BOGOR, Indonesia (3 June 2013) – Sebuah contoh yang diambil dari sekelompok masyarakat desa Indonesia menggambarkan kepemilikian lahan mereka kuat dan aman, persepsi yang tampaknya bertentangan dengan realitas, demikian dilaporkan dalam studi Center for International Forestry Research (CIFOR).
Tahun 2010, ilmuwan CIFOR mewawancarai penduduk di 20 kampung di Sumatera dan Kalimantan mengenai apakah mereka merasa memiliki keamanan tenurial atas lahan yang digunakan.
“Para kepala keluarga menyatakan keyakinan kuat bahwa kepemilikan lahan mereka aman, walaupun sebagian mereka bergantung dengan hak adat dan dokumen yang secara hukum lemah,” kata Daju Resosudarmo, penulis utama studi, Does tenure security lead to REDD+ effectiveness? Reflections from Five Emerging Sites in Indonesia (Apakah keamanan kepemilikan mengarah kepada efektivitas REDD+? Refleksi dari kemunculan Lima Tempat di Indonesia).
“Kami menemukan, bertentangan dengan persepsi, kepemilikan lahan hutan di desa sebenarnya rapuh. Penduduk tidak memiliki kemampuan untuk meminta masyarakat pendatang pindah dari lahan mereka atau menerapkan peraturan pada tingkat desa,” katanya.
Kepemilikan lahan di Indonesia sangatlah rumit, bermula dari kekayaan yang dikaitkan dengan sumber alam yang besar. Satu aspek kerumitan ini adalah inkonsistensi antara de jure atau hak legal dan klaim adat atau penggunaan dan pengelolaan lahan.
“Dalam semua studi lapangan, masyarakat mengklaim lahan adat dan de fakto sebagai pengelola lahan,” lanjut Resosudarmo.
“Walaupun kepemilikan mereka tidak diakui oleh hukum nasional, mengingat lokasinya di area hutan dimana secara hak de jure berada di Kementerian Kehutanan.”
Studi menemukan bahwa 97 persen plot lahan dikuasai oleh keluarga di 12 desa yang dikaji merupakan lahan de jure milik negara.
Sebagian besar desa, setidaknya 85 persen dari plot dipersepsikan aman, walaupun pengelola lahan bergantung pada hukum tradisi atau adat atau dokumen legal lemah.
Pengecualian terdapat pada sebagian besar penduduk yang telah mengalami perampasan atau penipuan tanah, serta belajar dari pengalaman buruk bahwa kepemilikannya tidaklah aman jika mereka tidak memiliki sertifikat legal. Contohnya, penduduk di salah satu desa di Kalimantan yang menemukan kepala desanya memalsukan dokumen dan menjual tanah mereka kepada orang di luar desa.
Perbedaan lain ditemukan antara persepsi penduduk dan kemampuan aktual yaitu untuk meminta masyarakat pendatang pindah. Contohnya, enam dari 16 desa yang mengklaim memiliki hak khusus adat sulit untuk menolak perkebunan minyak sawit, perusahaan penebangan hutan, penduduk desa lain, migrasi, penebang hutan kecil atau transmigran.
“Dalam kasus di mana penduduk mencoba membatasi para pendatang, mereka bergantung pada hak adat dan dokumen legal lemah yang memberikan perlindungan lemah melawan perambahan dari orang luar,” kata Stibniati Atmadja, penulis pendamping.
Persaingan klaim juga muncul di antara para penduduk. Berkaitan dengan pengaturan kepemilikan adat, mereka memilih metode untuk menyelesaikan perselisihan, seperti pengaturan berbagi-lahan, saling berargumen dan intimidasi atau bahkan memalsukan dokumen. Bukan hal yang mengejutkan, konflik lahan adalah hal biasa di Indonesia. Dalam desa kajian sendiri, perselisihan terjadi di 10 dari 17 desa yang penduduk didalamnya termasuk adalah para pendatang luar.
Juga kurangnya pemahaman penduduk kan lemahnya hukum atas hak-hak membuat mereka lemah di depan aktor kuat, meningkatnya nilai lahan dan program atau projek nasional termasuk REDD+.
“Kepemilikan lahan de fakto yang tidak didukung oleh tenurial de jure memudahkan orang luar mengintervensi, memaksa dan memanipulasi,” kata Andini Desita Ekaputri, penulis pendamping studi.
“Masyarakat perlu memahami lemahnya posisi de jure dari kepemilikan de fakto mereka.”
Pengetahuan mengenai sistem hukum formal tidak akan dengan sendirinya memberi legitimasi klaim lahan lokal—tetapi memungkinkan penduduk sadar dan membuat keputusan yang lebih berbasis informasi, katanya.
Ketidakjelasan status hukum lahan tenurial membuat implikasi serius bagi efektifitas upaya penerapan REDD+, sebuah mekanisme global yang dirancang untuk memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
“Konflik dan ketidakstabilan terkait akan rapuhnya situasi kepemilikan akan menjadi ujian bagi projek permanen reduksi emisi REDD+, dan efektivitas REDD+ dalam mengurangi emisi,” ujar Resosudarmo.
Informasi lebih lanjut pada isu yang dibahas dalam artikel ini, silahkan kontak Daju Resosudarmo di d.resosudarmo@cgiar.org
Studi ini bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR mengenai REDD+ dan dilakukan sebagai bagian dari CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry. Studi ini didukung oleh AusAid, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID) dan Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (NORAD).
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org