Kesepakatan Paris dibuat oleh para negara-negara ditujukan bagi ‘Intended Nationally Determined Contributions (INDCs)’ – peta arahan nasional yang berguna untuk membatasi pemanasan global menjadi 1,5 ° C. Di Asia, mencegah emisi dari perubahan tata guna lahan merupakan jalan yang paling jelas untuk memberikan komitmen nasional.
Para pelaku sektor swasta besar, menanggapi timbulnya tekanan dari konsumen dan masyarakat sipil akan hal ini, menjadi pemimpin di berbagai wilayah. Puluhan perusahaan berupaya untuk memenuhi nol deforestasi dan target minyak sawit berkelanjutan. Dan banyak bank melakukan penilaian kembali risiko yang terkait dengan berbagai investasi yang tidak memenuhi standar sosial dan lingkungan tertentu.
Nampaknya seperti solusi yang tepat bagi para negara untuk berhadapan dengan berbagai tantangan tantangan untuk memenuhi target mitigasi iklim dengan keuangan yang terbatas.
Sebuah laporan terbaru yang merujuk INDCs dari tujuh negara di Asia menemukan bahwa terjadi pengabaian dari sebagian besar pengakuan terhadap potensi kontribusi sektor swasta untuk pemenuhan target iklim nasional terkait dengan mitigasi melalui tata guna lahan.
POTENSI BESAR
Pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU) mewakili 20-24% dari emisi (GRK) gas rumah kaca global. Kesepakatan Paris secara resmi mengakui peran sektor AFOLU dalam mitigasi perubahan iklim dan menyatakan bahwa semua pihak harus mengambil tindakan untuk melestarikan dan menambahkan karbon GRK dan berbagai simpanan lain-lain.
Di Asia, jika Anda tidak terfokus pada upaya mitigasi iklim pada AFOLU, Anda tidak mengatasi perubahan iklim. Dan jika Anda tidak berfokus pada peran sektor swasta, Anda akan berhadapan dengan apa yang mungkin menjadi sumber paling penting dari keuangan dan kapasitas untuk memenuhi mitigasi dan adaptasi target nasional.
Jika Anda mempertimbangkan semua cara teknis yang laik bagi pengurangan emisi-emisi ini, di semua gas-gas rumah kaca, kurang lebih antara 550 dan 1.300 juta ton CO2 bisa diselamatkan setiap tahun 2030. Wilayah Asia memberikan hampir semua potensi mitigasi global untuk budidaya padi, termasuk potensi terbesar bagi pemulihan tanah organik (karena budidaya di lahan gambut di Asia Tenggara).
Oleh karena itu, bagi benua Asia, jika Anda tidak terfokus pada upaya mitigasi iklim di AFOLU, Anda tidak mengatasi perubahan iklim. Dan jika Anda tidak berfokus pada peran sektor swasta, Anda harus juga mempertimbangkan apa yang mungkin menjadi sumber yang paling penting dari keuangan dan kapasitas untuk memenuhi mitigasi dan adaptasi target nasional.
BIAYA TINGGI
Di antara saat ini dan 2030, INDC akan berkembang menjadi Tekad Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions), yang segera perlu diperbaharui – dan ditingkatkan – setiap lima tahun sekali. Proses ini memberikan peluang bagi para negara untuk secara lebih detil menjelaskan pendanaan mereka dan untuk mendapatkan akses seraya terus menerus terlibat dalam perkembangan pembiayaan iklim global.
Mengingat skala investasi yang dibutuhkan dan keragaman jasa keuangan dan produk yang dibutuhkan (investasi jangka panjang, kredit skala kecil, asuransi dan lain lain), jelas lah bahwa baik keuangan swasta dan publik akan dibutuhkan.
Semakin banyak, para pemberi pinjaman swasta membutuhkan para peminjam untuk bergabung menerapkan standar lingkungan, sosial dan tata kelola yang lebih tinggi sebagai kondisi untuk menerima dana pinjaman. Sehingga, keuangan pribadi dapat menjadi sumber penting modal untuk mendanai proyek-proyek pertanian yang mendukung pencapaian tujuan iklim nasional.
Namun sebagian besar negara gagal untuk membuat keterkaitan ini ke dalam INDC mereka.
TANDA YANG HILANG
Studi ini menganalisis bagaimana strategi pembangunan rendah emisi (LED) untuk AFOLU termasuk dalam INDC dan rencana-rencana pembangunan nasional serta berbagai strategi di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Laos, Thailand dan Vietnam. Negara-negara ini dipilih karena mereka mewakili berbagai profil emisi AFOLU dan berbagai prioritas pembangunan.
Kontribusi dari saya dalam laporan ini difokuskan pada analisa bagaimana INDC diusulkan dapat membantu membiayai pelaksanaan mitigasi dan adaptasi guna mencapai tujuan nasional, terutama dari sektor AFOLU.
Kebanyakan INDC mengutip perlunya dukungan internasional dalam bentuk keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Beberapa negara telah memberikan biaya perkiraan dan tingkat dukungan yang diperlukan.
Sayangnya tak satu pun membuat catatan tentang potensi kontribusi dari perusahaan swasta yang telah membuat komitmen dalam beberapa tahun terakhir untuk mengurangi emisi yang berhubungan dengan produksi skala besar, perdagangan dan manufaktur dari kayu dan komoditas pertanian. Dimana peran sektor swasta telah disebutkan di dalam INDC, tapi tidak ada langkah-langkah konkret yang diberikan untuk meningkatkan potensi tersebut.
Secara signifikan, INDC tidak mempertimbangkan tren penyedia jasa keuangan untuk membiayai investasi AFOLU yang mengurangi emisi gas rumah kaca – secara potensi terdapat dalam skala yang sangat besar.
Untuk saat ini, bank-bank global utama telah menjadi pemimpin di lingkungan, sosial, pemerintahan (ESG) pinjaman. Tapi sampai saat ini perusahaan-perusahaan yang tidak mau mengambil standar ESG bisa dengan mudah beralih ke bank domestik untuk mendapatkan pinjaman, seringkali dengan harga yang bersaing.
Akhir-akhir ini, meski, Singapura dan regulator sektor keuangan Indonesia telah mulai memastikan bahwa bank-bank komersial nasional mereka mulai menerapkan standar pinjaman ESG untuk proyek-proyek yang mereka danai, termasuk yang secara khusus terfokus pada sektor AFOLU. Dan, sebagai insentif, HSBC sekarang menawarkan pembiayaan diskonto untuk minyak sawit bersertifikat RSPO.
Jika berhasil diterapkan, langkah-langkah ini secara signifikan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor penggunaan lahan.
Secara singkat, penelitian kami menunjukkan ada keterbatasan pemahaman mengenai kepemimpinan sektor swasta di wilayah ini. Sektor keuangan swasta dan komitmen perusahaan-perusahaan swasta untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk komitmen nasional. Mendapatkan pengetahuan tentang cara-cara pasar mengendalikan perubahan perilaku perusahaan merupakan langkah awal untuk menjembatani kesenjangan antara komitmen sektor nasional dan swasta.
Ucapan terima kasih: Alemayehu Zeleke, Thuy Phung, Natcha Tulyasuwan, Robert O’Sullivan, Steven Lawry, 2016, “Role of Agriculture, Forestry and Other Land Use Mitigation in INDCs and National Policy in Asia.” USAID mendanai program USAID LEAF (Lowering Emissions in Asia’s Forests) terkait bantuan dana dan teknis untuk publikasi ini.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org