Bagikan
0

Bacaan terkait

“Saat kita bicara perlindungan hutan, kita harus ingat bahwa hutan tidak hanya menguntungkan bagi negara itu sendiri, tetapi juga bagi semua orang di dunia. Ini penting diingat saat membahas pembayaran berbasis hasil.

Mekanisme pembayaran – diutarakan oleh Martijn Wilder AM, kepala Global Environmental Market and Climate Change McKenzie – merupakan sebuah komponen penting REDD+, ganjaran bagi negara yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca.

Namun, komponen ini dan berbagai komponen lain program PBB yang bertujuan melakukan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (disingkat REDD) menghadirkan kesulitan bagi negara implementasi.

Berbagai tantangan tersebut didiskusikan dalam “Forests in NDCs: Operationalizing REDD+ in the region”, sebuah panel tingkat tinggi Asia-Pacific Rainforest Summit 2018 di Yogyakarta, Indonesia.

Satu dekade sejak kelahirannya di Bali, REDD memperluas misinya mencakup upaya konservasi, keberlanjutan dan stok karbon (dirangkum dalam tambahan ‘+’), dan kemudian dipandang sebagai cara bagi negara berkembang dalam mewujudkan NDC – komitmen kontribusi nasional berdasar pada Perjanjian Paris 2015.

Para panelis menyatakan, pembayaran berbasis hasil merupakan salah satu tantangan terbesarnya.

“Hanya segelintir negara REDD+ yang berhasil mengakses pembayaran berbasis hasil,” kata moderator diskusi, Dr. Nur Masripatin, Penasihat Senior Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

“Saat ini, kami dalam proses membangun lembaga keuangan untuk mengelola pembiayaan REDD+,” kata Emma Rachmawaty, Direktur Mitigasi kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

“Mengingat pembentukan lembaga ini belum selesai, kami belum bisa mengimplementasikan pembayaran berbasis hasil.”

Gwen Sissiou, Manajer Umum REDD+ dan Mitigasi pada Badan Perubahan Iklim dan Pembangunan Papua Nugini mengangkat tantangan berat dalam sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV), sebagai dokumen kemajuan sebagai acuan pembayaran.

“Tantangannya banyak dan kompleks,” katanya. “Dalam REDD+, kita perlu meningkatkan kapasitas dalam MRV.”

Gwen Sissiou, Manajer Umum REDD+ dan Mitigasi di Badan Perubahan Iklim dan Pembangunan Papua Nugini, berbicara pada diskusi panel.

 

 

INVESTASI BERNILAI

Menarik investasi swasta – yang dapat memberi dukungan besar bagi berbagai negara dalam mewujudkan NDC di negara masing-masing – merupakan argumen tambahan mengapa pemerintah perlu memiliki kerangka kerja yang solid untuk REDD+ dan berbagai upaya sejenis lain.

Juan Chang, Spesialis Senior Green Climate Fund (GCF) – lembaga yang berkomitmen mengucurkan dana 3,7 miliar dolar AS untuk proyek pengentasan perubahan iklim di dunia – menyatakan, untuk menarik investasi, pemerintah perlu memiliki regulasi yang jelas dan konsisten, agar dapat menopang program sebesar REDD+.

Lebih jauh, ia menyarankan agar pemerintah harus menyosialisasikan bagaimana mereka memanfaatkan uang investasi tersebut melalui berbagai instrumen finansial (pinjaman, saham, penjaminan dll.), menselaraskan upaya perubahan iklim di semua level pemerintah, dan memiliki sistem MRV.

Para panelis menunjuk Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang membuktikan bahwa hal ini dimungkinkan. Sejak 1970, provinsi ini bergantung pada bahan bakar tak terbarukan dalam pembangunan. Ketergantungan ini mengarah pada penurunan laju pertumbuhan ekonomi.

“Dengan ekstraksi sumber daya alam, Kalimantan Timur menjadi provinsi terbesar keenam dalam emisi karbon di Indonesia,” kata Profesor Daddy Ruhiyat dari Dewan Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Timur. “Mayoritas emisi dihasilkan dari konversi hutan dan perubahan pemanfaatan lahan lain.”

Untuk membalikkan kondisi, provinsi ini mengembangkan konsep Pertumbuhan Hijau. Pada 2009, dimulai persiapan implementasi REDD+, melaksanakan program harmonisasi upaya reduksi emisi antara pemerintah kabupaten dan provinsi. Dibentuk dewan provinsi untuk mengkoordinasikan aktivitas perubahan iklim, membentuk unit pengelolaan hutan dan mengakselerasi program perhutanan sosial.

“Pemerintah Kalimantan Timur melakukan langkah signifikan menuju transformasi ekonomi – mengubah ketergantungan ekonomi pada sumber daya alam tak terbarukan menjadi terbarukan, dalam bentuk pertanian dan pengolahan produk primer,” kata Ruhiyat.

Pada Oktober 2015, kementerian lingkungan hidup memilih Kalimantan Timur sebagai lokasi percontohan program reduksi emisi berbasis-performa, dan didukung oleh Forest Carbon Partnership Facility Bank Dunia. Sejak saat itu, Kalimantan Timur terus menselaraskan upaya REDD+ nya dengan agenda nasional dan kebijakan perubahan iklim.

KUASA UNTUK MASYARAKAT

Tidak seluruh masalah REDD+ berorientasi finansial. Para panelis menyatakan, keberhasilan REDD+ juga sangat bergantung pada pelibatan masyarakat lokal, kemauan dan kapasitas mereka untuk berkontribusi pada aktivitas reduksi-emisi.

Dahniar Andriani dari HuMa Indonesia, LSM yang berfokus memperkuat hak masyarakat adat, menyatakan bahwa undang-undang dan regulasi yang ada saat ini tidak cukup mengakui peran penting masyarakat adat dalam mitigasi perubahan iklim.

Menyelesaikan masalah ini berarti harus memperkuat hak tenurial lokal atas hutan adat. Pada 2012, keputusan mahkamah konstitusi yang mencabut hutan adat dari kategori sebagai hutan negara merupakan lompatan besar dalam mengakui peran masyarakat lokal di Indonesia. Namun, tanpa keamanan tenurial sepenuhnya, masyarakat lokal kurang memiliki insentif untuk menginvestasikan waktu dan energinya dalam upaya REDD+.

“Perjalanan masyarakat adat masih panjang – namun kita telah memulai perjalanan panjang ini dan melihat ada tanda-tanda positif, jadi kita optimistis,” kata Dr. Marsipatin, memberikan kesimpulan sesi diskusi.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org