Bagikan
0

Ketika Sony Parakate melihat seperangkat tongkat bambu berdiri tegak di dalam hutan, dengan salah satu sisi yang menggantung di sisi bayangannya, dia paham untuk menjauh. Struktur khas ini menunjukkan sebuah tempat yang merupakan tabu adat – dan tongkat adalah bagian dari hukuman tradisional bagi pelanggarnya.

‘Sasi” adalah nama sebuah teknik pengelolaan sumber daya alam adat yang menegakkan pemanenan secara rotasional di provinsi Maluku, Indonesia. Ketika sebuah areal hutan, atau bahkan sebuah pohon, termasuk ‘sasi’, ini berarti ada pembatasan untuk pemanenan hingga seseorang yang menandainya datang dan mengambil tanda tersebut.

Teknik kuno ini memastikan kelestarian pasokan produksi hutan semisal kakao, resin, kopi, dan buah-buahan, dengan memberi waktu bagi tanaman untuk memulihkan diri dari pemanenan.

“Di masa lalu, hukuman bagi pelanggar ‘sasi’ adalah satu pukulan dengan tongkat untuk pelanggaran pertama, 10 kemudian dan 100 setelahnya,” kata Sony.

Namun di banyak kasus, yang kemudian terlihat, simbol bagi struktur itu sendiri – bersamaan dengan denda yang dikeluarkan oleh pemimpin masyarakat – yang cukup mempan untuk mencegah mereka melakukan kesalahan.

   Tanda untuk 'sasi gereja' - menjaga pohon kakao dari pencuri. Ulet Ifansasti/CIFOR

TANDA SILANG

Tabu ‘Sasi’ tidak hanya berlaku dalam kekuatan mitos dan legenda lokal saja, namun dalam ketertiban beragama pula. Teknik ini telah diadaptasikan dalam agama Katolik yang menjadi mayoritas di provinsi Maluku.

“Terdapat beberapa jenis ‘sasi’ yang berbeda – ‘sasi adat’, ‘sasi gereja’, kata Latu Pieter, mantan ‘Raja/Kepala Desa’ adat dari Honitetu.

‘Sasi Gereja’ menjadi berkah bagi gereja lokal dan untuk jemaatnya, adalah wujud ketakutan akan Tuhan. Melanggar ‘sasi gereja’ itu berarti melakukan dosa, dan beragam cerita terkait ketidakberuntungan yang misterius yang dialami pelanggar sebagai konsekuensinya.

Tanda buatan tangan menunjukkan sebuah peringatan untuk menjauh, ditandai dengan tanda salib. Sony dan tetangganya menunjukkan bagaimana tanda kayu diwarnai dengan spidol permanen, dan dipakukan ke tiang atau pohon menggunakan batu sebagai palunya.

“Siapapun yang melanggar tanda ini tidak akan dihukum dengan penjara atau semacamnya, namun mereka harus membayar denda,” lanjut Pieter.

   Julian Yawate mengumpulkan resin dari pohon damar yang dibuka dari 'sasi'. Ulet Ifansasti/CIFOR
   Getah damar dilakukan dengan cara melukai kulit batang Ulet Ifansasti/CIFOR
   Getah damar yang sudah mengering Ulet Ifansasti/CIFOR

TABU YANG LESTARI

Kelangsungan tradisi ‘sasi’ di Maluku menunjukkan pengakuan akan keefektifannya sebagai sebuah teknik pengelolaan sumber daya alam. Diadaptasi untuk merubah kondisi legal, bentang alam dan kepercayaan, hal ini telah menjaga kekuatannya dalam imajinasi lokal, seiring dengan hasilnya untuk pengelolaan hutan yang lestari.

Sejalan dengan berlanjutnya proses panjang reformasi tenurial di Indonesia, hukum adat – yang dikenal dengan adat – semakin mendapatkan pengakuan dalam pembuatan kebijakan nasional maupun subnasional.

Penelitian menunjukkan bahwa ini tidak hanya memberikan hasil yang lebih baik dalam keadilan dan kesetaraan, namun juga kelestarian.

Di Maluku, penghormatan untuk hak adat – dengan kerangka kerja tata kelola yang baik dan pengambil keputusan kolaboratif – dinyatakan sebagai skenario yang diinginkan untuk jaminan tenurial bagi masyarakat lokal.

Kami ingin melihat jika sistem adat ini dapat diintegrasikan ke dalam sistem formal.

Nining Liswanti, Peneliti CIFOR

“Di Indonesia, Maluku dikenal dengan komitmen kuatnya pada hukum adat,” kata peneliti Nining Liswanti, yang merupakan koordinator Indonesia untuk  Studi Komparatif Global tentang Reformasi Tenurial Hutan yang dipimpin oleh Pusat Penelitian Kehutnan Internasional (CIFOR). 

“Seluruh hutan di Maluku telah diklaim di bawah kepemilikan adat dan telah diakui, setidaknya secara de facto, oleh pemerintah provinsi, distrik dan lokal.”

Dengan berlimpahnya bukti dari preferensi lokal terkait pengelolaan adat, sejalan dengan keefektifannya, masyarakat sekarang tengah mempersiapkan diprosesnya hal ini agar memperoleh pengakuan secara legal oleh pemerintah.

“Kami ingin melihat jika sistem adat ini dapat diintegrasikan ke dalam sistem formal, jika tidak bisa dalam konteks kepemilikan lahan, setidaknya pada hak masyarakat untuk mengelola dan mengambil manfaat dari hutan,” terang Liswanti.

Diproduksi secara kolaboratif bersama dengan Aris Sanjaya (video), Ulet Ifansasti (fotografi), Aini Naimmah (transkripsi), Budhy Kristanty (produksi) dan masyarakat Desa Honitetu, Maluku, Indonesia.  

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Esther Mwangi di E.Mwangi@cgiar.org atau Nining Liswanti di N.Liswanti@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Komisi Eropa, Global Environment Facility (GEF), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org