Jauh di dalam hutan di Kalimantan Tengah, suara dayung menembus air berbaur dengan cericit nyanyian burung. Dinaungi kerimbunan vegetasi di kedua sisinya, Adam mengarahkan sampan melewati sungai gambut. Cahaya mulai menembus dedaunan. Hari menangkap ikan dimulai.
Adam menangkap hingga sepuluh kilo patin, gurame dan ikan lele besar dalam sehari, dan mendapat penghasilan kotor Rp 50 ribu (4 USD). Keluarganya telah tinggal di desa Parupuk selama selama satu dekade. Sebagai penangkap ikan, mereka berhubungan erat dengan gambut dan air yang menggenangi.
“Jika tidak ada danau seperti ini, kami dalam masalah. Kami tidak bisa makan,” katanya.
Praktik pengeringan, penebangan dan pembakaran lahan gambut – untuk perkebunan seperti sawit dan kayu kertas – di bagian Indonesia ini membuat kehidupan Adam terancam. Ketika gambut sirna, begitu pula air penyangga alami serta penghuninya.
“Lahan gambut di sebelah sana sudah tidak berair,” kata Adam, menunjukkan jarinya ke arah horison.
STRATEGI ANTISIPASI
Teknik yang disebut tebang dan bakar – dirancang untuk membersihkan lahan, membunuh hama, dan menyuburkan lahan dengan abu – seringkali meluas menjadi kebakaran hutan. Api di lahan gambut bisa membara beberapa pekan, yang sangat rentan terbakar pada kondisi kering dan terdegradasi.
Asap dan api menimbulkan dampak merusak bagi kesehatan manusia, binatang dan tanaman terlindung, serta lingkungan hidup. Kebakaran di Indonesia pada September dan Oktober 2015 melepaskan karbon per hari yang lebih tinggi dibanding rata-rata harian emisi karbon seluruh Uni Eropa pada periode yang sama.
Sebagai respon, Pemerintah Indonesia melakukan serangkaian tindakan untuk menghentikan kebakaran. Praktik tebang dan bakar kini illegal, dan larangan konversi lahan gambut menjadi perkebunan diperluas dan diperkuat dalam peraturan.
Pemerintah juga meratifikasi Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, dengan komitmen memotong emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030, dan juga membentuk Badan Restorasi Gambut yang ditargetkan merestorasi 2,4 juta hektare lahan gambut di tujuh provinsi.
SULIT MENJAGA KESEIMBANGAN
Meski banyak yang memuji pelarangan (yang jika diterapkan, seharusnya bisa membantu penghidupan keseharian penangkap ikan seperti Adam), konsekuensinya bagi petani skala kecil tidak sama.
Otoritas menghadapi potensi dilema. Dapatkah kebijakan untuk melindungi lingkungan menimbulkan efek merugikan pada penghidupan masyarakat lokal?
Alin telah sukses bertani padi di desa Kampung Melayu, Kalimantan selama lima tahun. Tiap tahun, ia membersihkan padinya dengan cara dibakar. Abunya jadi penyubur tanah untuk musim tanam berikutnya.
Namun pada 2017, segalanya berubah.
“Untuk pertama kalinya panen gagal, karena saya tidak lagi boleh membakar lahan,” katanya.
Alin khawatir konsekuensi jangka panjang bagi keluarganya. “Jika terus seperti ini, kami menderita karena hama – seperti tikus, kutu beras, burung, semut dan ulat – tidak mati. Semuanya menyebabkan gagal panen.
Dan bukan hanya gagal panen yang menambah kekhawatiran keuangan Alin.
“Sebelumnya, ketika kami boleh membakar, kami hanya menebar benih dan mendapat beras,” katanya. “Sekarang tidak mungkin lagi. Kita harus membayar untuk penanaman benih, membayar untuk membersihkan rumput yang tumbuh karena tidak dibakar. Untuk satu hektare, biayanya sekitar Rp 4-5 juta (300-400 US dolar).”
Menemukan jalan keluar itu kompleks karena perlu melibatkan banyak hal seperti bagaimana mengatasi penghidupan masyarakat dan bagaimana iklim terganggu oleh emisi dari lahan gambut. Solusi juga perlu mempertimbangkan kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati.
BEKERJA SAMA
Pemerintah Indonesia, lembaga penelitian dan masyarakat sipil melangkah untuk memitigasi efek pelarangan api pada kehidupan individu.
“Solusinya kompleks karena perlu menjawab beberapa dimensi,” kata Peter Holmgren, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
“Solusinya perlu menjawab soal penghidupan masyarakat dan menjawab bagaimana iklim terganggu akibat emisi dari lahan gambut. Solusinya juga perlu menimbang kebutuhan konservasi keragaman hayati.”
Di Indonesia, berbagai skema diterapkan – mulai dari mengangkat aturan lokal yang dapat membantu alokasi anggaran untuk membantu masyarakat, hingga agroforestri, di mana pohon atau semak dikembangkan di lahan pertanian.
Pemerintah Indonesia juga melakukan tindakan untuk melindungi penghidupan lokal, melalui rencana kehutanan sosial di 12,7 juta hektare lahan dan reformasi agraria yang akan memberi sembilan juga hektare lahan pada masyarakat.
ALTERNATIF BERKELANJUTAN
Di Kalimantan Tengah, perusahaan restorasi Rimba Makmur Utama mengupayakan regenerasi hutan, bekerja sama dengan petani dengan menerapkan beragam taktik, termasuk diversifikasi tanaman budi daya. Mereka bekerja bersama masyarakat lokal dalam menjawab kekhawatiran dan prioritas yang teridentifikasi, bukannya memaksakan solusi tertentu.
“Saat ini, masyarakat di lahan gambut Indonesia menghadapi situasi sulit,” kata Dharsono Hartono, Direktur Utama Rimba Makmur Utama. “Tidak ada solusi cepat.”
Salah satu masalah yang dimunculkan masyarakat lokal adalah kebutuhan pengganti teknik pertanian tebang dan bakar untuk mengelola dan menyuburkan tanah mereka. Perusahaan dan petani mencoba apa yang disebut ‘tanaman sela’, seperti kacang lokal yang ditanam setelah panen. Tanaman ini menutrisi dan melindungi tanah dari bakteri dan infeksi, agar lahan siap untuk musim tanam berikut, tanpa perlu membakar.
“Saat produktivitas tanah meningkat melalui tata kelola lahan yang baik, Anda dapat menanam banyak tanaman,” kata Hartono.
Para peneliti menegaskan bahwa praktik pelibatan masyarakat dan mengatasi kebutuhannya menjadi kunci keberhasilan mengelola lahan gambut dan menyatukan beragamnya kepentingan.
Pada 18 Mei 2017 lalu, para tokoh masyakarat bergabung dengan aktivis lingkungan, pejabat pemerintah, akademisi dan pengambil kebijakan pada acara tematik Global Landscapes Forum: Peatlands Matter di Jakarta, Indonesia untuk mendiskusikan hal ini.
“Kita perlu membawa berbagai sektor dan perspektif untuk mendapat solusi,” kata Holmgren.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org