Wawancara

Melihat dari Semua Sisi: Mengapa Kita Perlu Lebih Banyak Perempuan dalam Sains

T&J dengan Ilmuwan Kehutanan CIFOR-ICRAF, Nining Liswanti
Bagikan
0
Ilmuwan CIFOR-ICRAF, Nining Liswanti berbagi hasil penelitian dengan Kepala Desa di Pulau Osi, Kabupaten Seram Barat, Maluku. Foto oleh:

Bacaan terkait

Nining Liswanti merupakan seorang peneliti CIFOR-ICRAF Indonesia. Ia menyandang gelar sarjana kehutanan dari Universitas Gajah Mada, dan Magister Manajemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dari Institut Pertanian Bogor. Ia telah mengerjakan sejumlah aktivitas riset termasuk asesmen keanekaragaman hayati, bentang alam multi disiplin, perencanaan penggunaan lahan, tenurial hutan dan lahan, proses multi-pihak Pohon di Perkebunan (TonF), serta gender dan perubahan iklim. Saat ini meneliti perlindungan REDD+ bagi masyarakat adat dan lokal di Indonesia. Ia berpengalaman bekerja dengan beragam pemangku kepentingan dari tingkat lokal hingga nasional lintas sektor kehutanan di Indonesia.  

T: Mengapa Anda menjadi ilmuwan? Motivasi apa yang dimiliki saat bekerja? 

J: Saya suka bekerja dengan alam dan masyarakat, khususnya masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan (termasuk perempuan dan kelompok minoritas etnik); senang bepergian; suka peluang dan pengalaman baru. Dan saya bisa mendapatkan semua ini ketika mulai bekerja di CIFOR, melakukan berbagai jenis aktivitas riset, baik itu biofisik maupun ilmu pengetahuan sosial, di berbagai pulau di Indonesia. Apalagi hutan tropis Indonesia sangat kaya keanekaragaman hayati, selain keragaman budaya dan kelompok etnis asli. Hal ini memotivasi saya untuk belajar sesuatu yang baru dan – jika bisa – berkontribusi memberi manfaat langsung dan tak langsung bagi masyarakat lokal di negeri ini.  

T: Dapatkah diberikan contoh kendala untuk menjadi ilmuwan? Bagaimana peluang (situasi atau orang) yang mendorong Anda bisa maju dalam karir?  

J: Saya pikir saat ini perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang dan tantangan yang setara dalam sains. Saya beruntung bekerja dengan para ilmuwan besar di CIFOR yang memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan saya melalui dukungan mereka. Jika kita mau mencoba dan belajar melakukan hal baru, pintu karir selalu terbuka. Namun, bekerja di daerah terpencil menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan, yang sering kali tidak sebebas laki-laki saat melakukan aktivitas dengan masyarakat. Mereka juga sedikit bergantung pada laki-laki – khususnya di kampung tanpa listrik atau fasilitas lain, berjalan sendiri di malam hari tidak mudah bagi perempuan. Sesekali, saat anak sakit saat di lapangan, kekhawatiran saya sebagai ibu muncul karena saya jauh dari rumah.

   Nining Liswanti memimpin lokakarya tenurial di Pulau Osi, Kabupaten Seram Barat, Maluku. Foto oleh: Ulet Ifansasti/CIFOR-ICRAF
   Nining Liswanti tertawa bersama peserta selama lokakarya berlangsung. Foto oleh: Ulet Ifansasti/CIFOR-ICRAF

T: Apa makna yang diperoleh sebagai perempuan yang berkiprah dalam sains?  

J: Saya bangga menjadi perempuan yang berkontribusi pada sains, karena ini membuktikan bahwa peremuan bisa maju kalau mau. Di CIFOR-ICRAF misalnya, ada banyak perempuan dalam sains. Saya bekerja dengan banyak peneliti perempuan yang menunjukkan kesabaran, totalitas, kreativitas dan inovasi – selain kesungguhan untuk menyelesaikan pekerjaan. 

T: Mengapa kepemimpinan perempuan penting dalam sains? 

J: Di Indonesia saat ini banyak perempuan terkemuka yang mengisi posisi puncak, baik di sektor pemerintahan maupun non-pemerintah. Hal ini terjadi karena ketika perempuan menjadi pemimpin banyak manfaat yang diperoleh bagi organisasi, mereka bisa melihat dari sisi yang tak terlihat. Apalagi, jumlah perempuan Indonesia yang merengkuh peluang bekerja dalam sains terus meningkat. Fenomena ini jadi hal biasa di Indonesia, dan saya pikir akan memberi dampak positif. Selamat Hari Perempuan Internasional! 

______

Baca karya-karya Nining Liswanti: 

Pembangunan Kepercayaan dalam Forum Multi-Pihak di Jambi, Indonesia 

Reformasi Tenurial dan Persepsi Keamanan Pangan di Indonesia: Studi Ekploratori 

Kemana Arah Implementasi Tenurial Hutan di Indonesia?: Perspektif Pemangku Kepentingan Tingkat Nasional 

Pembiayaan Iklim dan Gender di Lapangan: Pembelajaran dari Intervensi Mitigasi dan Adaptasi di Indonesia  

Mundur ke Hutan: Bagaimana Masyarakat Bergantung Hutan Menghadapi Bencana dalam Perubahan Bentang Alam

______ 

Artikel ini merupakan bagian keempat dari rangkaian T&J dengan ilmuwan perempuan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestri (CIFOR-ICRAF). Menjelang Hari Perempuan dan Anak Perempuan dalam Sains (11 Februari), kami mewawancarai mereka untuk mengetahui motivasi, kendala yang dihadapi, makna menjadi perempuan dalam sains, serta urgensi perempuan untuk mendapatkan posisi setara dan representasi yang layak di sektor ini. Baca T&J dengan ilmuwan bioenergi Mary Njenga, ilmuwan pangan dan nutrisi Mulia Nurhasan, serta mitra riset pasca-doktoral Eponle Usoh Sylvie.  

Informasi lebih mengenai karya Nining Liswanti, silakan kontak N.Liswanti@cifor-icraf.org 

Informasi lebih mengenai CIFOR-ICRAF mengenai Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI), silakan kontak Elisabeth Leigh Perkins Garner (e.garner@cifor-icraf.org) atau Anne Larson (a.larson@cifor-icraf.org). 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org