Bagikan
0

Artikel ini merupakan bagian pertama dari rangkaian tiga reportase dari desa Honitetu di Maluku, Indonesia.

Berlokasi di perbukitan subur Seram, pulau terbesar di provinsi Maluku, Indonesia, desa Honitetu menyatu dengan hutan sekitar. Hanya sedikit jalan menghubungkan pemukiman-pemukiman yang tersebar. Akses internet hanya ada di sekolah dasar setempat.

Di sini, hutan menjadi sumber kehidupan dan kekayaan – mulai dari buah-buahan, sayuran, kayu bakar dan aktivitas mendapatkan kayu, menyadap resin, sagu, serta berbagai rempah bernilai tinggi yang sempat membuat kepulauan Maluku menjadi pusat perhatian dunia.

Hutan Honitetu dikelola sebagaimana telah berlangsung lama sebelumnya: oleh masyarakat lokal di bahwa otoritas ‘Raja’ – sebuah peran yang dimainkan lelaki dan perempuan – dengan bantuan mitos dan tabu.

“Sejak waktu belum dicatat, sudah ada hutan di Honitetu,” kata Latu Pieter, mantan pemimpin desa. “Di Honitetu, kami tidak mengenal istilah ‘hutan milik pribadi’. Hutan dimiliki masyarakat, dikelola di bawah kontrol adat.”

Namun, seiring perubahan aturan tenurial, pengelolaan adat menghadapi tantangan dari kontrol pemerintah terpusat, masuknya industri swasta yang berbekal izin, makin terbatasnya hak masyarakat setempat, dan berkurangnya luas hutan tempat mereka mencari makanan dan bertani.

Dalam sebuah langkah bersejarah, tahun lalu pemerintah Indonesia memberikan hak adat pada lahan seluas 13.000 hektare di seluruh negeri. Pada 2019, pemerintah menargetkan menyerahkan hak lahan seluas 12,7 juta hektare – atau setidaknya sebagian hak di bawah skema perhutanan sosial. Namun, kelompok adat menuntut hak penuh atas lahan adat mereka, dengan luas klaim tambahan mencapai lebih dari 8 juta hektare.

Sebagai sebuah provinsi dengan tradisi pengelolaan hutan adat yang kuat, Maluku bergabung dalam menuntut hak penuh masyarakat lokal atas hutan. Sebagian masyarakat bersiap menjalani proses pemerintah dalam mencapai pengakuan legal atas hukum adat.

Namun, tantangannya tidak hanya terletak pada pemenuhan syarat legal dari Jakarta, tetapi juga dalam menetapkan batas antar kerajaan berdekatan, dan menjamin distribusi hak yang berkeadilan.

   Kepala desa di Maluku dikenal sebagai 'Bapa Raja' atau 'Ibu Raja' - pria dan wanita 'Raja'. Mantan Raja Honitetu, Latu Pieter, memberikan wewenang kepada pemimpin lokal lainnya setelah pemilihan demokratis tahun 2016. Ulet Ifansasti/CIFOR

Di Honitetu, kami tidak mengenal istilah ‘hutan milik pribadi’. Hutan dimiliki masyarakat, dikelola di bawah kekuasaan adat.

Latu Pieter, mantan Raja Honitetu
   Lince Latumadina (69), berjalan seperti membawa kayu bakar di desa Honitetu. Ulet Ifansasti/CIFOR
   Perempuan pengumpul damar, Adrana Laine, berpose untuk foto di dalam rumahnya di desa Honitetu. Ulet Ifansasti/CIFOR

Yang membuat kami kecewa, perusahaan kayu bisa mendapatkan hak usaha legal dan dapat secara efektif melarang masyarakat menebang pohon.

Sony Parakate, penduduk Honitetu

TUMPANG TINDIH KLAIM

“Maluku adalah tempat yang sangat istimewa, dalam soal tenurial di sini bersifat tenurial adat dan akses yang bersifat hak adat. Namun kemudian hal ini tumpang tindih dengan klaim pemerintah atas beragam kategori hutan di tempat yang sama,” kata ilmuwan utama Esther Mwangi, yang memimpin penelitian global reformasi tenurial untuk Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Meski terdapat pengakuan de facto atas hak hutan adat di Maluku, berdasarkan undang-undang, seluruh hutan di provinsi tersebut diklasifikasikan sebagai hutan negara atau hutan pribadi. Aturan ini menghalangi hak pemanfaatan bagi masyarakat lokal. Di hutan negara, memetik hasil hutan untuk kebutuhan pribadi diizinkan, namun tidak boleh dijual.

Masyarakat lokal menentang larangan ini, dengan alasan bahwa hasil hutan merupakan kerja mereka selama beberapa generasi, dan hasil penjualannya berkontribusi penting bagi penghidupan mereka.

Dalam hutan swasta, akses masyarakat atas produk hutan menjadi urusan pelaku usaha individual. Akses ini dapat dipotong untuk alasan keamanan, atau karena hutan telah digunduli untuk membangun perkebunan atau pembangunan lain.

Dibandingkan dengan sulitnya proses mendapatkan pengakuan adat secara legal, izin hutan swasta relatif lebih cepat dan mudah didapat. Artinya bahwa ekspansi industri melampaui laju reformasi tenurial.

“Yang membuat kami kecewa, perusahaan kayu bisa mendapatkan hak usaha secara legal dan dapat secara efektif melarang masyarakat menebang pohon,” kata penduduk Honitetu, Sony Parakate.

“Mereka membayar sedikit kompensasi pada masyarakat, dan masyarakat menerima begitu saja, karena mereka tahu bahwa hak telah diberikan pemerintah pada perusahaan. Tetapi masyarakat tahu bahwa mereka lah yang merugi.”

Tumpang tindih klaim atas hutan tidak hanya menjadi masalah antara masyarakat, pemerintah dan sektor swasta, tetapi juga antar-desa, dan di dalam masyarakat dan keluarga itu sendiri.

Tidak jelasnya batas geografis wilayah adat memunculkan potensi konflik, selain itu sistem pewarisan patriarkat dapat merugikan perempuan, dan lebih jauh memarjinalkan keluarga dan individu yang kurang memiliki akses atas lahan.

“Masalah utama dalam masyarakat di sini adalah tidak adanya kesepakatan mengenai batas wilayah,” kata Nining Liswanti, ilmuwan CIFOR yang menjadi ketua komponen Indonesia pada Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial Hutan (GCS-Tenure). Studi simultan mengenai tenurial yang dilakukan di bagian lain Indonesia, serta juga Peru dan Uganda.

Liswanti dan rekan-rekannya bekerja sama dengan masyarakat di Honitetu serta desa sekitar untuk memetakan dan menyepakati batas wilayah.

“Kami menggunakan teknik pemetaan partisipatoris, dengan mengundang masyarakat untuk duduk bersama dan memetakan seluruh sumber daya alam dalam hutan adat mereka,” katanya.

Pendekatan ini melibatkan seluruh kelompok masyarakat, dari berbagai usia, gender dan tingkat penghasilan. Pada 2017, para pemimpin dari wilayah Seram Barat berkumpul untuk membandingkan peta buatan masyarakat.

“Dari peta ini kita dapat melihat batas wilayah kami,” kata Latu Pieter dari Honitetu.

“Namun, sebagai anggota masyarakat atau pemimpin masyarakat, kami belum puas. Kami masih ingin mewujudkan tujuan akhirnya, yaitu membuat batas ini menjadi resmi.

   Penduduk desa mendiskusikan pemetaan sumber daya alam partisipatif di desa Honitetu, Ulet Ifansasti/CIFOR

 

   Peneliti CIFOR, Nining Liswanti berbagi temuan dengan para kepala desa di Seram Barat Ulet Ifansasti/CIFOR
   Pemandangan hutan di Piru, Kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku, Ulet Ifansasti/CIFOR

Masalah utama masyarakat di sini adalah tidak adanya kesepakan mengenai batas wilayah.

Nining Liswanti, ilmuwan CIFOR

POTENSI MASA DEPAN

Upaya melakukan pemetaan merupakan pendekatan inovatif yang dikenal sebagai Analisis Prospektif Partisipatoris (Participatory Prospective Analysis/PPA), yang diterapkan sebagai bagian dari studi Tenurial-GCS di Maluku sejak 2015.

Kerja sama antar lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, sektor swasta dan masyarakat lokal ini telah menghasilkan serangkaian skenario potensial yang menurut para peserta akan menyempurnakan keamanan tenurial dan menyangga hutan yang sehat.

Dari lima skenario yang dikembangkan melalui pendekatan ini, salah satunya dirujuk oleh seluruh partisipan adalah bentuk pengakuan formal hak adat dalam kerangka pemerintahan yang baik – berdasar pada transparansi, akuntabilitas, kerja sama dan koordinasi – dan didukung alokasi anggaran pemerintah untuk reformasi tenurial.

Yang menarik, desa-desa itu memanfaatkan proses pemetaan sebagai dasar untuk menuntut hak lebih jauh.

Esther Mwangi, principal scientist

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat peluang di Maluku melompati tahap pengenalan skema perhutanan sosial, sebagai satu tahap pemberian sebagian hak dalam reformasi tenurial di tempat lain di Indonesia, dan secara langsung menerapkan manajemen dan hak adat secara penuh.

“Yang menarik, desa-desa itu memanfatkan proses pemetaan sebagai dasar untuk menuntut hak lebih jauh,” kata Mwangi, ketua peneliti.

“Mereka kini memiliki peta, yang mereka manfaatkan untuk mengkonkretkan klaim mereka pada pemerintah. Ini hasil yang baik, karena menunjukkan lingkup wilayah adat yang belum terpetakan sebagai sebuah langkah penting dalam proses membuat klaim adat.”

Lebih jauh, para peneliti memfasilitasi diskusi antara pemimpin lokal dan otoritas pemerintah di kabupaten, provinsi dan pusat untuk menemukan jalan maju, baik bagi prioritas pemerintah dalam reformasi tenurial, serta bagi harapan masyarakat agar hak mereka diakui.

   Anak-anak berangkat ke sekolah dari rumah mereka yang menghadap ke lembah hutan di Honitetu. Pemimpin lokal berharap generasi penerus akan memiliki hak penuh atas hutan adat mereka. Ulet Ifansasti/CIFOR

Diproduksi melalui kerja sama dengan Aris Sanjaya (video), Ulet Ifansasti (fotographer), Aini Naimmah (transkripsi), Budhy Kristanty (produksi) dan masyarakat desa Honitetu, Maluku, Indonesia.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Esther Mwangi di E.Mwangi@cgiar.org atau Nining Liswanti di N.Liswanti@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Komisi Eropa, Global Environment Facility (GEF), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org