Langit menguning sesaat sebelum kebakaran lahan gambut 2015 mencapai puncaknya di Kalimantan, Indonesia. Kemudian menjadi gelap, seperti topeng hantu menutupi pulau Borneo, dengan asap coklat tebal dan lembab. Partikel di udara begitu padat hingga memerihkan mata. Melihat jadi sulit. Asap juga sangat beracun hingga seorang anak perempuan berusia sembilan tahun pingsan di tengah jalan saat bersepeda ke sekolah.
Krisis lingkungan itu merusak reputasi masyarakat lahan gambut – mereka dianggap tidak peduli dan tidak bertanggung jawab. Merusak lingkungan, yang membuat mereka dan jutaan orang lain menghadapi ancaman kesehatan. Apakah reputasi ini sesuai?
Tokoh masyarakat Indonesia diundang berbicara pada Global Landscapes Forum: Peatlands Matter di Jakarta, 18 Mei 2017 lalu. Mereka diminta berbagi pandangan bagaimana rasanya hidup di ekosistem lahan gambut.
Masyarakat lahan gambut di Indonesia memang dipaksa mempelajari kembali bagaimana hidup damai dalam lingkungan mereka. Lahan gambut diestimasi menyimpan karbon dua kali lebih banyak dibanding seluruh gabungan hutan dunia, meski hanya menutupi 3-5 persen permukaan bumi. Fakta ini membuat lahan gambut menjadi berharga bagi kontrol iklim jika dilindungi. Sebaliknya akan sangat destruktif jika terbakar, dan karbon dioksidanya dilepaskan.
Masyarakat petani lahan gambut telah lama melakukan pembersihan lahan melalui pembakaran terkendali. Mereka memilih bagian yang dibakar pada satu waktu tertentu, bergantung pada kelembaban gambut agar agar api tetap terkendali. Abunya menjadi pupuk dan penyeimbang tanah yang sangat asam.
Namun, pengembangan perkebunan tanaman komersial seperti sawit yang mengharuskan pengeringan lahan gambut, disertai kenaikan suhu akibat pemanasan global, membuat lahan gambut seperti kotak api. Meski dengan mekanisme penggenangan – seperti menggali kanal yang dapat dibendung untuk membanjiri lahan – metode pembakaran terkendali kini tetap berbahaya, sulit diprediksi dan tidak lestari.
Masyarakat lahan gambut menghadapi teka-teki dalam mengembangkan cara baru memetik manfaat dari bentang alam alami sekaligus menjaga kelestarian. Seperti tergambar pada Forum, tidak ada satu solusi tunggal – dan salah satu cara terbaik adalah menyatukan masyarakat untuk berbagi praktik terbaik tata kelola dan restorasi gambut.
MENYELESAIKAN SENDIRI
Pada 1980, Akhmad Tamanuruddin meninggalkan rumahnya di Jawa Timur, menjadi bagian program transmigrasi untuk menyatukan negeri dengan menyebarkan budaya bertani Jawa ke seluruh pulau. Ia di relokasi ke Palangkaraya, ibukota provinsi Kalimantan Tengah, dan diberi dua hektare lahan gambut. Saat ia tidak mengajar sebagai guru di kelas, ia mengolah lahannya, agar produktif.
“Awalnya, saya menanam bayam di area yang telah dibakar dan subur. Di area yang tidak dibakar, bayam tidak bisa tumbuh,” katanya pada audiens pada salah satu sesi pleno Forum. “Ini mengapa masyarakat memiliki kebiasaan membakar lahan.”
Namun, ia menyadari dampak berbahaya pembakaran. Didorong oleh rasa penasaran, Tamanuruddin mulai mencari alternatif dan mencoba-coba mencampur tanah yang kemudian ia tebarkan di atas lahan – mirip seperti memberi lapisan gula pada kue – untuk meningkatkan kesuburan.
Kemudian, ia membuat resep sendiri: beragam tanah dibawahnya dari wilayah lain dicampur dengan pupuk, atau kompos atau jeruk. “Tiap kandungan memiliki fungsinya sendiri, seperti jeruk mengurangi keasaman gambut. Dalam beberapa tahun, tanah saya makin gelap, tanda-tanda kesuburan.”
Ia berhenti total membakar pada 2004 – 11 tahun sebelum presiden Indonesia Joko Widodo melarang pembakaran lahan gambut, sekaligus pembersihan lahan, serta konversi lahan terbakar. Tamanuruddin telah menemukan solusi, lama sebelum ia secara legal harus melakukannya.
Memang metodenya belum sempurna. Lima meter kubik ramuan spesialnya cukup untuk satu hektare lahan. Namun mengkonversi wilayah luas berarti diperlukan beberapa truk tanah dari wilayah lain dan perlu membuat jalan untuk membawanya.
Apalagi dengan kondisi usia, kedalaman, dan tingkat mineral beragam lahan gambut, keberhasilan di satu tempat belum tentu cocok di tempat lain. Misalnya, ia masih mencoba-coba bagaimana mengoptimalkan metodenya. “Saya bekerjasa sama dengan lembaga penelitian dari Banjarbaru dan mencoba memanfaatkan pengetahuan mereka. Kini saya menanam berbagai kayu lokal, dan daun keringnya membantu pertumbuhan.”
SEMANGAT KEWIRAUSAHAAN
Pendekatan lokal mengubah lahan gambut menjadi sumber penghasilan menunjukkan semangat kewirausahaan yang diperlukan dalam menjawab tantangan lahan gambut di tingkat lokal. Hanya sedikit orang yang bisa lebih baik dibanding Emmanuela Shinta (24 tahun), pembuat film dokumenter dan pendiri Yayasan Ranu Welum, sekelompok aktivis lokal yang berkomitmen tidak hanya meningkatkan kesadaran mengenai masyarakat lahan gambut, namun juga menerapkan upaya mitigasi di tingkat masyarakat di Kalimantan.
Lahir dan besar di masyarakat Dayak asli Kalimantan Tengah, Shinta menyaksikan banyak tragedi pada kebakaran 2015, seperti seorang gadis kecil yang jatuh pingsan saat bersepeda akibat gangguan paru-paru. Selalu mengenakan baju tradisional Dayak, di bawah ikat kepala sumping, mata Shinta berkaca-kaca saat mengingat bagaimana kebakaran tidak hanya menjadi titik penting perhatian masyarakat lingkungan global, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
“Saya selalu bangun di pagi hari dengan suara burung,” katanya. “Waktu kecil saya bertualang ke dalam hutan, berlari di lahan gambut, dengan air sampai ke lutut. Harumnya wangi. Saya tidak mengingatnya hanya di kepala, tetapi juga di hati.”
Kebakaran lahan gambut pertama terjadi di Kalimantan pada 1997. Saat ia pindah ke Palangkaraya untuk kuliah pada 2009, ia mengatakan segalanya sudah berubah. Udara tidak lagi menebar wangi segar hutan, hanya bau tajam sisa kebakaran.
“Pada 2015, Indonesia terkejut, seluruh dunia juga. Namun kami tidak terkejut. Situasi ini sudah bergolak selama 18 tahun.”
Borneo, sebelumnya dijuluki “paru-paru dunia”, kini seperti paru-paru terkena kanker. Indeks kualitas udara pada batas 300, yang menunjukkan tingkat ancaman keracunan, melonjak menjadi 3.000 dalam sepekan. “Kita kehabisan oksigen,” kata Shinta. “Dapatkah Anda bayangkan bernafas dalam udara beracun seperti itu dalam tiga bulan?”
Shinta merasa terpanggil untuk beraksi. Tanpa kemampuan profesional, ia melakukan apa yang bisa: memasak. Ia dan teman-temannya mengumpulkan uang sumbangan masyarakat dan memasak untuk pemadam kebakaran lokal yang bertahan dengan telur dan mie selama berhari-hari.
Ia juga mulai mendokumentasikan krisis dalam film, untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Mulai saat itu, kamera menjadi alat utamanya membantu masyarakat. Film dokumenter terbarunya berjudul Saat Perempuan Berjuang, mengisahkan masyarakat yang secara langsung menghadapi krisis. Film ini diputar dalam Forum Film Masyarakat ASEAN di Timor Leste dan pada Festival Film Merdeka di Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun menyebarluaskan informasi hanya salah satu bagian misinya. Ia juga mendistribusikan topeng anti polusi dan mengembangkan ruang kedap udara sebagai persiapan jika indeks kualitas udara memburuk lagi. Masyarakat Dayak, katanya, mendefinisikan dirinya sebagai “pelindung hutan” dan seharusnya menemukan kembali identitas ini. Ketika karyanya ditampilkan, mungkin menjadi awal melindungi satu sama lain.
Pada tahun 2015, Indonesia terkejut, seluruh dunia terkejut. Tapi kami penduduk setempat tidak terkejut. Situasi seperti ini telah berlangsung selama 18 tahun.
PERUBAHAN KONDISI
Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia. Namun, tidak ada transfer pengetahuan yang memadai ketika sawit pertama kali diintroduksi secara masif.
Dalam pleno pembukaan Forum, Eddy Rusman, tokoh masyarakat dari Sumatera Selatan memaparkan bahwa tanaman ini tidak secara layak disesuaikan dengan kondisi negeri, apalagi terhadap masyarakat yang tinggal di sana.
Selama beratus tahun, katanya, masyarakat mengelola lahan dengan pembakaran terkendali dan tertutup. “Kami selalu menyiapkan air, jadi [pembersihan lahan] tidak pernah membakar habis pohon. Namun sawit membuat lahan lebih kering, jadi kini lebih mudah terbakar.”
Perubahan kondisi lapangan, dan sejalan dengan larangan pemerintah untuk menggunduli lahan, membuat Saputra mulai mencari jalan bagi masyarakatnya dalam memetik manfaat dari lahan mereka. Namun mereka tidak akrab dengan metode pertanian lain. Biaya pupuk penyubur lahan juga tidak terjangkau. “Tidak membakar berarti biaya lebih tinggi,” katanya. “Dan pemerintah tidak pernah memberi solusi lain.”
Namun saat ini adalah era lingkungan baru, tergantung padanya dan pada masyarakatnya untuk beradaptasi. Pada 2014, masyarakat mulai menanam karet, dan pada 2016, mereka diminta pemerintah membantu konversi sebagian lahan menjadi sawah. Mereka mulai memproduksi dan memasarkan kerajinan lokal. Masyarakatnya tidak lagi menggunakan metode pembakaran, dan meski melewati musim kering panjang abnormal, lahan mereka tetap bebas kebakaran.
Bagaimanapun, menemukan solusi ekonomis sambil berupaya mengubah kebiasaan lama membutuhkan perjuangan besar. “Kami paham bahwa membakar itu buruk. Kami mencoba mengubah kebiasaan itu.”
Bagus, tokoh masyarakat perikanan di wilayah rentan banjir Kalimantan Timur, juga menyaksikan perubahan ke arah yang lebih baik kebiasaan masyarakatnya. Hampir setiap lima tahun, katanya, masyarakat terancam kebakaran jika tidak waspada. Meskipun biasanya mereka mengalami satu atau dua kali banjir besar dalam setahun. “Banjir adalah berkah bagi kami, karena setelahnya ikan melimpah,” katanya.
Masyarakatnya dipaksa untuk mengubah cara hidup berabad lamanya hanya dalam waktu beberapa tahun lalu. Perkebunan sawit datang dan mulai menggunduli hektaran lahan sekitar. Mereka tidak ingin melepas ekonomi perikanan, namun ketika dialog dengan pemerintah lokal mengenai apa yang harus dilakukan atas tanah mereka, pertanyaan hanya hanya berkisar: Apa yang dijual, atau apa yang tidak untuk dijual?
Bukannya bereaksi, mereka lebih memilih menunggu dan mengamati. Namun, seperti melawan alam melakukan budi daya di lahan rentan banjir – dan ini terbukti. Penanaman kebun bergantung pada banjir dan cuaca, membuat masa tanam kacau dan keuntungan berkurang.
“Tetangga kami telah bertanam sawit selama dua tahun, namun tidak ada penghasilan signifikan akibat banjir. Bagi masyarakat, jika lahan digunduli dan ditanami sawit, tidak akan ada keuntungannya. Dan, hutan tidak bisa dikembalikan seperti semula.”
Untungnya, masyarakat tidak hanya menjaga lahan mereka, tetapi melangkah lebih jauh memutuskan untuk melindunginya, menetapkan 27.000 hektare sebagai wilayah konservasi.
Menurut istilah Shinta, mereka benar-benar menjadi “para pelindung hutan”.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org