatuh ke bumi tiap tahun atas hasil presitipasi. Enam puluh satu persen berasal dari lahan, dan lebih dari separuhnya berasal dari transpirasi tumbuhan. Penelitian terbaru lain mengungkap bahwa perubahan tutupan lahan telah menyebabkan reduksi 5-6% kelembaban atmosfer global. “Jumlah emisi uap air dari hutan (transpirasi dan evaporasi) biasanya melampaui dari vegetasi lain dan air terbuka,” kata Sheil dalam artikelnya.
Sejumlah teori memasukkan peran hutan dalam siklus air. Diawali dengan teori gradien temperatur, dikembangkan oleh Isaac Newton kontemporer, Edmund Halley pada 1686. Mengaitkan angin dan sirkulasi global pada pola temperatur pendinginan udara di atas laut dan penghangatan di atas daratan, teori ini dan teori lain tetap dominan. Penelitian terus berlanjut pada dampak hutan dalam kerangka ini.
Namun, seperti dijelaskan Sheil dalam makalahnya, teori berbasis temperatur seperti itu tidak mampu menjelaskan beragam fitur cuaca, seperti perubahan drastis iklim monsoon, mengapa curah hujan terjaga di area tertentu namun tidak di daerah lain, serta mengapa tempat seperti Basin Amazon dan Indonesia menarik banyak hujan.
Pada 2008, Sheil tertarik dan bergabung pada penelitian seputar pendekatan baru siklus air yang dikembangkan oleh ahli fisika Anastassia Makarieva dan Victor Gorshkov, yang bernama ‘pompa biotik’. Lebih dari fokus pada temperatur semata, teori pompa ini mempertimbangkan bagaimana kondensasi air dan evaporasi mempengaruhi tekanan udara, dan membentuk pola curah hujan. Ketika kelembapan terkondensasi atau membeku – membentuk awan atau tetes hujan – udara cenderung naik diikuti jatuhnya tekanan atmosfer di bawahnya. Kondisi ini menarik dan mengangkat udara sekitar, hingga kelembapan udara di sini juga terkondensasi atau membeku, memicu proses tersebut.
Melalui pendekatan ini, pompa biotik lebih dapat menjelaskan peran hutan dalam siklus air. Dengan melepas kelembapan, pohon memicu naiknya tekanan udara di atmosfer sekitar. Proses ini berbalik ketika hujan mulai turun.
“Banyak orang berasumsi bahwa teori baru ini sangat radikal dan canggih. Namun gagasan dasar di baliknya hanyalah fisika sekolahan,” katanya. Keberatan ini, dapat mengabaikan fakta bahwa teori pompa telah berulang kali membuktikan diri melalui prediksi berbagai hubungan iklim dan cuaca.
“Saya dan rekan-rekan melakukan penelitian dan dipublikasikan dalam sebuah artikel, yang memprediksi dan menunjukkan bahwa tekanan udara sering kali meningkat sebelum terjadi hujan di Amazon. Dalam teori temperatur standar, kita tinggal menunggu tekanan rendah sebelum hujan turun. Namun ini tidak terjadi. Teori pompa biotik mampu membuat prediksi unik relasi fisika. Membuat prediksi yang tidak bisa diprediksi teori lain dan kemudian menunjukkan bahwa prediksi ini terjadi – itulah ilmu pengetahuan.”
SEBASAH PADANG PASIR
Selain memberi panduan untuk menentukan kapan membawa payung, pemahaman lebih baik mengenai siklus air berpotensi memperlengkapi ilmuwan dengan kemampuan mengelola perubahan kontinental besar.
Awalnya adalah dengan memahami prinsip siklus air yang mendasari seluruh teori: air ditarik ke atas dari permukaan dan tempat lain, diemisikan ke atmosfer, dan jatuh ke bumi sebagai hujan, beberapa kali sebelum sampai ke lautan.
“Pohon melepas air yang kemudian jatuh ke tempat lain,” kata Sheil. “Petak kecil pohon mungkin menyerap lebih banyak air dibanding bentang alam sekitar. Tetapi bentang alam pohon yang lebih luas memiliki curah hujan lebih tinggi. Hal ini terjadi pada skala berbeda-beda.”
Melihat lebih luas, ini berlaku di berbagai wilayah. Curah hujan yang hilang di satu tempat, menjadi hujan di tempat lain.
“Saya melihat bahwa petani di Tiongkok sangat bergantung pada apa yang dilakukan pengguna lahan di Eropa dan Afrika, karena dari sanalah sebagian besar hujan berasal.”
Pada skala geografi dan waktu yang lebih besar, hal ini bisa berarti bahwa pemahaman siklus air dapat memandu strategi penanaman pohon, berpotensi mengubah bentang alam kering menjadi basah, dan kebalikannya. Pemahaman baru ini dapat menginformasi lokasi penanaman hutan yang dapat menyalurkan hujan ke wilayah kering. Ketika wilayah kering ini cukup memiliki irigasi alami, hutan dapat ditanami dan menyirami diri sendiri.
“Sebuah cara potensial untuk menghijaukan kembali Sahara… Terdengar aneh dan gila, namun bisa saja terjadi jika kita memiliki sumber daya dan waktu untuk mewujudkannya. Ini sangat menarik. Saya pikir dengan memulai di area pesisir dan dalam jangka panjang bergerak ke daratan, ini berpeluang diwujudkan.”
Namun langkah pertamanya, kata Sheil, adalah berhenti berdebat dan mulai melakukan penelitian untuk membuktikan apakah pompa biotik ini benar, atau mengembangkan teori lain. Poin penelitian Sheil adalah untuk mendorong dunia penelitian untuk akhirnya sampai pada pemahaman mengenai siklus air yang kuat,
agar dapat digunakan untuk membawa air ke tempat yang paling membutuhkan.
“Jika pompa biotik benar, kita seharusnya berhenti menyanggahnya. Kita tidak perlu membuang waktu 10 tahun lagi, sementara teori ini memberi tahu kita risiko dan dapat memberi solusi pada masyarakat yang mengalami kekurangan air. Ini aspek menakutkan – seperti bentang alam dengan curah hujan tinggi yang berubah cepat menjadi kering akibat kehilangan hutan – namun, ada juga aspek positifnya.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org