Berita

Silsilah keluarga tropis: Melacak evolusi masa lalu hutan

Sejarah leluhur hutan dunia tidak seperti yang selama ini kita pikirkan. Dan, sejarah itu bisa membantu memprediksi masa depan.
Bagikan
0
Sulur merambat di hutan hujan dekat Porto Velho, Rondonia, Brasil. Foto CIFOR/Kate Evans

Bacaan terkait

Para ilmuwan melacak sejarah evolusi hutan tropis dunia, dengan hasil yang mengejutkan –  dan wawasan baru yang dapat membantu menyempurnakan respon atas perubahan iklim.

Bagi masyarakat umum hutan tropis di Afrika, Asia dan Amerika Latin terlihat sama. Tetumbuhan hijau lebat dari bawah sampai kanopinya. Dilihat lebih dekat, hutan ternyata berbeda. Hanya 4% spesies pohon tropis ditemukan di seluruh tiga benua itu. Di Afrika, misalnya, sedikit sekali sawit di hutan Afrika. Sementara di Asia dan Amerika Latin, berbagai jenis sawit ditemukan di bawah kanopi.

Berdasarkan sedikitnya spesies yang serupa, ilmuwan awalnya melakukan pemisahan antara hutan ‘dunia lama’ Afrika dan Asia serta hutan ‘dunia baru’ Amerika yang relatif lebih berjarak. Namun, sebuah penelitian terbaru, menggunakan teknik yang disebut ‘kesamaan filogenetik komunitas’, mencoba menggali kembali evolusi tanaman di masa lalu untuk mengungkap hubungan baru.

Lebih dari 100 ilmuwan menyumbangkan data dari petak hutan di Asia, Afrika dan Amerika Latin, hingga terkumpul hampir sejuta sampel berbeda dari 15.000 spesies pohon. Kemudian, peneliti utama Ferry Slik, dari Universiti Brunei Darussalam, menganalisis ‘keterkaitan’ tiap spesies pohon – sejauh mana mereka memiliki kesamaan leluhur– di antara seluruh petak hutan. 

“Kita memilih dua lokasi, dan di tiap lokasi kita membuat daftar 20 spesies,” kata Slik.

“Bahkan jika tidak ada spesies yang sama, dengan menggunakan filogeni – silsilah keluarga – kita tetap dapat membandingkan dua hutan, karena pada tingkat tertentu evolusi masa lalu spesies ini saling terkait.

“Untuk tiap spesies di lokasi pertama, kita mencari spesies terkait paling dekat di lokasi kedua. Kemudian kita dapat menggunakan filogeni untuk menelaah sudah berapa lama spesies ini terpisah.

“Kemudian kita lakukan itu untuk seluruh 20 spesies dan menghitung rata-ratanya. Spesies yang menunjukkan keterkaitan erat dengan spesies lain, akan makin menunjukkan kemiripannya dalam analisis ini.”

TEMUAN MENGEJUTKAN

Ketika mengolah angka, mereka membalikkan sejumlah pandangan lama mengenai biogeografi dunia. Jadi tampak jelas bahwa ternyata hutan Afrika dan Amerika Latin merupakan sepupu dekat. Sementara hutan Asia dan Pasifik terbentuk dari cabang lain keluarga.

Begitu pula dengan pulau besar Madagaskar dan Papua Nugini – yang sebelumnya diyakini sebagai dua wilayah besar tropis yang terpisah – ternyata saling terkait, sebagai bagian dari keluarga Indo-pasifik.

“Jika semata melihat pada komposisi pohon Madagaskar dan Papua Nugini, hampir tidak ada irisan spesies, karena keduanya dipenuhi oleh pohon endemik yang hanya ada di sana. Tetapi, sejatinya mereka terkait erat.”

Para peneliti juga menemukan kaitan antara hutan subtropis di Asia Timur dan hutan di Amerika. Bagi Slik, temuan itu menunjukkan bahwa keduanya merupakan sisa-sisa hutan tropis besar yang hilang, terentang dari Amerika Utara ke Tiongkok, ketika bumi masih lebih hangat sekitar 15 juta tahun lalu.

“Saya senang bahwa hutan tersebut tidak sepenuhnya hilang, dan hutan ini adalah keturunannya,” kata Slik.

MASA DEPAN DI MASA LALU

Temuan ini memperkuat teori bahwa hutan tropis memiliki leluhur yang sama dari periode Cretaceous, 100 juta hingga  66 juta tahun lalu. Ketika itu dinosaurus masih menguasai bumi, dan benua selatan masih bersatu dalam benua besar, Gondwana.

Ketika permukaan benua saling terpisah, hutan terisolasi. Seiring waktu, pepohonan beradaptasi pada kondisi berbeda dan berevolusi menjadi spesies baru.

“Saat pola cuaca global lebih kering, kita mendapati petak hutan hujan menyusut, dan spesiesnya jadi lebih mengerucut, untuk kemudian menyebar lagi,” kata Terry Sunderland, salah seorang penulis laporan penelitian, Mitra Senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Profesor di Universitas British Columbia.

“Terdapat bukti fosil serbuk sari untuk flora sawit yang kaya di Afrika, misalnya, meskipun ketika melalui periode yang sangat lebih kering dibanding wilayah lain, kemudian banyak yang punah.”

Penelitian baru ini, kata Sunderland sangat signifikan karena dapat membantu mengembangkan respons atas perubahan iklim yang sesuai spesifikasi wilayah.

“Pertanyaan besarnya ‘jadi mau apa?’. Filogenis memberi kita bukti menarik perubahan atas waktu, dan bisa membantu kita melakukan prediksi dari perspektif taksonomi mengenai apa yang akan terjadi di masa depan.

“Sudah jelas bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini lebih cepat dibanding masa lalu. Penelitian ini memberi kita informasi bagaimana hutan beradaptasi pada iklim yang selalu berubah dan bagaimana mereka bangkit. Kita perlu mengetahui hal ini, karena kita perlu bisa memanfaatkan temuan ini untuk membantu menghadapi perubahan iklim.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Ferry Slik di johan.slik@ubd.edu.bn .
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Perubahan Iklim Bentang alam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Lebih lanjut Perubahan Iklim or Bentang alam or Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Lihat semua