Salah satu tantangan perhutanan sosial adalah ternyata para pelaku tidak lantas memahami – termasuk masyarakat yang terlibat di dalamnya. Inilah alasannya, satu tim ilmuwan menerbitkan buku panduan yang mengubah kompleksitas manajemen hutan ini jadi lebih mudah dipahami.
Menggunakan bahasa hukum sederhana tentang bagaimana masyarakat lokal mengelola berbagai kawasan hutan, buku panduan ini berfungsi sebagai rujukan bagi pejabat pemerintah dan penyuluh di lapangan.
Buku ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat lokal mendapatkan haknya atas hutan yang dikelola, sebagaimana terangkum dalam judulnya: Panduan Praktis Penerapan Kebijakan Perhutanan Sosial dalam Mempercepat Reformasi Tenurial Hutan.
“Satu tantangan utama yang memperlambat reformasi tenurial hutan adalah minimnya pengetahuan masyarakat di lapangan mengenai aspek hukum dan tahapan proses reformasi,” kata Nining Liswanti, Peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang memimpin proyek penerbitan buku panduan ini.
Buku panduan – yang disusun CIFOR bekerja sama dengan pengacara di Jakarta, Asep Y. Firdaus – ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial Hutan (GCS-Tenure). Studi ini menginvestigasi implementasi reformasi tenurial hutan dan dampaknya pada keamanan tenurial.
“Hasil penelitian kami menunjukkan, banyak masyarakat bergantung pada hutan – baik asli maupun migran – tidak tahu perhutanan sosial,” kata Liswanti. “Mereka tidak tahu dasar hukum, hak dan kewajiban, proses, atau apakah sudah ada keamanan tenurial pada hutan yang dikelola masyarakatnya.”
Langkah pertama mengubah hal ini adalah melalui edukasi. Panduan ini menjadi semacam buku teks wajib.
KEMAJUAN PROSES
Bukan hanya masyarakat lokal yang minim pengetahuan.
“Banyak badan implementasi di tingkat daerah yang masih menghadapi keterbatasan literasi dalam implementasi perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan,” kata Liswanti.
Dan, jika Anda sedikit bertanya-tanya. Indonesia memiliki lima skema perhutanan sosial (hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemitraan dan hutan adat). Selama bertahun-tahun, untuk mendapatkan lisensi salah satu skema ini sangat rumit dan terfragmentasi. Prosesnya harus melalui berbagai level birokrasi nasional dan daerah, dan bisa menghabiskan dua atau tiga tahun.
Namun, melalui peraturan menteri mengenai perhutanan sosial pada tahun 2016, prosedur ini dibenahi. Kini, prosedur mendapatkan izin jadi lebih ringkas dan dapat diproses antara 24 hingga 37 hari – sebagaimana dipaparkan dalam buku panduan.
Dengan desain yang kecil dan praktis, buku ini mudah dibaca dan sangat kaya, memberi penjelasan istilah-istilah khusus dengan gaya tanya jawab, diagram yang jelas untuk aplikasi tiap skema perhutanan sosial serta lampiran lengkap mengenai regulasi.
“Buku panduan ini menggambarkan tahapan aplikasi lima skema perhutanan sosial yang berbeda. Selain itu, berisi informasi mengenai pengakuan atas masyarakat adat pasca-MK35,” kata Liswanti, merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi 2013 di Indonesia yang mengeluarkan hutan adat dari kategori hutan negara. Keputusan ini merupakan pengakuan hak masyarakat lokal atas wilayah tradisi mereka.
Ringkasnya, buku ini mengajari masyarakat dan pengambil keputusan mengenai berbagai opsi dan hak masyarakat hutan.
MELIHAT LAMPUNG
Proyek penelitian GCS-Tenure menemukan bahwa masyarakat yang mengimplentasikan reformasi tenurial hutan, baik secara langsung atau tidak langsung menghadapi tantangan dan pertanyaan yang perlu diatasi. Buku panduan ini menjawab masalah-masalah ini dengan menarik pembelajaran di bidang perhutanan sosial. Menurut Liswanti, lokasi penelitian, khususnya di Lampung, menginspirasi buku ini.
Pada 2014, Presiden Indonesia, Joko Widodo menargetkan 12,7 juta hektare lahan hutan dialokasikan untuk skema perhutanan sosial. Hingga 2017, hanya kurang dari 10% target ini tercapai.
Lampung merupakan satu dari sedikit tempat yang sukses berkontribusi dalam persentase ini. Dengan pengalaman hampir 20 tahun menerapkan perhutanan sosial, Lampung telah menerapkan seluruh skema perhutanan sosial, termasuk hutan adat.
“Awalnya, buku ini merupakan kumpulan masukan dari pemangku kepentingan masyarakat adat dan badan pelaksana implementasi,” kata Liswanti. “Temuan dari aktivitas lokakarya dan hasil analisis prospektif partisipatoris di Lampung dan Maluku mengantar pada penyusunan buku panduan ini.
Kini, kontribusi para pemangku kepentingan digunakan untuk membantu yang lain belajar, bahkan dalam masyarakat mereka sendiri.
“Buku panduan ini merupakan materi utama kami dalam memberikan pelatihan literasi hukum di tingkat masyarakat,” kata Liswanti. “Mereka sangat gembira mendapati buku ini.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org