Berita

Hukum dan aturan lokal

Mampukah masyarakat dan legislasi Indonesia menghentikan kebakaran gambut?
Bagikan
0

Bacaan terkait

Di luar desa Dompas di Provinsi Riau, sekelompok lelaki menggali tanah hitam dengan ayunan berirama. Bersenjatakan cangkul, mereka bergerak perlahan di bawah matahari siang, menurunkan bibit ke tanah, satu per satu. Bayi sawit sagu tersebut ditanam di lahan gambut yang terdegradasi, kering dan sangat rentan kebakaran di Indonesia.

Kanal yang dulu melintang di sepanjang sisi perkebunan, menghisap air dan nutrisi vital, kini diubah menjadi cermin dalam. Dibendung oleh para penduduk desa dengan sejumlah blok beton kecil, untuk mengembalikan sumber daya kembali ke dalam tanah.

Para pakar dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) sudah bekerja dengan masyarakat lokal selama beberapa bulan, memberi masukan cara mengatasi kebakaran lahan gambut.

“Provinsi Riau paling sering mengalami kebakaran, dibanding daerah lain di Indonesia,” kata ilmuwan Herry Purnomo, yang memimpin proyek CIFOR ini. “Kebakaran tersebut berkontribusi pada perubahan iklim, dan asapnya menimbulkan masalah serius bagi kesehatan masyarakat.

Pembendungan kanal dan penanaman memiliki tujuan praktis yang penting. Lahan gambut kering atau terdegradasi sangat mudah terbakar karena memiliki kandungan  karbon yang tinggi. Lahan ini seringkali dibakar oleh perusahaan dan individu untuk mengembangkan perkebunan sawit yang secara finansial lebih menguntungkan. Dengan mendorong masyarakat membasahi kembali lahan terdegradasi melalui pembendungan kanal dan penanaman vegetasi asli yang bisa dijual dan dikonsumsi, alternatif ekonomi dan lingkungan yang layak telah diperkenalkan.

DAMPAK LEBIH DALAM

Namun, proyek ini juga memiliki tujuan lebih luas. Proyek ini berperan penting dalam investigasi CIFOR yang menggali alasan ekonomi, sosial dan politik di balik kebakaran di Riau.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa elit lokal seringkali mengendalikan dan mengeksploitasi kebakaran lahan gambut, serta menguras habis keuntungan terbesar. Dikombinasikan dengan kompleksitas sistem patron, lemahnya penegakkan hukum, dan terpusatnya alokasi sebagian sumber daya, upaya pemerintah Indonesia mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun terakhir menjadi terhambat.

Penelitian tersebut menyarankan sejumlah jalan untuk membantu menyelesaikan kebuntuan ini. Salah satunya adalah menggunakan aturan lokal di tingkat kabupaten maupun provinsi dalam menjaga akuntabilitas individu dan perusahaan. Masalahnya, aturan nasional kurang terimplementasikan, dan hingga saat ini, berbagai pendekatan lain seringkali tidak terwujud.

“Kita seharusnya tidak bergantung hanya pada inisiatif nasional,” kata Purnmomo. “Legislasi yang diadopsi di tingkat lokal lebih dekat pada masyarakat, akan lebih bisa ditegakkan, dan berdampak positif  di lapangan.

Konsultasi CIFOR mengenai pembendungan kanal dan penanaman dirancang untuk menunjukkan pada masyarakat jenis pencegahan kebakaran dan upaya restorasi lahan gambut yang bisa dibantu didanai dan diperkuat oleh peraturan baru. Program ini juga memberi kesempatan bagi para peneliti untuk meneliti pandangan lokal mengenai cara menghentikan kebakaran dan bentuk tindakan yang membantu, termasuk melalui peraturan lokal.

MENGEMBANGKAN ATURAN LOKAL

Proses mengembangkan peraturan lokal di Riau, diawali pada Februari 2016, dengan fokus terhadap dua rangkaian legislasi tingkat kabupaten di Bengkalis dan tingkat provinsi di Riau. Sejumlah besar pihak terkait dilibatkan – mulai dari anggota parlemen, LSM, akademisi, petani, pemerintah dan sektor swasta..

Setiap pihak memiliki pandangannya sendiri terhadap aturan yang perlu disusun. Masyarakat lokal mempertanyakan penyediaan peralatan pencegahan kebakaran seperti pompa dan selang. Sebagian lain meminta aturan pelarangan pembakaran yang jelas dan mengikat, serta dikaitkan dengan legislasi nasional yang ada. Temuan CIFOR terkait isu insentif ekonomi kebakaran dan restorasi lahan gambut, pemetaan de-fakto lahan tingkat lokal, pembendungan kanal dan biaya restorasi gambut juga menjadi masukan dalam proses tersebut.

Ternyata, seluruh kelompok menuntut kejelasan alokasi anggaran untuk pencegahan kebakaran dan upaya restorasi. Bermacam keluhan, mulai dari polisi yang mengaku tidak memiliki anggaran untuk melakukan investigasi kebakaran hingga masyarakat lokal yang menyatakan tidak memiliki sumber daya untuk membeli peralatan melawan api atau jalan alternatif penghidupan.

“Saya bertanya pada otoritas lokal mengapa mereka tidak memberi uang untuk pencegahan kebakaran. Dan mereka menjawab, peraturan tidak mewajibkan hal tersebut,” kata Purnomo. “Tidak ada yang memberitahu, bahwa mereka harus mengalokasikan sejumlah uang yang cukup untuk restorasi gambut, pemetaan, penegakkan hukum.”

Naskah peraturan yang menggabungkan seluruh elemen tersebut, kini berada di tangan parlemen. Purnomo berharap mereka akan menyetujuinya pada akhir 2017. Saat ini, Jambi merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki legislasi yang dapat diperbandingkan.

Kembali ke Dompas, bahkan para politisi lokal, kepala kepolisian dan parlemen provinsi berperan dalam proyek sawit satu. Sebanyak 800 bibit telah ditanam.

Namun, selama lahan pertanian lebih menguntungkan dibanding lahan hutan, dan struktur kekuasaan tetap dikendalikan oleh elit lokal yang menggenggam kuat, tantangan menghentikan kebakaran lahan gambut masih sangat besar.

“Ada dukungan dari masyarakat di Dompas, meski ini hanya di satu lokasi saja,” kata Purnomo. “Kami berharap aturan akan mengarah pada lebih banyak aksi restorasi gambut dan pembendungan kanal di seluruh provinsi, dan akan lebih banyak penyusunan peraturan lokal di seluruh wilayah Indonesia.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cgiar.org..
Riset ini didukung oleh DFID-KNOWFOR
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org