Nugroho Priyono, Kepala Kelompok Kerja Bidang Penelitian Restorasi pada Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG), berbicara disela-sela Brown Bag Discussion mengenai upaya BRG merestorasi lahan gambut dalam dua tahun terakhir.
Mengapa kerusakan lahan gambut menjadi ancaman serius bagi lingkungan?
Gambut dianggap penting karena banyak intervensi ke gambut padahal sifat gambut itu sendiri sensitif dan fragile. Mudah rusak. Sementara setelah tanah mineral sudah habis, orang masuk ke gambut. Dan budidaya tanaman di tanah mineral diterapkan ke gambut. Sehingga gambut dibuat kanal yang tujuannya adalah mengeringkan. Itu merupakan manipulasi lingkungan. Kenapa gambut lingkungannya di manipulasi? karena tanaman yang akan diterapkan di gambut, yang akan di tanam di gambut adalah tanaman-tanaman mineral yang membutuhkan ekosistem yang kering.
Kemudian dibuat kanal di gambut (akibatnya) menjadi kering. (Kondisi) menjadi kering inilah yang membuat gambut ini menjadi masalah karena mudah terbakar. Selain itu pada saat gambut menjadi kering, untuk dikembalikan lagi ke posisi semula, yang saya katakan tadi, (kondisi) jadi fragile, sehingga tidak mudah untuk kembali seperti itu. Jadi inilah menjadi penting karena ekosistemnya terganggu, orang memanipulasi lingkungan, memperlakukan gambut seperti tanah mineral. Efeknya, implikasinya ini yang menjadi concern utama kita saat ini, yakni kebakaran.
Apa mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam mengatasi kerusakan lahan gambut?
Setelah kebakaran hebat tahun 2015 dan itu diperkirakan 2 juta hektar lahan gambut terbakar, lalu Presiden mencanangkan membentuk badan khusus atau agensi yang menangani bagaimana mengembalikan gambut ini, merestorasi gambut ini. Kemudian tahun 2016 awal, Peraturan Presiden baru 6 Januari 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut yang bertugas khusus melakukan restorasi.
Menurut Perpres kami ditugasi untuk merestorasi kebakaran tahun 2015 yang (luasnya) adalah 2 juta hektar. Tetapi dalam perjalanan, kami melakukan riset dan activities untuk memetakan gambut yang terbakar tahun 2015, ditemukan (lahan) tidak 2 juta hektar tetapi 2.4 juta hektar.
Dari 2.4 juta hektar itu, 1.4 juta hektar itu adalah areal konsesi (license holder concession). Sehingga BRG tidak punya akses ke concession holders (pemegang konsesi), apakah itu perkebunan, biasanya (perkebunan) sawit atau HPHTI – ijin usaha hasil hutan kayu, biasanya untuk tanaman fast growing species. Itu 1.4 juta.
Lalu 600 ribu hektar diantara 2.4 juta hektar itu diantaranya adalah protected area (area konservasi) dan hutan lindung. Tinggal yang 400 ribu hektar ini yang private land – yang kepunyaan masyarakat.
Jadi BRG bekerja secara khusus melakukan intervensi di 400 ribu dan 600 ribu luas lahan. (Luas) 600 ribu kami bekerjasama dengan KLHK, sedangkan (luas) 400 ribu hektar, BRG dapat bekerja langsung. Lalu 1.4 juta hektar itu kewajiban dari concession holders, dan BRG melakukan pemantauan. Itu gambaran target yang harus kami capai sampai tahun 2020.
Memang merestorasi gambut tidak mudah tetapi kita harus tetap upayakan. Tujuan jangka pendek adalah supaya tidak terbakar dulu tetapi tujuan jangka panjangnya adalah kami harus mengembalikan ekosistem semula. Kami sudah siapkan indikator biologis pada saat gambut kembali seperti semula. Memang ini tugas yang berat tetapi harus dimulai dari sekarang.
Sejauh ini, wilayah kerja mana yang paling sukses dilakukan restorasi?
Target BRG 2.4 juta hektar itu tersebar di 7 Provinsi. 3 di pulau Sumatra, yakni Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Tiga di Kalimantan, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Dan satu daerah lagi di Papua. Kemudian empat kabupaten, yakni Kabupaten Meranti di Provinsi Riau, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan.
Kinerja paling berhasil dari BRG – ini tahun kedua BRG. Tetapi dari upaya-upaya yang sudah ada sebelumnya kemudian BRG memberikan dorongan kepada komunitas-komunitas yang melakukan restorasi gambut secara swadaya saat itu ,itu ada di Provinsi Riau, terutama Kabupaten Bengkalis. Daerah yang sekarang menjadi daerah prioritas karena berbatasan dengan negara lain adalah Kabupaten Meranti. Kita akan banyak bekerja di Kabupaten Meranti. Ada satu perusahaan yang dicabut dan diberikan kepada masyarakat karena kami ingin Kabupaten Meranti betul-betul direstorasi oleh masyarakat.
Kegiatan utama apa saja yang menjadi target BRG?
Kami mencoba melalui pendekatan 3R. R pertama yakni rewetting (pembasahan ulang), revegetation dan revitalization livelihood. Kalau bicara tentang gambut kita selalu mengkaitkan dengan kebakaran karena gambut dimanipulasi lingkungannya (menjadi) kering sehingga mudah terbakar. Yang menyebabkan gambut mudah terbakar itu karena kering. Jadi hal pertama yang kita lakukan adalah gambut kita basahi. Rewetting adalah hal pertama yang kita lakukan, kemudian revegetasi – kita hijaukan kembali.
Apa yang sekarang BRG lakukan? Kami membentuk kelompok-kelompok di tingkat desa. Ada fasilitator desa. Kemudian fasilitator ini mengedukasi orang-orang di desa itu, kemudian memberikan insentif-insentif misalnya peternakan, supaya masyarakat tidak terlalu mengantungkan pada lahan.
Kemudian yang lebih penting lagi, karena manipulasi gambut itu terjadi dan komoditas yang dipakai di gambut itu tidak ramah gambut, maka sekarang kita mempromosikan tanaman yang ramah gambut. Sehingga gambut tidak perlu dikeringkan karena dengan tanaman itu sudah produktif. Contohnya adalah tanaman sagu. Sagu ini sudah lama dibudidayakan tetapi dilupakan. Padahal sagu ini ramah gambut. Sagu ini bisa untuk pangan, bisa untuk biofuel, bisa untuk macam-macam, limbahnya bisa dipakai untuk peternakan. Komoditi-komoditi ramah gambut ini kita dorong. Kita akan sosialisasikan lebih kencang lagi, lebih banyak kita sosialisasikan lagi komoditas-komoditas di daerah gambut.
Kita juga mengundang investor supaya apa yang dibudidayakan saudara-saudara kita yang mengelola lahan gambut ini bisa menguntungkan. Kalau menguntungkan, dia tidak akan berpikir (tentang) tanaman eksotik misalnya sawit, karet – itu tanaman-tanaman yang diintroduksi, bukan endemik, bukan asli di gambut.
Kita mencoba menginventarisir (mencatat) antara lain sagu. Kemudian jelutung. Jelutung bisa untuk kosmetik, untuk kayunya juga bagus. Jadi investor kami undang supaya ini bisa dipromosikan.
Acara ini diselenggarakan oleh CIFOR dan Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam upaya berbagi informasi hasil-hasil riset terbaru tentang restorasi lahan gambut.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org