BEREBUT LAHAN
Dikelilingi lahan gambut, rawa dan sungai-sungai kecil, desa Perigi Talang Nangka mempesona dengan kecantikan dan kehijauannya. Namun, petani lokal membersihkan lahan dengan cara umumnya, membakar dan mengeringkan lahan gambut untuk ditanami.
Pengeringan membuat lahan gambut rentan api, hingga menjadi pemicu kebakaran hutan, yang sering tak terkendali. Inilah yang terjadi saat bencana kebakaran dan asap di Indonesia pada 2015. Lebih dari 2,5 juta hektare lahan terbakar, sebagian besarnya adalah lahan gambut. Asap beracunnya menyerang jutaan orang dan membuat emisi gas rumah kaca Indonesia melonjak tiga kali lipat.
Dalam upaya mendapatkan lahan pertanian, masyarakat lokal menuntut pemerintah untuk memberikan 10.000 hektar lahan yang menjadi bagian dari Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor dan hutan produksi. Kawasan ini merupakan rumah bagi beberapa gajah liar yang tersisa di wilayah itu.
Selama beratus tahun, penduduk kampung Melayu hidup berdampingan dengan gajah. Mereka tidak mau meninggalkan tanahnya, meski moratorium pembakaran lahan gambut yang ditetapkan setelah kebakaran 2015 membuat mereka kesulitan menyangga penghidupan.
“Gajah perlu ruang dan perlindungan, begitu pula manusia, perlu ruang dan keamanan ekonomi dari hasil hutan,” kata Edi Rusman, petani Perigi Talang Nangka. “Gajah sudah hidup di sini selama ratusan tahun. Ini habitat aslimereka, dan kami juga tidak ingin gajah punah.”
Samsinyu (56) sedang memeriksa perangkap ikan yang telah dipasangnya 3 hari yang lalu.
Rifky/CIFOR
Perempuan di Desa Perigi secara rutin memanen Purun untuk membuat tikar anyaman.
Rifky/CIFOR
BIOFUEL SEBAGAI SOLUSI
Tanpa sengaja Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dan National Institute of Forest Science (NIFOS) Korea Selatan melangkah masuk. Ilmuwan CIFOR, Yusuf Samsudin melakukan peninjauan lapangan bersama tim dari Universitas Sriwijaya. Ketika itu, masyarakat lokal dari Perigi Talang Nangka mendekat dan meminta bantuan.
“Penduduk bertanya, mereka ingin tahu alternatif penanaman tanpa membakar lahan gambut,” kata Samsudin. “Kita perlu menemukan solusi untuk menjawab dilema pangan, energi dan lingkungan hidup.”
Jawabannya adalah paludikultur. Meskipun tidak mudah diucapkan, teknik pertanian dan kehutanan di lahan basah menjadi solusi berkelanjutan, papar Samsudin
Manfaat teknik pertanian ini cukup besar. Pertama, menjaga agar gambut tetap basah, karbon yang tersimpan tetap aman, sekaligus menjaga agar api tidak memicu kebakaran. Kedua, teknik ini dapat digunakan di lahan gambut yang terdegradasi.
“Tentu saja kami ingin melihat upaya ini berhasil,” ujarnya, Ia berharap paludikultur dapat menjadi solusi untuk mengakhiri pembakaran lahan gambut sebagai cara membuka lahan untuk kelapa sawit, kertas dan padi.
“Lebih lanjut, kami ingin menguji beberapa spesies asli di lahan terdegradasi. Namun, bukan sebatas pemanfaatan di lahan terdegradasi, kami ingin merestorasi fungsi ekosistem lahan agar bermanfaat bagi bumi, alam dan manusia”.
Para peneliti menanam beberapa jenis asli rawa gambut, antara lain nyamplung (Calophyllum inophyllum), belangeran (Shorea belangeran), jelutung (Dyera lowii), bintaro (Cerbera manghas), meranti rawa (Shorea pauciflora), pulai (Alstonia pnumatophora L.), dan medang maras (Blumeodendron kurzii).