“Jepara memiliki sejarah panjang kerajinan kayu dan usaha kecil, baik lelaki maupun perempuan turut berperan. Bahkan, perempuan mungkin berkontribusi terhadap separuh pekerjaan lelaki,” kata ilmuwan Herry Purnomo dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Purnomo telah bertahun-tahun bekerja dalam proyek yang bertujuan meningkatkan kapasitas perempuan dalam industri tersebut dan mendorong pemanfaatan bahan baku kayu lestari, yang berkontribusi pada terbukanya akses pasar dan peningkatan prioritas konservasi.
GESEKAN
Zaekah bekerja di salah satu tempat kerajinan kecil Jepara. Ia adalah seorang nenek yang melakukan pekerjaan fisik memproduksi mebel untuk kafe-kafe di Sydney dan hotel-hotel di Abu Dhabi.
Debu bertebaran di sekelilingnya dan rekannya ketika ia membengkokkan papan kayu jati, atau saat menghaluskan dengan sabuk amplas atau amplas tangan saat mereka duduk di bangku kecil.
“Saya mendapat Rp 35.000 (2,60 USD) per hari,” jawabnya singkat ketika ditanya upah.
Seorang laki-laki memuat kayu jati ke sebuah mobil pengangkut kayu di Jepara, Jawa Tengah.
Deanna Ramsay/CIFOR
Pemilik bengkel dan bos Zaekah, Mbak Njum mengaku makin sulit menemukan perempuan seperti Zaekah untuk pekerjaan mengamplas dan pekerjaan tahap akhir mebel di tokonya. Pekerjaan ini umumnya dilakukan perempuan. Namun, pabrik pakaian memasuki kota ini, dan menawarkan peluang pekerjaan pada perempuan muda, dengan gaji lebih baik dan kondisi kerja yang bebas debu dan serpihan kayu.
Narasi industri baru ini bisa mengubah gaung kisah asli perajin Jepara, menuju peralihan modernitas bisnis global.
KEKHUSUSAN
Triana, manajer kantor Mbak Njum, memaparkan kemampuan khusus yang dibutuhkan dari perempuan di bengkel kerja.
“Saya pikir, perempuan lebih telaten ketika menghaluskan mebel. Tidak sekadar menggosok kayu, mereka memahami tekniknya. Pekerjaan kami mungkin tidak sempurna, tetapi memiliki pekerja yang mengerjakan proses penghalusan adalah alasan usaha tetap bisa berjalan,” katanya.
Tidak diragukan lagi, pekerjaan ini berbasis gender. Perempuan menangani tugas-tugas tahap akhir, seperti mengamplas dan menempel, sementara lelaki mengerjakan batang kayu jati di penggergajian, mengukir dan melakukan kerajinan yang lain. Tentu saja terdapat kekhususan, seperti Nur Hamidah dan sekelompok perempuan pekerja, yang merupakan bagian dari kelompok perajin perempuan yang berdedikasi di wilayah tersebut.
“Perempuan biasanya hanya memiliki sedikit peran atas pengendalian sumber daya, pengambilan keputusan dan bahan baku pembuatan produk, dan juga sangat rentan terhadap perubahan permintaan dan pasokan, serta gangguan lain yang terjadi di pasar,” kata Purnomo.
“Kondisi perempuan perlu ditingkatkan,” tambahnya. Salah satu langkahnya adalah mendirikan Ikatan Wanita Pengusaha Jepara (Jepara Women Entrepreneur/JWE) beberapa tahun lalu. Kelompok ini memperjuangkan peluang lebih baik bagi perempuan di seluruh aspek perdagangan.
Dengan nilai ekspor sekitar 150 juta dolar AS per tahun—atau 10 persen dari total ekspor negara—industri mebel Jepara menjadi penting, khususnya di negara yang presidennya adalah pedagang mebel. Jadi meningkatkan upah dan kondisi perempuan di bidang ini akan menjadi langkah besar dalam industri yang sangat penting ini.