Sebanyak 425 peserta di Jakarta – serta lebih dari seribu pemirsa siaran langsung dan 5 juta lain yang dijangkau melalui Twitter – kegiatan Global Landscapes Forum: Peatlands Matter menyatukan aktor lokal dan global dalam mengakselerasi aksi positif tata kelola lahan gambut di seluruh dunia.
Tim Christophersen, Pejabat Senior Program Hutan dan Perubahan Iklim, UN Environment, berbicara pada Kepala Editorial Forests News , Leona Liu mengenai tantangan terkini berbagai negara untuk memaksimalkan kekuatan lahan gambut dalam stategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
UN Environment berpartisipasi dalam sesi ilmiah, Menemukan kembali stok karbon lahan basah dan lahan gambut tropis, yang digelar Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Panel ilmiah di sesi siang ini mendiskusikan alat terbaru dalam mengindentifikasi dan menentukan lokasi lahan basah dan lahan gambut, serta mengungkap bagaimana ilmuwan mengukur ulang stok karbon.
“Banyak negara tidak tahu di mana posisi (lahan gambut) dalam Konvensi Iklim,” kata Christophersen. “Saat ini kita baru mulai memiliki pengetahuan itu. UN Environtment akan melakukan Penilaian Respon Cepat Global lahan gambut akhir tahun ini, dan akan dilanjutkan penilaian ilmiah lebih mendalam mengenai lahan gambut di tahun berikutnya. Hal ini diharapkan dapat membantu semua negara menjawab pertanyaan: Apakah kita memiliki lahan gambut? Di mana letaknya? Seberapa besar? Berapa banyak karbon? Apa yang bisa dilakukan melindunginya?
Transkripsi wawancara televisi tersebut dapat di baca di bawah ini
Seberapa penting lahan gambut? Bagaimana perannya dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan tujuan pembangunan lebih luas?
Lahan gambut adalah ekosistem yang menarik. Ditemukan di 180 negara, jadi mungkin ada dekat di mana Anda berada. Lahan gambut adalah ekosistem yang paling kurang dipahami. Hanya baru-baru ini kita menyadari mereka menyimpan sejumlah besar karbon. Pada dasarnya, selama ribuan tahun, materi organik terakumulasi. Dalam hal iklim, terdapat potensi untuk menjaga karbon itu di tanah dan terus menyerapnya, atau sebagai serapan karbon.
Lahan gambut hanya meliputi sekitar 3 persen permukaan bumi, namun mungkin bertanggung jawab untuk 5 persen emisi gas rumah kaca. Jika kita dapat menyumbat kebocoran itu, akan cukup dorongan bagi kita mencapai target Perjanjian Paris bertahan di 2 derajat pemanasan global. Jika kita tidak dapat menyumbat kebocoran dari kebakaran dan degradasi lahan gambut, akan sangat sulit berada dalam batas aman itu dan target Perjanjian Paris.
Apakah negara-negara yang menjalankan skema REDD+ telah sepenuhnya memanfaatkan potensi lahan gambut dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim?
Belum. Contohnya, Indonesia telah memiiki tingkat emisi rujukan hutan di bawah Konvensi Iklim dalam mengukur emisi dan bagaimana menurunkannya, namun tidak menghitung simpanan atau kebakaran di lahan gambut.
Situasi serupa terjadi di banyak negara lain, gambut belum dimasukkan dalam upaya ini, meski saat ini kita lihat itu berubah. Berbagai negara lebih waspada pada peluang dan tantangan (gambut).
Ini mengapa [UN Environment] membentuk Inisiatif Lahan Gambut Dunia, yang menyatukan lebih dari 20 organisasi internasional dan berbagai negara seperti negara-negara Basin Kongo, Peru, dan Indonesia untuk mendalami bagaimana lahan gambut bisa lebih diintegrasikan dalam tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan upaya iklim yang telah dilakukan.
Bisa dijelaskan lebih jauh mengenai inisiatif ini. Bukan kah yang baru-baru ini diluncurkan pada Global Landscapes Forum?
Betul, di Marrakesh. Kami baru meluncurkannya tahun lalu, November 2016. Dan kini kita telah memiliki lebih dari 20 mitra. Kami mencoba lebih menselaraskan seluruh data dan mendukung masyarakat internasional dalam membantu berbagi negara, seperti Indonesia dan Republik Kongo, dan melalui upaya itu, kami berharap menyentuh para pengambil kebijakan (kementerian lingkungan hidup, kementerian keuangan, kementerian perencanaan) menyadari fakta bahwa lahan gambut merupakan ekosistem bumi terpenting dalam perang melawan perubahan iklim.
Lahan gambut mungkin merupakan ekosistem terestrial terpenting untuk memerangi perubahan iklim.
Apa tantangan bagi berbagai negara itu dalam mengoptimalkan kekuatan lahan gambut?
Pertama, banyak negara tidak tahu posisi di mana (lahan gambut) dalam Konvensi Iklim. Beberapa tahun, pada 2016, di Kenya, ketika para perunding iklim membawa lahan gambut dalam diskusi, sebagian negara menyatakan, ‘Kami tidak punya lahan gambut’, termasuk tuan rumah Kenya. Padahal, lima kilometer di luar tempat konvensi terdapat banyak lahan gambut. Jadi belum cukup pengetahuan di mana lahan gambut berada.
Kita baru mulai memiliki pengetahuan itu. [UN Environment] akan melakukan Penilaian Respon Cepat Global lahan gambut akhir tahun ini yang akan dilanjutkan tahun depan dengan penilaian ilmiah mendalam lahan gambut global yang diharapkan membantu seluruh negara menjawab pertanyaan: Apakah kami memiliki lahan gambut? Di mana letaknya? Seberapa luas? Berapa banyak karbon tersimpan? Apa yang bisa dilakukan melindunginya?
Jadi, poin pertamanya adalah [negara] tidak tahu di mana lahan gambut. Poin kedua, dalam banyak kasus – dan Indonesia khususnya merupakan negara terpenting untuk topik ini – banyak area gambut berada di bawah produksi pertanian. Dulunya lahan gambut, namun seringkali dikeringkan untuk perkebunan dan pertanian. Selain itu, masalah kebakaran yang kita lihat di Indonesia, terutama disebabkan pengeringan lahan gambut.
Capaian apa yang Anda harapkan melalui Forum Bentang Alam Global di Jakarta ini? Oleh-oleh apa yang ingin dibawa di akhir kegiatan?
Saya pikir motto kegiatan ini – ‘Masalah Lahan Gambut’ – yang juga telah menjadi tagar populer di Twitter, adalah pesan inti yang ingin kita berikan pada para pengambil kebijakan. Lahan gambut bukan hanya penting bagi iklim, namun juga bagi pembangunan. Terdapat jutaan hektare lahan di berbagai negara tropis. Terdapat jutaan orang menggantungkan penghidupan. Di sebagian kasus, lahan gambut dimanfaatkan berlebihan, dieksploitasi, dikelola dengan buruk, atau dikeringkan hingga tinggi air menurun parah. Kita perlu membalikkan tekanan dan menjamin lahan gambut dikelola dengan baik.
Pada Global Landscapes Forum ini, kita mendengar banyak contoh sukses bagaimana upaya ini dilakukan. Kita ingin membawa (contoh-contoh tersebut) ke negara lain – yang sebagian juga bersama kita saat ini, dan pada negara yang tidak hadir. Kita ingin memanfaatkan Global Landscapes Forum untuk benar-benar mengangkat topik ini pada agenda kebijakan internasional.
* Video ini merupakan rangkaian wawancara video dari Global Landscapes Forum: Peatlands Matter di Jakarta, 18 Mei 2017.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org