Berita

Mendeteksi keberadaan lahan gambut dari angkasa

Bagaimana satelit memetakan dan memantau bentang alam penting gambut
Bagikan
0
SENTINEL-3 adalah misi pemantauan laut dan daratan yang merupakan gabungan tiga satelit (SENTINEL-3A, SENTINEL-3B and SENTINEL-3C). Kredit foto: Badan Antariksa Eropa (ESA)

Bacaan terkait

Padat, lembap, dan sering kali terpencil, lahan gambut tropis sangat sulit dipetakan dan dipantau di darat. Lalu, bagaimana jika dilakukan dari angkasa?

Metode baru menggunakan data satelit makin menunjukkan kesuksesan dalam menilai luas, distribusi dan bahkan isi lahan gambut di seluruh dunia, selain juga memantau ancaman terhadap tata kelola keberlanjutannya.

Beberapa perkembangan terakhir dalam bidang ini dipresentasikan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan para mitranya pada acara paralel selama Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC Bonn di Jerman, 8-18 Mei lalu.

Temuan-temuan tersebut terus menantang asumsi umum mengenai lokasi, jumlah, dan bagaimana upaya konservasi dan tata kelola lahan gambut berkelanjutan dalam kontribusinya pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

SUMBER DATA GENERASI BARU

Frank Martin Seifert dari Badan Antariksa Eropa (European Space Agency/ESA), tuan rumah bersama acara paralel di Bonn, berbagi informasi mengenai program satelit Copernicus Eropa. Program ini mengoperasikan satu armada satelit dalam memantau lingkungan hidup dan keamanan sipil.

Lima satelit, dikenal sebagai “Sentinel” sudah berada di orbit, memotret permukaan bumi. Data yang dihasilkan tersedia secara gratis dan terbuka untuk setiap orang, di mana saja di bumi.

Namun, bagaimana dengan kawasan gambut, yang sebagian besar terletak di bawah permukaan bumi? Dapatkah satelit mendeteksinya?

“Sebagian besar gambut tidak langsung tampak dari angkasa,” kata Seifert. “Namun kita tetap bisa menurunkan banyak karakteristik lahan gambut, dan setiap perubahan pentingnya dari citra satelit.”

Dua “Sentinel” sangat berguna dalam pemetaan lahan basah dan lahan gambut, kata Seifert. Sentinel-1 memiliki kemampuan radar yang dapat menembus awan, dan memotret dalam kondisi siang maupun malam, sementara Sentinel-2  yang memiliki kemampuan optik resolusi tinggi dalam program Copernicus, dapat memetakan seluruh permukaan daratan Bumi dalam hitungan hari.

Digabungkan, kedua satelit tersebut dapat mendeteksi luas, kelembapan dan tinggi air lahan basah dan lahan gambut, selain juga ancaman terhadap integritas lingkungan, seperti konversi lahan untuk pertanian dan pembangunan kota, penebangan di hutan rawa, degradasi dan kerusakan akibat kebakaran.

Sejalan dengan upaya global melakukan konservasi dan restorasi lahan gambut, data tersebut juga akan bermanfaat untuk  pemantauan, pelaporan dan verifikasi keberhasilan di lapangan.

PENERAPAN PRAKTIS

Sebagai bagian dari Inisiatif Lahan Gambut Global (GPI) yang diluncurkan pada Forum Bentang Alam Global 2016 di Marrakesh, ESA mengembangkan dan mendemonstrasikan metodologi pemetaan dan pemantauan lahan gambut secara global, serta mengekstraksi praktik terbaik penilaian lahan gambut.

Demontrasi tersebut akan dilakukan di tiga wilayah percontohan GPI – Indonesia, Basin Kongo dan Peru – serta wilayah lain di zona temperatur sedang dan boreal. Temuan tersebut akan sangat berguna bagi upaya lokal, nasional dan global dalam melindungi, mengelola dan merestorasi lahan gambut, serta mengatasi perubahan iklim.

Di Indonesia, misalnya, data satelit dapat mendukung upaya pembenahan yang tengah dilakukan dalam mengelola lahan gambut kritis.

Pada tingkat lokal, lahan gambut di Indonesia menyokong penghidupan dan me-regulasi  jasa ekosistem penting. Tetapi pengeringan, pembakaran dan konversi lahan gambut untuk pertanian dan tujuan lain mengancam keberlanjutan hubungan antara gambut dan manusia. Konversi dan pembakaran lahan gambut juga menjadi sumber terbesar emisi gas rumah kaca, dan mempertinggi ancaman perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia merespon dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Namun lembaga ini akan membutuhkan data yang solid dalam menjalankan mandat dan mengukur kemajuan. Di mana menemukan informasi yang diperlukan tersebut?

“Data satelit memiliki kelebihan dalam memberi pandangan panoptik atas sebuah wilayah, selain juga indikator ancaman,” kata Seifert. “Ini mempermudah kontrol; mempermudah untuk melihat apa yang terjadi.”

Satelit Sentinel-1 mampu memilah wilayah yang terbakar akibat kebakaran hutan di Indonesia pada krisis El Nino 2015. Dengan menggabungkan data tersebut dengan data inventarisasi gambut internasional dan data nasional tutupan hutan, para peneliti mampu menghitung dan melakukan estimasi total gas rumah kaca akibat kebakaran.

Isu tata kelola lahan gambut Indonesia, dipaparkan lebih jauh dalam infobrief terbaru CIFOR yang dibagikan pada acara di Bonn.

DATA GLOBAL

Digabungkan dengan data dan pemodelan lapangan, satelit dapat membantu menjaga konsistensi dan transparansi data, serta memungkinkan dilakukan perbandingan internasional. ESA juga sensitif terhadap kebutuhan negara mengelola sumber daya secara mandiri, memanfaatkan data mereka sendiri, dan melakukan penilaian mandiri.

Data satelit Copernicus tersedia secara gratis dan terbuka, namun tetap diperlukan kemampuan untuk melakukan interpretasi dan analisis. Kotak bantuan analisis data dapat membantu mengembangkan kapasitas ini – misalnya, sebuah kotak alat baru inventarisasi lahan gambut dan pemetaan habitat di Afrika akan dikeluarkan akhir tahun ini, untuk keperluan pengelolaan lahan basah, mengukur ancaman dan mendeteksi perubahan.

CIFOR dan para mitranya juga mulai mengembangkan kotak alat pengembangan data, seperti peta Lahan Basah Global, simulator skenario pemanfaatan lahan  CarboScen dan Indonesia Peatland Network Toolbox, untuk pengelolaan lahan gambut terkiat perubahan iklim.

Meski memiliki peralatan canggih seperti ini, penelitian lebih jauh di tingkat lapangan tetap akan diperlukan untuk melihat bagaimana permainan dinamika bentang alam.

“Tantangannya adalah bagaimana menggabungkan berbagai pendekatan ini,” kata Seifert.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Lahan Gambut

Lebih lanjut Restorasi or Lahan Gambut

Lihat semua