Bagikan
0

Bacaan terkait

Di masyarakat di seluruh dunia, agroforestri – menanam berbagai jenis pohon di antara atau di sekitar tanaman pangan – telah lama terbukti lebih beragam, produktif dan menguntungkan. Keuntungan lain yaitu membantu melindungi lingkungan dengan mencegah erosi tanah dan mengurangi ketergantungan pada hutan.

Agroforestri juga dapat memberikan kontribusi penting untuk Tantangan Tanpa Kelaparan PBB, yang bertujuan untuk mengakhiri kelaparan global, mengurangi gizi buruk dan membangun sistem pangan berkelanjutan. Memasuki tantangan yang lebih besar ini, agroforestri dapat membantu mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan menggandakan produksi makanan petani skala kecil pada tahun 2030.

Agroforestri memberikan sejumlah manfaat bagi petani hutan skala kecil, mulai dari pembiayaan hingga sosial-ekonomi dan ekologi. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: jika pertanian berbasis pohon berhasil, mengapa setiap petani tidak menanam pohon?

Pada penelitian yang dipublikasikan tahun lalu, para ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan lembaga mitra mendokumentasikan praktik-praktik agroforestri di dua daerah tropis di Asia yang berbeda – lembah Gunung Salak, di provinsi Jawa Barat dan distrik Khagrachhari di negara Bangladesh bagian timur – untuk menemukan jawabannya.

MENUMBUHKAN MOTIVASI

Kedua tempat yang diteliti menghadapi empat tantangan utama dalam pemanfaatan lahan: tekanan penduduk, kekurangan lahan pertanian, tingkat deforestasi dan degradasi yang tinggi, serta pergiliran penanaman jangka pendek. Rata-rata petani di lembah Gunung Salak berpenghasilan kurang dari 35 juta rupiah (sekitar 2500 dolar) dan 21 juta rupiah (sekitar 1500 dolar) di distrik Khagrachhari, serta menempatkan peningkatan permintaan pada lahan berhutan untuk menghasilkan lebih banyak tanaman pangan dan kayu untuk bahan bakar, meningkatkan infrastruktur, dan pendapatan langsung.

Meskipun agroforestri memiliki kemampuan untuk membantu meningkatkan ketahanan bentang alam dan keragaman mata pencaharian, alasan paling umum petani di daerah ini menolak agroforestri adalah karena kurangnya motivasi.

Hal ini sebagian besar disebabkan akibat ketidakjelasan hak lahan atau tenurial. Karena tanah mereka milik pemerintah, penduduk lokal memiliki semangat yang rendah untuk melakukan investasi jangka panjang di bentang alam tersebut. Tanpa kepemilikan, para petani sering menghadapi pengelolaan yang kurang efektif dan menerima imbalan finansial yang lebih rendah untuk tanaman dan kayu mereka, tidak memberikan insentif kepada mereka untuk berkomitmen pada metode yang berfokus pada masa depan, yaitu agroforestri.

Tradisi penanaman tanaman pangan lokal juga menyebabkan kurangnya motivasi. Sebagian petani tidak ingin mengubah cara pergiliran penanaman yang biasa mereka lakukan – sebuah cara yang dipakai di kedua negara yaitu dengan lahan dibuka untuk ditanami, melalui pembakaran. Tanaman seperti pisang, sayuran, dan padi gogo telah dibudidayakan dengan cara yang sama selama berabad-abad, prospek perubahan tersebut bertemu dengan resistensi.

Alasan paling umum mengapa petani di daerah ini menolak agroforestry adalah karena kurangnya motivasi

Syed Ajijur Rahman, Peneliti CIFOR

KAPASITAS CAPS

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kurangnya motivasi jauh lebih besar daripada masalah lain: kurangnya kapasitas, termasuk kurangnya pengetahuan yang cukup, bantuan teknis dan modal. Agar agroforestri berhasil, petani perlu belajar pohon mana yang cocok untuk jenis lahan mereka, bagaimana mengelola pohon-pohon itu dan bagaimana memasarkan produk-produk agroforestri.

Untuk membantu mengatasi tantangan ini, kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan sistem kredit yang fleksibel, karena banyak petani tidak memiliki agunan untuk pinjaman bank dan karena itu tidak mampu melakukan perbaikan besar pada bentang alam mereka.

Pasar agroforestri juga membutuhkan bantuan dalam pengembangannya. Di Bangladesh, misalnya, peraturan pemerintah yang dimaksudkan untuk melindungi hutan yang tersisa mempengaruhi para petani pohon yang ingin memasarkan kayu mereka tetapi membutuhkan izin khusus dari pemerintah. Hal ini terkait kembali dengan ketidakamanan penguasaan lahan, dan ketidakmampuan petani untuk mendapatkan keuntungan yang cukup dari tanah mereka.

Ada juga kebutuhan akan penyuluhan yang efektif untuk didukung oleh pemerintah atau LSM, yaitu informasi dan pendidikan tentang pengelolaan pohon yang tepat. Pengetahuan dan pemahaman penuh tentang manfaat pertanian berbasis pohon dapat membantu memotivasi petani untuk mengejar pendekatan agroforestri.

KEKUATAN ORANG-ORANG

Di banyak komunitas petani kecil, meskipun petani perorangan membuat keputusan akhir tentang apa yang akan tumbuh, pilihan mereka dipengaruhi oleh keputusan dan keyakinan dari otoritas lokal, seperti tetua desa, pemimpin agama dan guru sekolah. Disamping pemerintah, para aktor lokal yang kuat ini dapat memainkan peran kunci dalam adopsi pertanian pohon.

Dengan mengambil pendekatan jangka panjang, institusi masyarakat seperti kelompok tani dan pusat keagamaan dapat secara signifikan berkontribusi pada peningkatan adopsi metode agroforestri yang sukses dengan bersinergi dengan program yang bermanfaat bagi masyarakat dan meningkatkan kesadaran akan pengelolaan sumber daya lokal yang berkelanjutan. Ini dapat berjalan bergandengan tangan dengan pendidikan anak, keluarga berencana, nutrisi dan inisiatif masyarakat lainnya.

Penting juga bahwa penduduk setempat dilibatkan dalam membantu pemerintah memahami apa yang dibutuhkan oleh komunitas mereka. Karena petani mengambil lebih banyak tanggung jawab, mereka akan merasa lebih berdaya dan lebih mungkin untuk mengadopsi agroforestri dengan sukses.

PERLAHAN TAPI PASTI

Dalam kasus di mana petani tidak menanam pohon mereka sendiri, mereka akan beralih ke hutan – bahkan di kawasan lindung – untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk mata pencaharian mereka. Agroforestri memiliki kapasitas untuk mengurangi praktik ini. Dengan memasukkan pohon dan praktik pertanian, diperlukan pendekatan bentang alam untuk meningkatkan mata pencaharian setempat sembari memitigasi kerusakan lingkungan.

Untuk mendukung pendekatan semacam itu, penting untuk meningkatkan tidak hanya inisiatif pemerintah tetapi juga partisipasi masyarakat melalui peningkatan keamanan kepemilikan lahan dan memperkuat kapasitas.

Indikator keberhasilan akan meningkatkan kepatuhan terhadap batas antara hutan lindung dan daerah pertanian, karena petani akan menghasilkan hasil hutan – seperti kayu, kayu bakar dan buah – dengan sendirinya, meskipun ini mungkin memerlukan waktu. Untuk mendorong petani meningkatkan tutupan pohon di lahan yang masih mereka gunakan secara tradisional, pendekatannya harus bertahap. Namun hal itu juga bisa menghasilkan lebih banyak makanan dan tutupan hutan.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Syed Ajijur Rahman di s.rahman@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Forest and Nature for Society (FONASO).
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org