Beberapa tahun setelah gagalnya upaya sentralisasi pemerintahan nasional dalam mengatur hutannya, para pembuat kebijakan dan penasehat di seluruh dunia mengadopsi mantra terbarunya yaitu: ’desentralisasi pengelolaan sumber daya alam’. Banyak negara memberikan tambahan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan kotamadya berkaitan dengan bidang kehutanan dengan harapan bahwa pejabat berwenang yang lebih dekat dengan permasalahan di lapangan akan memahami kondisi setempat dengan lebih baik, mempunyai kapasitas lebih besar untuk mengawasi apa yang sedang terjadi, dan membuat keputusan yang dapat mencerminkan kebutuhan lokal.
Hasil yang bersifat ’top-down’ maupun ’bottom-up’ akan banyak tergantung kepada bagaimana mereka menjalankan proses tersebut. Dengan kata lain, desentralisasi dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan para elit nasional secara lebih efektif dan dengan biaya lebih rendah, atau dapat pula memberikan akses yang lebih besar kepada kekuasaan dan sumberdaya bagi kelompok marjinal yang ada sebelumnya.
Dalam hal ini, apa yang terjadi di Zimbabwe dapat dijadikan bahan pelakaran yang berguna. Dalam ’Forging (Un) democrate resources Governance System from the Relic of Zimbabwe’s Colonial Past’, Alois Mandondo pada Universitas Zimbabwe melakukan lacak balik terhadap kebijakan peraturan tidak langsung dibawah pemerintahan rezim kolonial berkaitan dengan upaya yang baru-baru ini dilakukan untuk mendesentralisasikan pengelolaan sumberdaya.
Pada masa kolonial, pemerintah nasional mengharuskan para pengetua dan ketua adat untuk bertanggung jawab menyelenggarakan/melaksanakan beberapa peraturan lingkungan tertentu. Tetapi peraturan itu sendiri tidak mencerminkan kepentingan penduduk setempat dan pemerintah menggunakan sistem tersebut secara lebih jauh demi kepentingan nasional, bahkan seringkali mengorbankan kepentingan penduduk asli. Petani asli setempat dipaksa untuk menghentikan penebangan, mengurangi penggembalaan ternak, dan menyedian tenaga cuma-cuma untuk kegiatan konservasi tanah.
Mandondo berargumentasi bahwa pendekatan tersebut masih dilakukan sampai saat ini. Sejak kemerdekaan negara ini pada tahun 1980, pejabat berwenang setempat lebih banyak melakukan sesuatunya demi kepentingan pemimpin nasional dari partai yang memerintah. Mereka lebih bertanggung jawab kepada penguasa partai dibandingkan kepada perundang-undangan atau hukum setempat. Peraturan Badan Daerah/Wilayah Desa tahun 1988 memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk memberlakukan hukum konservasi dan tata guna lahan; tetapi tampaknya lebih banyak mengadopsi model ’by-laws’ yang dibuat oleh pemerintah nasional. Masyarakat hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk berpartisipasi dalam membuat peraturan-peraturan baru; meskipun pemerintah mengharapkan agar mereka dapat berkerja sama dengan perwakilan badan yang memberlakukan aturan-aturan tersebut.
Sebagai bagian dari program CAMFIRE yang terkenal, masyarakat setempat seharusnya menerima sedikitnya 50% pendapatan dari safari hidupan liar. Namun Badan Daerah segan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi dana tersebut. Baru baru ini, Undang-undang Pimpinan Tradisional tahun 1988 menarik bayaran kepada kepala desa atas diberlakukannya peraturan konservasi dan lingkungan. Secara teoritis, hal ini seharusnya dapat meningkatkan pengawasan lokal. Praktisnya, hanya sedikit sekali kemajuan dalam hal memberi kesempatan kepada masyarakat untuk membuat peraturannya sendiri, memperoleh pendapatan dari sumberdaya yang ada, dan memilih wakil-wakil mereka secara demokratis.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Komentar dan tanggapan serta permintaan salinan elektronik secara cuma-cuma dapat dikirimkan ke : Alois Mandono (mandondo@africanonline.co.zw)