COP21 di Paris menghasilkan kesepakatan perubahan iklim yang sebagiannya mengikat secara hukum, dan sebagian lain sukarela yang telah menarik perhatian besar-besaran, peliputan media global, dan berbagai macam penafsiran. Sebagian berpendapat bahwa kesepakatan tersebut melemahkan gagasan tentang tanggung jawab historis dan kurang memberikan kepastian dalam hal dukungan bagi implementasi, sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa kesepakatan tersebut meletakkan pondasi yang dibutuhkan untuk menghindari dampak penuh perubahan iklim yang berbahaya.
Akademisi, aktivis lingkungan hidup, ekonom, ilmuwan, pengacara, dan analis politik akan menghabiskan banyak waktu untuk menafsirkan dan menafsirkan-ulang dokumen ini dan, dalam melakukan hal itu, mereka tidak akan dapat mengabaikan fakta bahwa kesepakatan ini intinya adalah tentang hutan dan ekosistem penyerap-karbon lainnya.
Telah diketahui secara luas bahwa hutan dunia memainkan peran penting dalam menghadapi perubahan iklim. Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dan lebih banyak karbon tersekuestrasi. Kerangka Kerja REDD+ berupaya untuk memberikan insentif kepada berbagai tindakan di negara-negara berkembang yang mencapai hasil ini, serta meningkatkan stok karbon hutan, melindungi hutan, dan mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Sasaran Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Developments Goals (SDGs) juga berupaya untuk berkontribusi pada hal ini melalui, antara lain, tujuan menghentikan deforestasi paling lambat pada tahun 2020.
Hutan memainkan peran penting dalam adaptasi. Konservasi dan perbaikan hutan memperkuat daya tahan terhadap iklim dan untuk masyarakat. Hutan berkontribusi pada peningkatan akses terhadap air dan membawa banyak manfaat kesehatan lainnya mulai dari makanan hingga obat-obatan. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa merawat sisa hutan dan ekosistem alami yang ada di dunia ini secara lebih baik akan memberikan dampak baik bagi manusia dan iklim dan berkontribusi pada pencapaian banyak Sasaran Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Developments Goals (SDGs).
Namun demikian, hingga saat ini, terdapat ketidakpastian mengenai peran hutan dan ekosistem dalam kaitannya dengan kebijakan iklim. Kesepakatan Paris memberikan sedikit kejelasan tentang hal ini. Secara khusus, kesepakatan ini mencakupkan satu pasal spesifik yang menciptakan ekspektasi dalam kerangka legal yang lebih luas terkait baik dengan tindakan mitigasi dan adaptasi maupun sektor lahan dan hutan, serta tujuan jangka panjangnya bergantung pada sekuestrasi, yang akan dicapai sebagian besarnya melalui proses-proses alami, oleh hutan dan laut.
TAMPUNGAN, RESERVOAR, EKOSISTEM DAN HUTAN
Pasal 5.1 Kesepakatan Paris meletakkan ekspektasi bahwa Para Pihak harus mengambil tindakan untuk ‘melindungi’ dan ‘memperbanyak’ tampungan dan reservoir gas rumah kaca termasuk dari biomasa, hutan, dan laut serta berbagai ekosistem darat, pantai, dan laut lainnya.
Ketetapan ini menyatakan ulang isi dari Pasal 4 Konvensi Iklim (Climate Convention) dan, menurut konteks Kesepakatan yang baru, sekarang timbul pertanyaan tentang bagaimana ‘konservasi’ dan ‘peningkatan’ ekosistem ini dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan jangka panjang yaitu menekan pemanasan global hingga jauh di bawah 2 atau 1,5 derajat. Pasal ini menuntut digunakannya berbagai cara agar tampungan dan reservoar karbon ini dapat berkontribusi pada pencapaian target 1,5 derajat tersebut dan membuka diskusi tentang pentingnya melindungi berbagai ekosistem ini. Dapat dikatakan bahwa pasal ini meletakkan dasar hukum untuk mengharuskan berbagai negara untuk ‘melindungi’ dan ‘meningkatkan’ ekosistem ketika mengambil tindakan yang terkait dengan perubahan iklim.
Kita masih belum ‘menyelesaikan’ masalah perubahan iklim, dan kita masih jauh dari menyelamatkan diri kita dari dampak-dampaknya.
Pasal 5.2 lebih jauh menghimbau ‘implementasi’ dan ‘dukungan’ terhadap REDD+, dan memberikan dukungan internasional baik untuk REDD+ maupun pendekatan mitigasi dan adaptasi bersama untuk pengelolaan hutan secara integral dan berkelanjutan (JMA). Pasal tersebut juga menegaskan-ulang pentingnya manfaat non-karbon atau non-carbon benefits (NCB) dan, sekaligus mengonfirmasi lingkup REDD+ yang lebih luas untuk menjadi mekanisme pasar dan non-pasar yang dapat diterapkan baik pada kebijakan adaptasi maupun mitigasi.
Melalui paragraf ini, semua Pihak (baik negara maju maupun berkembang) dihimbau untuk mengambil tindakan dan memberikan dukungan finansial untuk Warsaw Framework on REDD+, JMA dan NCB. Pasal ini memberikan JMA kedudukan khusus yang terpisah, dan, jika dipertimbangkan di dalam konteks mandat kerja terkait non-pasar, menciptakan suatu proses baru yang menarik untuk dilaksanakan dengan mempertimbangkan sinergi adaptasi–mitigasi.
Pekerjaan baru terkait hasil pembayaran berbasis hasil dalam Green Climate Fund tahun 2016 diharapkan dapat bersama-sama dengan hasil dari Kesepakatan Paris dapat mengirimkan sinyal kuat ke negara-negara bahwa upaya penerapan REDD + akan mendapatkan kekuatan dan dapat memainkan peran penting dalam kerangka iklim di masa depan.
BENTANG ALAM DAN ‘PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN’
Karakteristik jalan-pintas dari Kesepakatan Paris tidak dapat dikecilkan. Di hari-hari terakhir negosiasi tingkat tinggi, adalah resolusi persoalan-persoalan jalan pintas inilah, khususnya keuangan dan diferensiasi, yang menjadi kunci tercapainya kesepakatan. Untuk menempatkan Pasal 5 pada konteks, Pasal ini perlu ditafsirkan bersama-sama dengan pasal-pasal lainnya di dalam Kesepakatan tersebut.
Ini memberikan sinyal kuat kepada negara-negara peserta bahwa upaya untuk mengimplementasikan REDD+ akan bertambah kuat.
Pasal 5 perlu dikaitkan dengan beragam latar belakang yang dijabarkan di bagian pembuka Kesepakatan tersebut. Bagian pembuka menyadari pentingnya menjaga ketahanan pangan dan adanya kewajiban para Pihak untuk menghormati dan mengangkat hak asasi manusia dan hak-hak penduduk asli dan masyarakat setempat, kesetaraan gender, keadilan iklim, dan pentingnya integritas ekosistem. Walaupun tidak mengikat secara hukum, karakter sosial dan lingkungan hidup dari kata pembuka Kesepakatan ini tidak dapat diabaikan.
Pasal 5 juga perlu ditafsirkan bersamaan dengan tujuan jangka panjang terkait suhu (Pasal 2), mitigasi (Pasal 4.1) dan adaptasi (Pasal 7.1) serta produksi pangan (Pasal 2). Pasal ini harus dipertimbangkan dalam konteks keterkaitan dengan Mekanisme Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Mechanism yang baru saja ditetapkan (Pasal 6), cara-cara implementasi (Pasal 9–11) dan kontribusi yang ditentukan secara nasional atau nationally determined contributions (NDC).
SASARAN JANGKA PANJANG
Kesepakatan Paris menetapkan beberapa sasaran aspirasional jangka panjang. Kesepakatan ini menetapkan target suhu jangka panjang yaitu tetap di bawah 2 derajat dan berupaya menekannya hingga di bawah 1,5. Kesepakatan ini menetapkan target mitigasi yaitu mencapai keseimbangan antara emisi antropogenik menurut sumbernya dan pembersihan oleh tampungan gas rumah kaca pada paruh kedua abad ini; dan kesepakatan ini menetapkan target adaptasi yaitu meningkatkan kapasitas adaptif, memperkuat ketahanan dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
Mencapai berbagai sasaran jangka panjang ini bukanlah pekerjaan mudah. Ini akan membutuhkan dana signifikan, reformasi kebijakan dan undang-undang di berbagai sektor dan akan membawa risiko bagi manusia dan ekosistem di seluruh bentangan alam. Tujuan mitigasi bergantung pada pembersihan emisi gas rumah kaca oleh tampungan, untuk mencapai apa yang disebut sebagai emisi ‘bersih nol’.
Sebelum adanya Kesepakatan Paris ini, terdapat ketidakpastian mengenai peranan hutan dan ekosistem terkait dengan kebijakan iklim.
Sejauh mana tanggung jawab penyerapan gas rumah kaca dibebankan pada hutan dan laut akan bergantung pada seberapa cepat laju penghapusan bahan bakar fosil di seluruh dunia dan pencapaian dekarbonisasi penuh di dalam ekonomi global. Meskipun sebagian kalangan memiliki pandangan sederhana bahwa kita dapat mengimbangi pembakaran lebih banyak bahan bakar fosil dengan menanam lebih banyak hutan, harus diingat bahwa lahan yang tersedia ada batasnya dan sekuestrasi oleh banyak ekosistem tidak permanen. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menghapuskan bahan bakar fosil dan mengurangi sumber-sumber emisif lainnya, semakin besar beban dan ketergantungan akan ditempatkan pada penyerapan alami untuk mencapai target mitigasi dan suhu. Banyak kalangan yang berharap bahwa Kesepakatan Paris mengirimkan sinyal yang kuat kepada pemerintah berbagai negara dan sektor-sektor swasta bahwa ini haruslah menjadi akhir dari era bahan bakar fosil.
Walaupun target 1,5 derajat tersebut dipuji sebagai salah satu sukses besar COP21, terdapat sedikit ironi, yaitu bahwa target tersebut kemungkinan akan membutuhkan area lahan yang signifikan untuk sekuestrasi karbon dan sejumlah teknologi emisi negatif yang memiliki potensi bahaya, yang kesemuanya harus diimbangi dengan ketahanan pangan, keselamatan dan hak asasi manusia, konservasi keanekaragaman hayati, dan target adaptasi global yang baru. Seluruh dunia akan menghadapi semua masalah rumit ini dan akan membutuhkan perubahan transformasional dari segi koordinasi lintas-sektoral nasional di banyak negara.
MEKANISME PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Kesepakatan Paris menetapkan ‘Mekanisme Pembangunan Berkelanjutan’ atau ‘Sustainable Development Mechanism’ (SDM), yang masih belum memiliki peran yang jelas dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. Ini adalah sebuah mekanisme pasar baru yang dibangun di atas pondasi Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Para Pihak dapat terlibat di dalam SDM sebagai suatu cara untuk ‘meningkatkan ambisi mereka’. Pekerjaan lebih lanjut akan dilakukan di UNFCCC selama dua tahun mendatang untuk mengembangkan aturan dan formatnya.
Hasil dari SDM ini dalam banyak aspek merupakan cerminan dari karakteristik non-ikatan hukum dari target pengurangan emisi yang dijabarkan di dalam Target Kontribusi Nasional atau Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) negara-negara Partisipan. Namun, Partisipan berkewajiban untuk ‘mengambil tindakan mitigasi domestik untuk mencapai tujuan-tujuan dari kontribusi tersebut’. Dengan kata lain, mereka perlu menunjukkan bahwa mereka tengah berusaha, walaupun, bagi banyak pihak, hal tersebut sepenuhnya bergantung pada ketersediaan dana. SDM dapat digunakan untuk memberi kontribusi pada upaya ini.
Sustainable Development Mechanism (SDM) memiliki peran ganda—meredam gas rumah kaca dan mendukung pembangunan berkelanjutan—tapi bagaimana SDM akan mencapai kedua tujuan tersebut masih belum diketahui. SDM dapat diterapkan baik pada entitas pemerintah maupun swasta dan memungkinkan transfer hasil mitigasi dari satu negara ke negara lainnya.
Sejumlah pihak memperkirakan bahwa target pengurangan emisi yang mengikat secara hukum yang membutuhkan suatu ‘pasar kesesuaian’ internasional akan tercipta dari Kesepakatan Paris. Banyak kalangan, selama bertahun-tahun, telah menelusuri peranan REDD+ di dalam pasar karbon internasional semacam itu. Ini tidak terjadi dan SDM merupakan sebuah mekanisme sukarela yang dapat diterapkan baik pada mitigasi maupun adaptasi. Namun, hingga sejauh mana SDM ini terkait dengan hutan, dan terlebih lagi dengan lahan, masih menjadi bagian dari perdebatan berlarut-larut seputar masalah durabilitas, karena manfaat mitigasi haruslah ‘berjangka panjang’.
Kita tidak boleh lupa bahwa saat ini kita enam tahun terlambat dari jadwal di dalam sebuah proses yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade.
TIDAK ADA KOMITMEN DI ‘KOTA CINTA’
Hampir semua negara di seluruh dunia kini telah menyerahkan INDC masing-masing, yang, jika tidak direvisi, akan menjadi kontribusi negara-negara kepada mitigasi iklim, adaptasi, dan metode implementasi mulai dari sekarang hingga 2030. Kebanyakan INDCs mencakupkan sektor lahan dan 39 dari negara-negara berkembang mencakupkan REDD+.
Namun demikian, tingkat ambisi di dalam INDCs tersebut tidak cukup untuk mencegah pemanasan yang berbahaya dan kebanyakan di antaranya memasang target panjang hingga 2030. Studi menunjukkan bahwa INDCs yang ada saat ini menempatkan dunia pada laju pemanasan 2,7–3 derajat, yang akan mengakibatkan bencana. ‘Kekurangan’ ini diakui di dalam paket Paris.
COP21 telah menetapkan sebuah proses untuk meningkatkan ambisi beberapa tahun setelah Kesepakatan ini diberlakukan, yang diharapkan akan terjadi pada tahun 2020. Partisipan akan diwajibkan untuk mengkomunikasikan kontribusi mereka setiap lima tahun, yang diharapkan sebagai peningkatan dari kontribusi mereka sebelumnya. Sistem lima-tahunan ini akan mencakup evaluasi implementasi kesepakatan secara periodik untuk ‘menilai’ kemajuan ke arah pencapaian target dan tujuan jangka panjang. Evaluasi yang pertama akan terjadi pada tahun 2023. Para Pihak diharuskan untuk memperhitungkan hasil evaluasi tersebut ketika memperbarui dan meningkatkan kontribusi mereka.
Salah satu kegagalan signifikan dari hasil Paris adalah bahwa kesepakatan tersebut tidak menetapkan sebuah proses untuk meninjau INDC yang ada saat ini dan meningkatkan ambisi sebelum 2020, yang dapat membawa dunia pada jalur aman dalam mencapai salah satu dari kedua target suhu tersebut sekarang. Banyak negara yang mengharapkan proses tersebut namun ini tidak menjadi kenyataan. Sebagai akibatnya dunia kemungkinan akan ‘terpaku’ dengan ambisi rendah hingga 2030, yang akan membuyarkan upaya untuk mencapai target suhu 1,5 derajat tersebut.
Salah satu kegagalan signifikan dari hasil Paris adalah bahwa kesepakatan tersebut tidak menetapkan sebuah proses untuk meninjau INDCs yang ada saat ini. Stephen Leonard
Dalam upaya mengatasi kekurangan ini, Presiden Perancis François Hollande mengambil alih kepemimpinan pada jam-jam terakhir dan mengumumkan bahwa kontribusi mitigasi dan keuangan Perancis akan direvisi sebelum 2020 dan mengajak negara-negara lain untuk ikut melakukannya. Walaupun Partisipan dapat memperbarui kontribusi mereka kapan saja, saat ini merupakan tanggung jawab Partisipan untuk menggunakan sistem bottom-up, yang digerakkan secara nasional ini untuk mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan ambisi mereka dan memperbarui dan merevisi INDC mereka yang ada saat ini sebelum INDC tersebut menjadi NDC mereka.
SAAT BULAN MADU USAI
Kesepakatan Paris diadopsi pada pukul 9.30 malam hari Sabtu tanggal 12 Desember 2015. G77, bersama dengan China, memandangnya sebagai satu langkah dalam sebuah perjalanan panjang, meminjam kata-kata terkenal Nelson Mandela: “Kita tidak boleh berdiam diri, karena perjalanan panjang masih belum berakhir”. Amerika Serikat mengumumkan pengadopsian kesepakatan tersebut sebagai sebuah “kemenangan besar bagi planet ini dan generasi masa depan”. India menganggap ini sebagai sebuah “bab harapan baru dalam hidup 7 miliar manusia di planet ini”, mengutip kata-kata Ghandi bahwa “kita harus peduli pada dunia yang tidak akan kita lihat”. Presiden Perancis Hollande meluangkan waktu untuk mengenang sejarah Perancis yang dipenuhi revolusi, menyebut ini sebagai “revolusi damai yang paling indah, sebuah revolusi bagi perubahan iklim”.
Namun, tidak semua bergembira. Ekuador dan beberapa pihak lain menyatakan bahwa Kesepakatan ini tidak pantas untuk ditulis di atas kertas tanpa dukungan finansial yang dibutuhkan untuk memastikan implementasinya dan menegaskan perlunya melakukan dekarbonisasi ekonomi global sesegera mungkin. Nikaragua tidak dapat mengikuti konsensus dengan alasan bahwa Kesepakatan tersebut tidak memastikan bahwa tingkat ambisi bertambah. Mereka membutuhkan dana kompensasi dan menolak menyepakati kewajiban kehilangan-dan-kerugian dan klausul pengecualian kompensasi dengan argumen bahwa hal itu merampas hak-hak generasi mendatang. Permintaan kompensasi tersebut juga disuarakan oleh Bolivia melalui proposal mereka yang meminta dibentuknya sebuah Pengadilan Iklim.
Sejauh mana tanggung jawab penyerapan gas rumah kaca dibebankan pada hutan dan laut akan bergantung pada seberapa cepat laju penghapusan bahan bakar fosil di seluruh dunia. Stephen Leonard
Hasil Paris tersebut menetapkan sebuah kelompok kerja khusus/Ad Hoc Working group (APA) yang baru, yang akan melaksanakan pekerjaan untuk mempersiapkan pemberlakuan Kesepakatan Paris yang diharapkan pada tahun 2020, yang masih memerlukan ratifikasi. APA akan membuat serangkaian keputusan, untuk kemudian disepakati sebagai suatu paket peraturan atau kesepakatan untuk diadopsi oleh sidang Kesepakatan Paris yang pertama di antara Partisipan. APA akan mengembangkan pedoman lebih lanjut tentang NDCs dan menetapkan suatu sistem transparansi tindakan dan dukungan ‘bersama’ paling lambat pada tahun 2018, yang akan mencakup akuntansi dan pelaporan penggunaan lahan. APA akan mengembangkan input dan format untuk evaluasi global dan untuk mekanisme kesesuaian.
Badan Pembantu untuk Penasihatan Ilmiah dan Teknis atau Subsidiary Body on Scientific and Technical Advice (SBSTA) sekarang akan menetapkan program kerja untuk tindakan respon, dan mengembangkan peraturan dan format untuk pendekatan-pendekatan SDM dan non-pasar termasuk sinergi adaptasi–mitigasi, yang terutama akan relevan untuk pendekatan non-pasar terhadap REDD+. Badan ini juga akan melanjutkan pekerjaan pertanian yang sedang mereka tangani pada tahun 2016.
BERJALAN TERUS
Saya meninggalkan Paris dengan perasaan campur-aduk, dan ini bukan hanya karena saya sangat menyukai kota ini. Memang, tercapainya kesepakatan ini merupakan sesuatu yang bagus karena dunia tidak sanggup lagi melanjutkan teka-teki geo-politik iklim yang telah digeluti sejak 2009, dan Kesepakatan tingkat-tinggi ini diperlukan agar kita dapat terus melanjutkan perjalanan ke depan. Seperti dikatakan sebagian orang, hantu COP15 di Kopenhagen telah beristirahat dengan tenang. Di tengah kesibukan pengiriman pesan yang tampaknya ‘super positif’ dan selama berhari-hari saling tepuk pundak untuk merayakan sukses, kita tidak boleh lupa bahwa saat ini kita enam tahun terlambat dari jadwal di dalam sebuah proses yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Jika dilihat dari kacamata ini, secara pribadi saya merasa sulit untuk menerima bahwa ini adalah sebuah titik awal. Perjalanan ini telah dimulai sejak lama.
Pasal 5.1 barangkali menciptakan sebuah persyaratan hukum bagi negara-negara untuk ‘melindungi’ dan ‘meningkatkan’ ekosistem ketika mengambil tindakan yang terkait dengan perubahan iklim.
Sebagai kesimpulan dari hasil Kesepakatan Paris ini, kita masih belum ‘menyelesaikan’ masalah perubahan iklim, dan kita masih jauh dari menyelamatkan diri kita dari dampak-dampaknya. Kesepakatan ini adalah yang terbaik yang bisa kita dapatkan dan kita perlu memanfaatkannya semaksimal mungkin sekarang, dan kita perlu melakukannya dengan rasa keterdesakan dan dengan cara yang sensitif secara sosial dan lingkungan hidup.
Dapat dikatakan bahwa pertempuran ini telah dimenangkan, dan ini merupakan sebuah titik balik, tapi sayangnya, perjuangan masih jauh dari selesai dan perubahan iklim terus menjadi tantangan zaman terbesar kita.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org