Bagikan
0

Bacaan terkait

Komoditi kelapa sawit, ternak, kayu dan kedelai mendapatkan perhatian global dalam beberapa tahun terakhir karena ‘forest footprints (sidik hutan)’ – berupa risiko-risiko yang ditimbulkan akibat permintaan dan pembudidayaan di lahan hutan tropis di seluruh dunia.

Berkat tekanan dan advokasi dari masyarakat sipil, pemerintah, pemegang saham dan konsumen dari belahan Bumi Utara, banyak perusahaan yang menggunakan dan menjual komoditas ini mulai melakukan pembenahan aktivitas . Mereka berusaha untuk menjadi – atau setidaknya terlihat – lebih bertanggung jawab atas dampak lingkungan atas kegiatan rantai suplai. Sebagai hasilnya, beberapa tahun belakangan telah banyak terlihat komoditi andalan yang membuat komitmen nol deforestasi (KND).

Dari perspektif lingkungan, langkah ini disambut baik dan tepat pada waktunya. Deforestasi di wilayah tropis menyumbang sekitar 12% dari emisi gas rumah kaca global antara tahun 2000 dan 2012. Apabila ‘empat besar’ komoditi mulai menjadi komoditi bebas-deforestasi, hal ini bisa membuat perbedaan besar bagi keanekaragaman hayati dan perubahan iklim di seluruh dunia.

Namun, mengikuti peraturan tanpa menghasilkan efek samping produksi yang tidak diinginkan akan menjadi tantangan. Dan hal ini – atau gagal mengikuti sama sekali – bisa dilihat mengapa KND mendapat julukan sebagai reputasi tokenistik (praktik simbolis – red) karena hanya sekedar pencitraan humas dan strategi pemasaran.

Laporan terbaru dari George Schoneveld, peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Peter Jopke dari Particip GmbH, menelaah dan melakukan penilaian KND dari 50 ‘powerbrokers (pialang -red)’ – yaitu perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi membentuk aturan komoditas utama’ dalam rantai nilai global. Penelitian ini mencoba mengungkap apakah komitmen berani ini benar-benar dapat bermanfaat bagi hutan, produsen dan masyarakat di lapangan.

JELAS SEPERTI LUMPUR

Menurut hasil riset, para peneliti menemukan kesenjangan yang mengkhawatirkan dalam praktik timplementasi KND, yang dapat berpotensi merusak komitmen. “Di atas kertas komitmennya luar biasa, dan para perusahaan menggunakan istilah yang tepat dan cukup luas dalam lingkupnya, tetapi perusahaan besar belum sepenuhnya memikirkan bagaimana mereka dapat mewujudkannya,” ujar Schoneveld.

Riset menunjukkan masih lemahnya komitmen perusahaan untuk melakukan transparansi penuh di lokasi utama dan pemasok, dan bagi penilai independen. Namun, hal ini tidak selalu menunjukkan bahwa perusahaan mencoba menyembunyikan praktik yang tidak baik, kata rekan penulis, sebaliknya akan menjadi sangat sulit bagi mereka untuk menelusuri rantai suplai masing-masing sampai ke akarnya. Praktik-praktik pengadaan dari banyak pelaku hulu yang sering terlibat dapat berubah tanpa disadari oleh para pimpinan perusahaan.

Studi ini juga menemukan bahwa hampir 75% perusahaan tidak menuntut KND dari pemasok mereka. Hal ini berarti sebagian besar perusahaan sebenarnya bertoleransi terhadap deforestasi dalam rantai suplai mereka, selama pasokan berasal dari wilayah yang tidak terjadi deforestasi. Jadi para penyuplai untuk perusahaan mungkin saja masih melakukan pengrusakan hutan dan menjual komoditas dari kawasan yang terdeforestasi kepada pelanggan lain yang tidak terikat komitmen KND.

Temuan ini masuk akal, mengingat nol deforestasi yang disepakati merupakan “keputusan bisnis murni,” bukan tuntutan moral atau filantropis, dari sebagian besar perusahaan yang disurvei, kata Schoneveld. Selama label dagang tidak terkontaminasi, banyak perusahaan hanya memiliki sedikit insentif untuk menekan pemasok mereka menghentikan pengrusakan hutan.

TANGGUNG JAWAB SENDIRI ?

Masalah lain yang menjadi perhatian yaitu kenyataan bahwa dalam banyak kasus, para powerbrokers (pialang, perantara) tidak secara eksplisit memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkan dari KND mereka, kata Schoneveld. Misalnya, bersikeras membeli komoditi yang dibudidayakan di lahan bebas deforestasi dapat meningkatkan permintaan akan lahan tersebut, yang dapat menggantikan penggunaan lahan sebelumnya seperti halnya produksi makanan. Akibatnya, deforestasi dapat terjadi secara tidak langsung ketika pengguna lain dari lahan tersebut didorong untuk melanjutkan praktik mereka di tempat lain.

Berkomitmen pada KND juga dapat mendorong perusahaan-perusahaan yang berada di jalur rantai pasokan menjual simpanan lahan di hutan, karena lahan tersebut tidak dipergunakan lagi untuk pengolahan komoditi. Lahan ini kemudian dapat digunduli oleh pemilik baru atau oleh masyarakat yang mengosongkan lahan pertanian mereka sehingga dapat menjadi alasan untuk melakukan ekspansi lahan.

Mungkin yang terpenting dari semuanya adalah bahwa jika perusahaan menerapkan standar produksi yang lebih ketat, hanya beberapa produsen yang memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri, sehingga banyak petani kecil yang mungkin sekali akan dikecualikan, kata Schoneveld.

“Jika Anda harus memantau semua orang dan melacak semua kelapa sawit yang masuk, dan Anda memiliki sepuluh ribu pemasok, itu akan menjadi sangat mahal,” ia menjelaskan. “Jadi banyak perusahaan mulai berkata, ‘Oke, kami harus memotong basis pasokan kami dan fokus pada pemasok yang kami percaya dan kenal dengan baik.’” Penyuling minyak sawit di Indonesia, misalnya, telah mulai memusatkan perhatian mereka pada basis pasokan ‘berkelanjutan’ pada perkebunan yang lebih besar.

Dan di sinilah ketegangan menjadi sangat terlihat. Salah satu perusahaan yang diwawancarai, misalnya, mengeluh bahwa mereka terpaksa mengeluarkan “bagian besar” dari petani kecil dari rantai suplai mereka untuk menyenangkan LSM yang berkampanye untuk ND, karena mereka dapat dikritik kurang berusaha atau gagal mendapatkan pengakuan melindungi hutan dalam upaya pelibatan petani kecil.

PERMINTAAN YANG SULIT

Tentunya, mengingat pengaruh powerbrokers terhadap pemasok dan pemerintah, ada peluang melalukan inovasi dan memberikan tekanan dalam rantai nilai itu sendiri. “Ini adalah tempat yang penting untuk memulai,” Schoneveld mengakui.

Tetapi tampaknya merupakan suatu permintaan yang sulit untuk mengharapkan perusahaan memberlakukan solusi menyeluruh dengan sendirinya. “Jika Anda ingin memiliki KND yang juga berkontribusi pada pengembangan pertanian dan ketahanan pangan, dan mendukung integrasi petani kecil, saya rasa Anda tidak dapat hanya mengandalkan perusahaan untuk mewujudkannya,” katanya. “Dan itu adalah tempat dimana pemerintah perlu melakukan intervensi.”

Melakukan integrasi antara pendekatan yurisdiksi dengan perencanaan bentang alam, pemantauan deforestasi dan meningkatkan penegakan peraturan di seluruh yurisdiksi yang ditetapkan dapat menjadi solusi. Sebagian besar perusahaan tertarik untuk bekerja di tempat-tempat yang dapat menjamin produksi secara berkelanjutan, karena dapat mengurangi biaya perusahaan dalam pemantauan dan pelacakan. Serta petani kecil di wilayah tersebut dapat mematuhi persyaratan ND, tanpa perlu mendaftar ke sistem pemantauan dan evaluasi yang rumit dan mahal. Beberapa yurisdiksi, seperti provinsi Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah dan negara bagian Sabah di Malaysia, mulai menerapkan pendekatan semacam ini, “mengatakan,‘ hei, mungkin ada manfaat ekonomi karena (sistim) berkelanjutan ini, ’” jelas Schoneveld.

Keterlibatan pemerintah juga penting karena perusahaan yang bersemangat membuat komitmen mengelola lahan secara berbeda di negara-negara berkembang bisa jadi dianggap menantang kedaulatan. “Perlu ada percakapan yang lebih baik antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil,” kata Schoneveld, “tentang peran apa yang dapat dimainkan masing-masing dalam mempertemukan tujuan lingkungan, ekonomi dan pembangunan, serta bagaimana memiliki inisiatif yang lebih saling melengkapi. ”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi George Schoneveld di g.schoneveld@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org