Wawancara

Melawan api dengan naskah akademik peraturan daerah

Pengambil kebijakan memerlukan landasan informasi berupa riset yang relevan dan mengarah akan hasil rancangan naskah akademik peraturan daerah.
Bagikan
0
Belum ada solusi ajaib untuk mencegah karhutla kecuali kita harus dapat memahami situasi spesifik dan terus melangkah maju. Aulia Erlangga/CIFOR

Bacaan terkait

Berbagai masalah yang seringkali memicu perdebatan antara konservasi lingkungan versus penghidupan perlu ditangani dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial.

Herry Purnomo dan para ilmuwan yang berkecimpung di bidang ini berharap akan lahir penelitian yang relevan, dan mengarah pada hasil riset yang mampu membangun naskah akademik sebagai landasan informasi bagi para pengambil kebijakan, termasuk membuka peluang perubahan hukum. Harapannya perubahan ini akan membantu mengurangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi tahunan.

Menyadari adanya masalah dalam komunikasi dan sinergi, CIFOR dan para mitra menggelar Dialog Kebijakan Nasional mengenai Regulasi dan Praktik Terbaik Mengurangi Kebakaran dan Asap, bekerja sama dengan Universitas Riau di Pekanbaru, 30 Agustus lalu. Penyelenggaraan dialog ini sangat dekat dengan lokasi karhutla, di provinsi Riau yang cukup sering mengalami kebakaran dan asap.

Dialog ini bertujuan memaksimalkan peluang yang ada dalam sistem hukum Indonesia pada tingkat nasional dan subnasional untuk mengurangi kebakaran dan berbagi pengalaman dari praktik terbaik, serta diharapkan membangun jalan memperkuat regulasi dalam mengurangi kebakaran dan asap, mengkomunikasikan strategi dari masyarakat dan perusahaan, dan saling mendukung aksi bersama antar negara anggota ASEAN.

Herry Purnomo duduk dengan editor Forests, Trees and Agroforestry (FTA) untuk mendiskusikan pesan-pesan dialog nasional ini dan apa yang diharapkan bisa dicapai oleh para pemangku kepentingan.

Bagaimana penelitian mendasari debat seputar kebakaran dan asap di Indonesia? 

Dialog ini merupakan bagian dari proyek Departemen Pembangunan Internasional Inggris Raya (DFID) berjudul Penelitian Politik Ekonomi Kebakaran dan Asap – yang digelar oleh CIFOR, para mitranya, dan didukung oleh FTA – dan sebagian besar berlokasi di Riau. Selama dua tahun, kami bekerja sama dengan parlemen di Provinsi Riau.

Penelitian ini menghasilkan narasi akademik, yang mengarah pada kemungkinan perubahan regulasi. Tahun lalu, kami memberi masukan untuk program legislasi tahun ini, melalui lokakarya penyusunan regulasi dan pertemuan konsultatif dengan berbagai pemangku kepentingan, antara lain pemerintah, anggota parlemen, sektor swasta, LSM dan akademisi. Kami kemudian membuat dialog nasional sebagai wahana komunikasi serta meningkatkan dan memperluas proyek, tidak hanya di Riau.

Pembakaran gambut dipandang sebagai cara yang cepat dan murah dalam membersihkan lahan untuk perkebunan. Namun, bagaimana konsekuensi ekonomi dan sosial akibat asap, yang juga menghabiskan biaya?

CIFOR berupaya menemukan keseimbangan antara konservasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika pembakaran dihentikan, akan menyulitkan penghidupan masyarakat lokal. Otoritas lokal juga perlu menemukan keseimbangan. Bagi saya tidak ada solusi ajaib, kecuali kita dapat memahami situasi spesifik dan melangkah maju.

Kita dapat memberi insentif untuk cara alternatif membersihkan lahan dan ‘disinsentif’ pada pembakaran. Dalam regulasi lokal atau perda, kami meminta pemerintah daerah berinvestasi, bekerja sama dengan lembaga nasional dalam pemanfaatan teknologi, mencari teknologi termurah persiapan lahan tanpa api.

Harus ada pula kemauan dari masyarakat. Ini tidak murah. Kita harus belajar; kita perlu teknologi baru. Masyarakat perlu unggulan.

Mengapa CIFOR mengadakan acara ini di Riau?

Ketika kebakaran diawali di Riau, masalah asapnya dirasakan bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Sementara, kebakaran di Sumatera Selatan dapat memicu masalah di Singapura. Biasanya kebakaran berawal di Riau, kemudian Sumatera, Kalimantan dan Papua. Apapun yang terjad, tidak hanya menjadi masalah domestik, tetapi regional.

Mengapa regulasi untuk meredam ekspansi perkebunan tidak selalu berhasil ditegakkan di Indonesia? 

Ini karena patronasi. Siapa pembakar lahan? Di lapangan kita melihat petani. Namun, siapa pemilik lahan? Sejatinya bukan petani. Lahan dimiliki atau dikelola oleh apa yang kita sebut oknum atau cukong, calo dan spekulan ekonomi. Oknum ini ingin memeras sebanyak-banyak keuntungan tanpa investasi yang cukup. Oknum bisa jadi investor, ilmuwan, anggota parlemen, pejabat pemerintah, polisi, anggota militer, pegawai perusahaan… Mereka berkelindan dengan pengacara, dan polisi jahat. Jadi di lapangan memang sedikit rumit.

Korupsi sering kali menjadi bagian proses ini. Namun, di Indonesia hal ini mulai membaik. Kami memberi masukan pada naskah akademik di tingkat lokal, untuk memberi insentif dan memberi amunisi bagi polisi untuk memperkuat penegakkan hukum.

Saat ini, sulit bagi polisi untuk mencari bukti siapa pembakar lahan, karena mereka harus pergi ke daerah terpencil. Saya pergi ke sana; saya harus menyewa mobil 4WD dan perlu empat hari untuk mencapai lokasi. Misalnya, jika lahan terbakar dalam sebuah taman nasional, sulit untuk mencapainya.

Kita perlu pendanaan jika ingin memahami para aktornya. Tetapi tidak banyak dana tersedia di tingkat lokal untuk mencegah kebakaran dan asap. Dapatkan kita dapat memberi dukungan lebih pada polisi lokal, untuk memungkinkan mereka menemukan bukti? Di pengadilan kita perlu bukti. Bukti penting untuk menempatkan siapa yang bersalah.

Apa yang perlu dilakukan untuk menjamin bahwa hukum dan peraturan dijunjung tinggi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, sektor swasta dan aktor lain?

Hal tersebut menjadi bagian masukan kami untuk naskah akademik lokal – bahwa pemerintah daerah harus memberi dukungan dan uang untuk polisi, dan juga meningkatkan kapasitas hakim. Terdapat kesenjangan yang cukup besar antara tuntutan lingkungan dan tuntutan kriminal.

Kami bekerja tahap demi tahap. Dari bukti lapangan, ketika kami mencoba mengembangkan sekat kanal, atau meningkatkan organisasi petani, kabupaten menyatakan bahwa mereka tidak memiliki anggaran untuk itu. Mereka mengaku tidak punya payung hukumnya, dan balik bertanya mengapa mereka harus menyisihkan uang untuk itu.

Jadi kami pikir, mengapa kami tidak membantu membuat dasar hukum agar pemerintah bisa mengalokasikan uang untuk masalah ini? Inilah tujuan di balik dialog nasional ini.

Apa saja praktik terbaik yang perlu dibagi dan diimplementasikan oleh para aktor ini? 

Kami punya beberapa contoh restorasi berbasis-masyarakat. Di sektor swasta, Asia Pulp and Paper (APP) punya program dan APRIL juga punya program Desa Bebas-Kebakaran. Jadi saya mengundang mereka untuk berbagi pembelajaran dan tantangan.

Restorasi di sembilan desa saja, misalnya, memakan banyak biaya. Untuk seratus desa perlu biaya lebih besar lagi. Perusahaan akan senang membantu pemerintah dengan mengambil tanggung jawab memberi insentif untuk mempersiapkan lahan tanpa pembakaran. Ini sudah baik, namun kita perlu memperluasnya.

APP, misalnya, harus menangani 500 desa di dalam maupun di luar konsesi. Tidak mungkin tanpa melibatkan anggaran dan investasi publik.

Apa yang perlu dilakukan secara regional – lingkup ASEAN – mengatasi masalah ini?

Sudah banyak pembicaraan tingkat tinggi, namun perlu dilakukan lebih banyak di lapangan. Saya bertemu dengan wakil menteri Singapura untuk membahas apa yang bisa dilakukan Singapura untuk bekerja sama dan mengundang mereka menghadiri dialog nasional. Perwakilan pemerintah dan sektor swasta dari Malaysia dan Singapura juga diharapkan hadir pada dialog nasional ini, selain juga akademisi, dan perwakilan dari Sekretariat ASEAN.

Sudah ada visi, untuk “ASEAN bebas-asap 2020” yang dipimpin Thailand. Visi ini sangat ambisius. Kita juga memiliki perjanjian asap lintas batas yang telah menjadi peraturan. Namun, tampaknya ini kurang banyak aksi di lapangan. Kami ingn lebih terlibat dalam aktivitas di lapangan. Jika kita punya sesuatu di lapangan, masyarakat akan lebih menghargai. Mengapa tidak ada model di kabupaten – satu atau dua hektare yag menunjukkan bagaimana pencegahan kebakaran dan perbaikan penghidupan berjalan beriring.

Ini bagian dari debat besar antara konservasi gambut dan sawit. Tidak hanya antara pemerintah dan sektor swasta, namun juga antara perwakilan pemerintah sendiri – misalnya, dengan kementerian lingkungan di satu sisi dengan kementerian perindustrian di sisi lain. Ini soal menemukan sinergi.

Artikel orisinal telah dipublikasikan di situs Forests, Trees and Agroforestry (FTA) dengan judul Fighting fires with academic narrative.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh UKAID
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org