Bagikan
0

Di ujung Taman Nasional Leuser, desa Tanganan menawarkan wisata berjalan kaki beberapa hari untuk bisa melihat harimau, badak, gajah dan orangutan. Berendam di air terjun, makan malam rumahan bersama keluarga setempat, sambil menikmati pemandangan indah.

Di sisi lain, penduduk desa mendapat manfaat dari sejumlah pemasukan – dari penginapan, pemandu, makan dan transportasi – yang tidak hanya membuat mereka menjaga hutan tetap hijau dan rimbun, tetapi juga bergantung padanya.

Tanganan adalah salah satu dari sejumlah upaya ekowisata di Indonesia – dan di dunia – yang berjalan baik. Menawarkan petualangan personal, kultural dan berorientasi pada alam. Para wisatawan akan makin cenderung memilih wisata ‘hijau’ dalam merencanakan liburan berikutnya.

Dalam panel “Ekowisata dan Konservasi Keragaman Hayati pada Asia-Pacific Rainforest Summit 2018, para pelaku dari bidang pariwisata dan konservasi menegaskan sifat timbal balik manfaat bagi masyarakat dan ekologi yang membuat potensi industri pariwisata ini berhasil.

BERSIAP TINGGAL LANDAS

Di Indonesia, lebih dari 6.000 desa berlokasi di sekitar kawasan lindung menunggu pemanfaatan potensi ekowisatanya. Demikian dikatakan Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Keragaman hayati menjadi tulang punggung pariwisata, dan pariwisata memerlukan keragaman hayati,” kata Asep Hidayat, peneliti Badan Litbang dan Inovasi (BLI) pada kementerian yang sama.

Mengedukasi masyarakat mengenai keragaman hayati bentang alamnya – hingga ke mikroorganisme asli – merupakan kunci, jika memutuskan ingin membantu memelihara lingkungan sekaligus memetik manfaat pariwisata dalam jangka panjang.

Pada gilirannya mereka dapat membantu para pengunjung mendapat pengalaman berharga dan menebar kenangan mengenai tempat yang mereka kunjungi. Memiliki daya tarik ekowisata berada di satu sisi, namun menarik wisatawan – dan uang – berada di sisi lain.

John Colmey, Direktur Komunikasi, Penjangkauan dan Pelibatan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), menyatakan bahwa metode tradisional penyebaran informasi dari mulut ke mulut, iklan, melalui kelompok konservasi dan jaringan wisata alam masih bisa memberi dampak.

Namun, ia menekankan, dalam era media sosial, membangun kehadiran yang aktif dan menarik secara online merupakan cara cepat agar usaha ekowisata dilihat banyak orang.

A post shared by Misool (@misool.resort) on

Di Raja Ampat, Misool Eco Resort juga berfungsi sebagai pusat konservasi untuk keanekaragaman hayati laut di sekitarnya, mempromosikan pekerjaannya kepada hampir 10.000 pengikut di Instagram.

“Untuk membangun infrastruktur ekowisata, berinvestasilah pada manusia dan masyarakat,” nasihat Nixon.

Dalam menjangkau masyarakat, Nixon menyatakan, operator wisata harus melakukan pekerjaan rumah terlehih dahul. Hal ini adalah dengan menemukan LSM yang bekerja dengan masyarakat lokal, terlibat dengan pengambil keputusan di tingkat daerah; menjaga masyarakat memelihara tenurial lahan, melakukan investasi infrastruktur di lapangan, melakuan pelatihan untuk pemandu, memasak, transportasi, kriya dan sejenisnya.

Samedi, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action Sumatra, menyatakan bahwa ekowista dapat menjadi alternatif ekonomi untuk deforestasi dan memetik sumber daya alam. Namun, seperti Nixon, Samedi menyatakan bahwa seluruh pemangku kepentingan, mulai dari LSM lokal hingga kemitraan pemerintah-swasta perlu bekerja mewujudkan tujuan yang sama.

“Kita sepakat bahwa masyarakat lokal itu penting, karena itu kita harus meningkatkan kapsitas dan kesiapan menerima pengunjung asing, dan hal itu bisa mengubah perilaku,” katanya.

SESUAI KAPASITAS

Pariwisata merupakan sektor ekonomi unggulan Indonesia. Kementerian Pariwisata menargetkan 20 juta wisatawan pada 2019. Kementerian ini juga berupaya meningkatkan jumlah penginapan di seluruh negeri, yang akan membuka tujuan wisata baru di luar Bali.

Namun, Wiratno mencatat bahwa kelestarian kawasan lindung merupakan hal yang juga perlu diperhatikan. “Ekowisata di kawasan lindung tidak akan memenuhi target Kementerian Pariwisata,” katanya. “Perlu ada kuota.”

Dengan kata lain, saat sejumlah orang datang bersama uang, pejabat pariwisata perlu memikirkan ambang lahan dan manusia.

Secara umum, Nixon berpendapat bahwa kapasitas manajemen akan segera menjadi masalah global, karena makin banyak wisatawan – khususnya dari Tiongkok dan India – mulai memilih ekowisata. Akibatnya, lokasi tertentu makin populer.

Pengunjung pada lokasi tertentu bisa dibatasi per hari atau per tahun. Namun, menurut Nixon, hal ini akan menjadi tawar menawar yang sulit bagi pemerintah dan masyarakat.

“Pariwisata berlebihan merusak budaya,” katanya memperingatkan, “keserahakan akan menghancurkan hal yang sejatinya membuat sebuah tempat berharga untuk dikunjungi.”

“Ekowisata adalah pasar kecil, namun akan berkembang,” kata Colmey.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org