Lampung, provinsi percontohan perhutanan sosial di Indonesia
Memberikan hak pada masyarakat untuk mengelola hutan negara melalui program perhutanan sosial di Lampung, Indonesia, menurut sebuah penelitian terbaru dapat memberi hasil positif bagi keamanan tenurial dan keberlanjutan, sekaligus mengurangi konflik lahan.
Lembaga terdepan dalam mengelola perhutanan sosial di provinsi tersebut, menurut penelitian, adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (FMU) tingkat masyarakat, yang didukung kecukupan anggaran, upaya pemberdayaan masyarakat dan koordinasi.
Lampung merupakan perintis perhutanan sosial di Indonesia, setelah menerapkan berbagai versi skema ini selama hampir dua dekade. Skema pemerintah ini memberi masyarakat lokal hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan.
“Lampung merupakan provinsi di mana implementasi program perhutanan sosial sudah sangat maju dalam pencapaian target,” kata Tuti Herawati, penulis utama penelitian dan peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
“Reformasi manajemen hutan belum diterapkan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada praktiknya, implementasi reformasi tenurial menghadapi pertanyaan kunci antara lain, ‘Faktor apa yang mempengaruhi keamanan manajemen hutan?’ dan ‘Bagaimana menjamin hak manajemen?’,” katanya.
Dalam menemukan jawaban pertanyaan dari Lampung tersebut, CIFOR melakukan konsultasi multi-pemangku kepentingan menggunakan pendekatan analisis prospektif partisipatoris (PPA). Hasil penelitian menjawab bagaimana implementasi reformasi tenurial di negara berkembang dapat secara efektif meningkatkan kepastian masyarakat dalam mengakses sumber daya hutan.
Penelitian di Lampung, merupakan bagian dari Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial Hutan (GCS-Tenure) yang dipimpin CIFOR di Indonesia, Peru dan Uganda. Penelitian ini menginvestigasi bagaimana reformasi tenurial hutan diimplementasikan dan apa hasilnya bagi keamanan tenurial. Di Indonesia penelitian berlangsung di Lampung, Kalimantan dan Maluku. “Kami telah mengumpulkan data pada tingkat masyarakat dan beberapa aktor lain di Indonesia sejak 2014 hingga 2017,” kata Herawati.
Topik ini didiskusikan pada Konferensi Tenurial 2017 dari tanggal 25-27 Oktober di Jakarta, Indonesia.