Jika Anda tidak mengikuti pasar stok, mungkin Anda tidak mengetahui bahwa saham Asia Pulp & Paper (APP) kehilangan 2/3 dari nilainya sejak bulan September. Ada baiknya Anda mengikuti. APP merupakan perusahaan pembuat bubur pulp dan kertas terbesar di Asia di luar Jepang. Kejadian yang menimpa perusahaan tersebut akan berpengaruh besar terhadap hutan di Indonesia, Cina dan negara lainnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh APP saat ini merupakan cerminan permasalahan yang lebih luas lagi. Lebih dari 10 tahun terakhir, banyak konglomerat Indonesia menghabiskan sejumlah besar biaya untuk meningkatkan kapasitas pabrik pulp dan kertas menjadi tujuh kali lipat dan menjadikan Indonesia salah satu dari 10 produsen papan atas pulp dan kertas di dunia. Dalam prosesnya, perusahaan mengelola 12 milliar dollar Amerika dalam bentuk hutang luar negeri dan dalam negeri.
Strategi yang dilakukan ini terbukti sangat beresiko. Krisis Asia terjadi. Biaya yang dikeluarkan melebihi anggaran dan korupsi menyebabkan peningkatan harga. Untuk menunjukkan adanya keuntungan, pabrik pulp harus bekerja dalam kapasitas penuh. Tetapi para konglomerat tidak pernah menerima jaminan kepastian bahwa sumber bahan baku serat untuk bubur kayu tersebut di peroleh secara legal dan lestari. Perusahaan menyatakan bahwa mereka akan menanam cukup hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan serat yang diperlukan. Malahan, pada tahun 1998/1999, hutan tanaman hanya mensuplai 8% dari pasokan kayunya. Sisanya berasal dari membabat habis hutan alam. Sejauh ini mereka telah menebang hutan seluas 800.000 hektar. Sejumlah besar porsi kayu untuk industri hasil hutan Indonesia berasal dari sumber yang ilegal. Dengan menurunnya akses hutan terhadap kayu-kayu bernilai murah maka biaya bahan baku menjadi semakin tinggi. Konflik yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat menyangkut akses terhadap hutan dan adanya isu lingkungan menunjukkan resiko finansial lainnya. Seperti contohnya, konflik serupa yang menyebabkan pabrik pulp Indorayon senilai 600 juta dollar Amerika terpaksa ditutup selama lebih dari setahun.
Mengapa ada orang yang mau menanamkan modal milyaran dollar Amerika untuk kegiatan yang beresiko tinggi? Laporan yang dibuat oleh Chris Barr dengan judul: ’Profit on Paper: The Political Economy of Fiber, Finance, and Debt in Indonesia’s Pulp and Paper Industries’, memberikan beberapa jawabannya. Laporan ini dibuat Barr untuk program Makroekonomi WWF dan CIFOR.
Barr menunjukkan bahwa perusahaan kebanyakan bertaruh dengan uang dan hutan milik rakyat. Jika perusahaan menang, mereka akan meraup keuntungan besar. Jika mereka gagal, bank internasional dan pemerintah akan menanggung hampir seluruh biayanya. Pemerintah dalam prosesnya memberikan subdisi dengan jalan memberikan kemudahan akses terhadap hutan, dana reboisasi, dan pinjaman dengan bunga rendah. Banyak pinjaman dalam negeri yang berasal dari bank sebagian atau seluruhnya dikontrol oleh konglomerat itu sendiri. Bank-bank tersebut memberikan sedikit insentif untuk melakukan penilaian secara kritis atas klaim perusahaan dan hanya sedikit sekali yang dilakukan untuk mengaturnya. Bank-bank international yang terlibat telah gagal dalam menilai resiko yang ditimbulkan berkaitan dengan suplai kayu dan konflik sosial. Dalam beberapa kasus, hal ini terjadi karena lembaga kredit ekspor memberikan jaminan bagi pinjaman perusahaan. Dibawah pemerintahan presiden Soeharto, perusahaan tidak bisa mengharapkan bantuan pemerintah untuk menolong mereka jika timbul konflik dengan masyarakat.
Para ahli menyadari sepenuhnya bahwa untuk menghindari krisis finansial di kemudian hari maka diperlukan pengaturan pinjaman dalam negeri dan luar negeri secara lebih baik. Barr mengatakan bahwa dalam kasus industri hutan, bank dan para pengawas sebaiknya memberikan perhatiannya untuk melihat apakah perusahaan memiliki sumber bahan baku lestari secara legal dan memperhitungkan resiko terhadap munculnya konflik sosial. Jika pada suatu saat perusahaan mengalami kegagalan, pengawas harus menolong bank untuk mengembalikan uang yang mereka pinjam. Tetapi mereka juga harus dapat menghentikan kegiatan ilegal dan mepromosikan strategi yang dapat memberikan jaminan usaha jangka panjang. Tulisan ini secara khusus merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menyatakan moratorium sementara (penangguhan sementara) pemberian fasilitas bagi pengembangan pabrik pulp dan kertas dan juga mengupayakan moratorium untuk pengalokasian ijin baru bagi konversi hutan. Di dalam tulisan ini, pemerintah juga disarankan untuk menghilangkan subsidi terhadap industri pulp dan kertas dan menciptakan program mandiri untuk memonitor perkembangan hutan tanaman.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Untuk memperoleh versi elektronik paper ini atau mengirimkan tanggapan maupun komentar Anda, silahkan hubungi Chris Barr : mailto:C.Barr@cgiar.org