Berita

Tiga dekade reformasi tenurial di Indonesia

Panduan mengenai ‘apa’, ‘kapan’, dan ‘mengapa’ dalam perubahan hak atas sumber daya
Bagikan
0
Seorang petani memupuk padi di Pangkep, Sulawesi Selatan, Indonesia. Foto: Tri Saputro/CIFOR

Bacaan terkait

Pelimpahan hak lahan adat di Indonesia baru-baru ini, menurut para peneliti merupakan perjalanan panjang hasil perjuangan masyarakat selama beberapa dekade.

Sebuah inforingkas terbaru dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang melacak lebih dari tiga dekade reformasi tenurial di Indonesia, menemukan peran kunci pemimpin lokal dalam memperjuangkan pengakuan atas hak tata kelola lahan dan hutan.

“Kepemimpinan lokal sangat penting dalam mengamankan hak, dan tercapainya reformasi tenurial hutan yang efektif,” kata Mani Ram Banjade, ketua tim penulis laporan tersebut.

Banjade menyatakan, meski ia dan rekan-rekannya menyambut langkah pelimpahan hak pada pemimpin lokal, namun kemajuan dalam memenuhi aspirasi masyarakat adat atau dalam pencapaian target pemerintah masih tetap lamban.

Pelimpahan di awal tahun ini baru beberapa ribu hektare saja, sementara masyarakat adat menuntut hak penuh atas 8 juta hektare. Pemerintah sendiri menargetkan pelimpahan sebagian hak lahan hutan sedikitnya 12,7 juta hektare pada 2019.

Menurut Banjade, dengan kecepatan yang ada saat ini, akan sulit bagi pemerintah mencapai target meningkatkan total luas lahan hutan di bawah manajemen adat atau lokal dari 3% menjadi 10% dalam dua tahun ke depan.

Diharapkan, inforingkas baru ini segera diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, agar dapat menjadi sumber informasi berharga dalam membantu pemerintah dan pemimpin lokal mencapai tujuan-tujuan mereka.

 PERUBAHAN TIGA DEKADE

Meskipun perubahan berlangsung lambat, penelitian menunjukkan tren positif reformasi tenurial di Indonesia dalam tiga dekade terakhir, khususnya sejak awal 2000-an.

Setelah periode sentralisasi ketat di bawah Orde Baru pimpinan Presiden Suharto pada 1960-an, partisipasi masyarakat dalam tata kelola lahan dan hutan mulai didorong pada 1980-an. Hak guna lahan – atau hak memanfaatkan lahan untuk kepentingan indiviu atau masyarakat – diperkenalkan sejak 1990-an.

Jatuhnya rejim Orde Baru pada 1998 menandai periode akselerasi desentralisasi. Skema kehutanan sosial diperkenalkan sejak 1999, dan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 membuka peluang masyarakat menuntut tenurial adat atas lahan.

Kini, terdapat beberapa jenis tenurial yang dapat diklaim masyarakat di Indonesia – mulai dari hutan adat hingga hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan petani dan kemitraan negara-masyarakat.

Meski membuka beragam opsi tata kelola lokal, berbagai skema yang tersedia juga bisa jadi membingungkan pemimpin lokal memilih klaim yang paling sesuai, dan terkait kemanfaatannya bagi masyarakat.

Banyak yang tidak menyadari bahwa beberapa opsi, seperti skema kehutanan sosial hanya memberi sebagian hak pada masyarakat, dan bukan hak penuh seperti yang dituntut pemimpin lokal, termasuk hak untuk memanfaatkan lahan yang yang dianggap sesuai, atau menjual lahan pada pihak ketiga.

Ketika satu opsi dipilih, proses mendapatkan ijin bisa menjadi ladang ranjau lain bagi masyarakat lokal. Sementara masyarakat mungkin tidak memiliki cukup kemampuan bergerak memenuhi persyaratan rumit birokrasi.

Hal ini merupakan alasan lain mengapa penelitian menyarankan perlunya dukungan bagi kepemimpinan lokal dalam mewujudkan reformasi tenurial yang efektif.

“Ketika ada pemimpin sejati, yang benar-benar berkomitmen dan meluangkan waktu  mengimplementasikan reformasi, hasilnya akan sangat bagus,” kata Banjade.

HAK UNTUK MEMUTUSKAN

Tren menuju desentralisasi hak lahan di Indonesia saat ini, menunjukkan pergeseran positif dari persepsi atas masyarakat lokal sebagai penghambat pembangunan, ke arah menempatkan mereka sebagai mitra dalam langkah maju lebih berkelanjutan.

Banyak masyarakat lokal bergantung pada lahan dan hutan dalam memenuhi kebutuhan harian mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ekosistem lokal, dan kelembagaan informal yang mendukung konservasi, dapat menjadi aset berharga dalam mencapai tujuan lebih besar pembangunan berkelanjutan.

Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa partisipasi lokal dalam pengambilan keputusan mewujudkan hasil lebih baik bagi keberlanjutan, keadilan dan kesetaraan. Mengingat akses terhadap lahan berarti akses terhadap manfaat, distribusi hak lahan lebih adil berarti distribusi manfaat lebih adil pula bagi masyarakat lokal.

Penelitian tengah dilakukan untuk mengungkap bagaimana reformasi tenurial berperan di tingkat lokal, dan manfaat apa yang diperoleh masyarakat lokal.

Penelitian Komparatif Global Reformasi Tenurial Lahan CIFOR (GCS-Tenure) yang menggunakan Analisis Prospektif Partisipatoris mengungkap aspirasi masyarakat lokal di tempat seperti Maluku dan Lampung. Temuan awal dipresentasikan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai bagian upaya yang kemudian mengarah pada pelimpahan hak kepada sembilan masyarakat adat, Januari lalu.

Pekan ini, Banjade dan timnya mempresentasikan temuan terbaru implementasi reformasi tenurial pada Konferensi Lahan dan Kemiskinan Bank Dunia di Washington, DC.

Pada tingkat lokal, Banjade berharap inforingkas terbaru ini akan memperkuat informasi masyarakat mengenai opsi yang tersedia untuk mereka, dan bagaimana mendapatkan hak mereka tersebut.

“Gagasannya adalah menyediakan informasi di satu tempat, sebagai peluang bagi masyarakat lokal membandingkan berbagai rejim – apa manfaatnya, hak seperti apa yang diberikan, apa risikonya – dan juga bagi para pengambil kebijakan untuk memeriksa status terbaru reformasi, dan di mana letak kesenjangannya,” katanya.

Riset ini didukung oleh the European Commission, the Global Environment Facility, the International Fund for Agricultural Development and the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org